Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dari perkawinan singkong tasik

Hasil silang antara singkong biasa dengan singkong karet, bisa mencapai 50 kali lipat dibanding singkong biasa. penemuan R.H Kurniaatmadja, 65, penduduk kampung citeureup, tasikmalaya.(ilt)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR baik bagi pengusaha pabrik tapioka dan gula singkong, yang saat ini resah karena kekurangan bahan baku. R.H. Kurniaatmadja, 65, penduduk Kampung Citeureup, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, berhasil menanam singkong dengan produksi mencapai 1,5 kuintal per pohon, dalam usia 7 sampai 9 bulan - bandingkan dengan singkong biasa dalam usia sama yang cuma 2 sampai 3 kg per pohon. Kebun itu tampak rimbun di tengah-tengah sawah yang baru beberapa hari terguyur hujan setelah beberapa bulan kering. Endapan pasir Galunggung masih tampak tebal menutupi sawah di situ. Sekitar 350 pohon singkong setinggi rata-rata 5 meter berdaun rimbun bercabang banyak tampak tumbuh segar di sawah seluas 5.600 m2. "Setahun yang lalu, Pak Kurnia datang ke kantor Dinas Pertanian Tasikmalaya minta izin membuat kebun singkong percobaan di sawah. Karena alasannya cukup meyakinkan, saya kabulkan. Padahal, sawah tidak boleh ditanami singkong. Bisa merusakkan kesuburan tanah," ujar Ir. A. Wachyu, kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, ketika meninjau kebun itu akhir bulan lalu. Wachyu sendiri menamakan singkong itu dengan "Singkong Kurnia". Enam tahun lalu, Kurnia merintis percobaan singkong. "Saya tergerak menekuni setelah melihat produksi singkong terus merosot dan banyak pabrik tapioka gulung tikar," ujar Kurnia, yang juga guru Kursus Pemuda Tani di Desa Mangunreja, Singaparna. Singkong karet daunnya lebar, tingginya bisa mencapai 20 m, dan merupakan tanaman tahunan. Karena daunnya lebar, fotosintesa atau proses asimilasinya pun tentu sangat baik: kemampuan mengubah sari zat makanan yang diisap pohon itu menjadi tepung lebih besar sehingga pembentukan umbinya pun lebih cepat. Tapi, menurut Kurnia, ada kelemahannya. Tepung hasil asimilasi di daun yang kemudian disimpan di umbi itu mudah diserap kembali oleh batang dan daun, sehingga yang tinggal cuma akar-akarannya." Lagi pula, umbi singkong karet tidak bisa dimakan karena mengandung zat HCl yang bisa meracuni manusia," ujar Kurnia. Sifat jelek itu, menurut Kurnia, bisa hilang melalui perkawinan. "Umbi yang dihasilkan adalah umbi singkong biasa karena yang ditanam adalah singkong biasa. Sedangkan singkong karet cuma merupakan sambungan bagian atas saja," kata Kurnia. Cara mengawinkannya mudah. Stek singkong biasa dan stek singkong karet ditanam dulu. Bila sudah tumbuh, biasanya dalam seminggu, ujung tunas singkong biasa dipotong kemudian disambung dengan tunas singkong karet. Sambungan antara dua tunas cukup diikat dengan tali plastik. Banyaknya umbi singkong yang diinginkan, menurut Kurnia, bisa ditentukan hanya dengan mencungkil kulit stek pohon antara mata dan mata yang ditanam di tanah. Tapi, hati-hati, bila terlalu banyak, malah kurang baik. "Umbi singkong bisa banyak, tapi kecil-kecil," ujar Kurnia. Itu sebabnya, Kurnia cuma mencungkil kulit itu tiga cungkilan. "Hasilnya, umbi bisa tumbuh empat tingkat, termasuk di bagian bawah," kata Kurni. Penemuan Kurnia, berbeda dengan penemuan Mukibat (1970), petani asal Jawa Tengah yang juga mengawinkan singkong biasa dengan singkong karet yang hasilnya dikenal dengan sebutan "Singkong Mukibat". Perbedaan itu terletak pada sistem okulasi. Mukibat mengupas kulit singkong 2-3 cm kemudian diganti dengan mata singkong karet. Kelemahan singkong Mukibat, menurut Sulaiman, kepala seksi penyuluhan Dinas Pertanian Tasikmalaya, perkawinan harus menungggu singkong karet tumbuh 8-11 bulan. Kecepatan tumbuh tunas malah bisa lebih lambat. Itu sebabnya, menurut Sulaiman, singkong Mukibat baru bisa dipanen dalam usia sekitar 13 bulan. Sedangkan singkong Kurnia cuma sekitar 8 bulan. Dari segi produksinya pun, kata Sulaiman, singkong Kurnia lebih unggul dibanding Mukibat. Pada usia yang sama, menurut Sulaiman, singkong Kurnia bisa lebih berat sekitar 25%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus