KABAR baik bagi pengusaha pabrik tapioka dan gula singkong,
yang saat ini resah karena kekurangan bahan baku. R.H.
Kurniaatmadja, 65, penduduk Kampung Citeureup, Kecamatan
Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, berhasil menanam singkong
dengan produksi mencapai 1,5 kuintal per pohon, dalam usia 7
sampai 9 bulan - bandingkan dengan singkong biasa dalam usia
sama yang cuma 2 sampai 3 kg per pohon.
Kebun itu tampak rimbun di tengah-tengah sawah yang baru
beberapa hari terguyur hujan setelah beberapa bulan kering.
Endapan pasir Galunggung masih tampak tebal menutupi sawah di
situ. Sekitar 350 pohon singkong setinggi rata-rata 5 meter
berdaun rimbun bercabang banyak tampak tumbuh segar di sawah
seluas 5.600 m2.
"Setahun yang lalu, Pak Kurnia datang ke kantor Dinas Pertanian
Tasikmalaya minta izin membuat kebun singkong percobaan di
sawah. Karena alasannya cukup meyakinkan, saya kabulkan.
Padahal, sawah tidak boleh ditanami singkong. Bisa merusakkan
kesuburan tanah," ujar Ir. A. Wachyu, kepala Dinas Pertanian
Kabupaten Tasikmalaya, ketika meninjau kebun itu akhir bulan
lalu. Wachyu sendiri menamakan singkong itu dengan "Singkong
Kurnia".
Enam tahun lalu, Kurnia merintis percobaan singkong. "Saya
tergerak menekuni setelah melihat produksi singkong terus
merosot dan banyak pabrik tapioka gulung tikar," ujar Kurnia,
yang juga guru Kursus Pemuda Tani di Desa Mangunreja,
Singaparna.
Singkong karet daunnya lebar, tingginya bisa mencapai 20 m, dan
merupakan tanaman tahunan. Karena daunnya lebar, fotosintesa
atau proses asimilasinya pun tentu sangat baik: kemampuan
mengubah sari zat makanan yang diisap pohon itu menjadi tepung
lebih besar sehingga pembentukan umbinya pun lebih cepat. Tapi,
menurut Kurnia, ada kelemahannya. Tepung hasil asimilasi di daun
yang kemudian disimpan di umbi itu mudah diserap kembali oleh
batang dan daun, sehingga yang tinggal cuma akar-akarannya."
Lagi pula, umbi singkong karet tidak bisa dimakan karena
mengandung zat HCl yang bisa meracuni manusia," ujar Kurnia.
Sifat jelek itu, menurut Kurnia, bisa hilang melalui perkawinan.
"Umbi yang dihasilkan adalah umbi singkong biasa karena yang
ditanam adalah singkong biasa. Sedangkan singkong karet cuma
merupakan sambungan bagian atas saja," kata Kurnia.
Cara mengawinkannya mudah. Stek singkong biasa dan stek singkong
karet ditanam dulu. Bila sudah tumbuh, biasanya dalam seminggu,
ujung tunas singkong biasa dipotong kemudian disambung dengan
tunas singkong karet. Sambungan antara dua tunas cukup diikat
dengan tali plastik. Banyaknya umbi singkong yang diinginkan,
menurut Kurnia, bisa ditentukan hanya dengan mencungkil kulit
stek pohon antara mata dan mata yang ditanam di tanah. Tapi,
hati-hati, bila terlalu banyak, malah kurang baik. "Umbi
singkong bisa banyak, tapi kecil-kecil," ujar Kurnia. Itu
sebabnya, Kurnia cuma mencungkil kulit itu tiga cungkilan.
"Hasilnya, umbi bisa tumbuh empat tingkat, termasuk di bagian
bawah," kata Kurni.
Penemuan Kurnia, berbeda dengan penemuan Mukibat (1970), petani
asal Jawa Tengah yang juga mengawinkan singkong biasa dengan
singkong karet yang hasilnya dikenal dengan sebutan "Singkong
Mukibat".
Perbedaan itu terletak pada sistem okulasi. Mukibat mengupas
kulit singkong 2-3 cm kemudian diganti dengan mata singkong
karet. Kelemahan singkong Mukibat, menurut Sulaiman, kepala
seksi penyuluhan Dinas Pertanian Tasikmalaya, perkawinan harus
menungggu singkong karet tumbuh 8-11 bulan. Kecepatan tumbuh
tunas malah bisa lebih lambat.
Itu sebabnya, menurut Sulaiman, singkong Mukibat baru bisa
dipanen dalam usia sekitar 13 bulan. Sedangkan singkong Kurnia
cuma sekitar 8 bulan. Dari segi produksinya pun, kata Sulaiman,
singkong Kurnia lebih unggul dibanding Mukibat. Pada usia yang
sama, menurut Sulaiman, singkong Kurnia bisa lebih berat sekitar
25%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini