Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA mustahil sebuah skateboard dari bahan kayu bisa dilipat lalu diselipkan dan dikencangkan seperti anyaman. Tapi Lucky Widiantara bisa membuatnya seperti itu. Dengan bahan resin, bentuk skateboard yang lengkap dengan dua pasang roda kecilnya itu kemudian menjadi simbol hati berwarna merah. Judulnya Love is Compliskated. Dari bahan resin pula Lucky dengan enaknya memilin bentuk tiga skateboard dalam karya berjudul Reskatable yang disusun segitiga seperti simbol daur ulang. Pada karya lain, ia menekuk papan seluncur hingga bergelombang (Skate Worm), dan membelitkannya pada kaki besi sebuah bangku (Snake Skate).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentuk skateboard lain juga tak kalah unik. Ada yang dibuat meleleh, menyatu dengan gitar listrik, dan berbentuk gambar botol teh. Pada karya lain, Lucky membuat sebuah trofi dengan seorang pemain papan seluncur berakrobat di atasnya. Piala itu ditujukan untuk juara Loser+Poser. Sementara pada karya berjudul Skate is Concrete, Lucky menyatukan skateboard berbahan resin dengan beton persegi panjang berdimensi 80 x 20 x 25 sentimeter. Selain pada skateboard, gagasannya ikut tercurah pada papan selancar (surfboard), yang lazim dengan grafis dan warna semarak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari bahan keras, tangannya beralih ke kanvas yang dilukis dengan cat minyak, juga akrilik. Lucky menggambar sosok-sosok lukisan klasik sedang bermain atau beraksi dengan skateboard pada karya berjudul God Create Skate, Cupid-19, dan Laidback Adam. Dia juga mengapropriasi lukisan zaman Renaisans karya Michelangelo yang berjudul La Creazione di Adamo, juga karya François Boucher yang berjudul Cupids, Allegory of Poetry.
Pengunjung bermasker saat mengunjungi pameran Lucky Widiantara bertajuk Fun Follows Function Follows Fun dengan latar belakang karya berjudul "Reskatable" di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 24 Juni 2020. Tempo/Prima mulia
Dalam pameran tunggal terbarunya yang berjudul “Fun Follows Function Follows Fun”, Lucky mengusung 22 karya yang dibuat sejak 2011 hingga 2020. Perhelatannya berlangsung pada 24 Juni-24 Juli 2020 di Galeri Orbital Dago, Bandung. Selain bisa dikunjungi langsung dengan mematuhi protokol kesehatan, karya pameran bisa dilihat melalui media sosial.
Kesan main-main atau bermain secara menyenangkan terasa kuat di ruang pamer. Pengunjung seperti diajak berselancar ke ruang imajinasi papan seluncur dan selancar dari sisi lain tanpa harus mencium bau laut atau debu jalanan. Karya Lucky, menurut kurator Rifky “Goro” Effendy, memunculkan praktik artistik dari area subkultur di Bandung tempat komunitasnya terbentuk oleh gaya hidup dan hobi yang sama.
Lulusan Desain Produk Institut Teknologi Nasional 1999 di Bandung itu mulanya gemar berseluncur dan berselancar di laut. Berangkat dari hobi, Lucky mulai membuat dan menjual papan seluncur sendiri. Nama Lucas and Sons dipakainya sebagai merek sejak 2009. Sebelumnya, Lucky merintis usaha pakaian bersama teman-temannya pada 1996. Label UNKL347 itu kini masih berkibar di kalangan anak muda. Pameran kali ini diselenggarakan untuk sekaligus merayakan Hari Skateboarding sedunia tiap 21 Juni.
Sebuah ciri khas karya Lucky adalah mengaitkan bentuk skateboard pada papan selancar hingga muncul kesan papan luncur raksasa. “Keduanya banyak kesamaan, soalnya surfing itu bapaknya skateboard,” katanya, Kamis, 25 Juni lalu.
Inspirasi Lucky muncul karena ia kerap berinteraksi dengan peselancar di Pantai Batu Karas, Pangandaran, atau Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Bermodalkan belajar lewat Internet, ia awalnya membuat papan selancar dari kayu, selanjutnya berbahan foam dan resin.
Di sela produksi papan selancar, Lucky menyempatkan diri membuat karya seni dan turut dalam beberapa pameran, seperti “TransIndonesia: Scoping Culture in Contemporary Indonesian Art” di Govett-Brewster Art Gallery, New Plymouth, Selandia Baru, bersama EAT Group Artist pada 2004. Dia juga pernah berpameran dalam Singapore Design Festival 2009, lalu pameran tunggal Eksebisi No.o10 di Studio Eksotika-Potato Head, Bali, dan pameran bersama Arts_Unltd: XYZ 2018 di Bandung. Gayanya masih tetap menggubah bentuk-bentuk dari skateboard dan papan selancar. “Sekitar lima tahun belakangan mengkhususkan waktu untuk berkarya seni,” ujar Lucky.
Lukisan karya Lucky Widiantara berjudul God Create Skate. Tempo/Prima Muia
Berbagai karya yang dihasilkan Lucky selalu berdasarkan pada hobi yang digelutinya, antara lain musik, sepeda BMX, skateboard, dan surfing. Ia pernah memelopori pembuatan sepeda mini BMX yang kemudian menjadi populer. Di studionya yang berada di kawasan utara Bandung, Lucky sering membuat patung atau obyek tiga dimensi lain sebagai benda fungsional atau artistik dengan bahan dasar kayu atau resin.
Menurut Rifky, karya-karya Lucky berada di lingkar luar perkembangan arus utama seni rupa kontemporer. Mengutip istilah kritikus seni rupa, mendiang Sanento Yuliman dari Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, apa yang dibuat Lucky tergolong seni rupa bawah alias lowbrow. Kemunculan istilah lowbrow art bermula di Los Angeles, California, Amerika Serikat, pada 1970-an sebagai sebuah gerakan bawah tanah dan akar rumput seni rupa yang berasal dari subkultur. Bentuk lain ekspresinya lewat musik punk, juga komik bawah tanah dan lainnya.
Lowbrow, kata Rifky, sering disebut dengan istilah pop-surealisme. Kebanyakan karyanya kerap mengandung humor, kadang nakal dengan komentar sinis. Lowbrow dianggap karya seni kelas rendah dan lawan dari highbrow yang digeluti seniman formal lulusan institusi pendidikan seni rupa. “Karya lowbrow sebagian besar berbentuk lukisan, grafiti, mural, tapi ada juga mainan (toys), seni digital, dan patung,” ujarnya.
Namun lowbrow dan bentuk seni jalanan juga merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan atau hegemoni tertentu. Tujuannya, menurut Rifky, menggunakan komunikasi visual untuk memprovokasi dan membetot perhatian orang agar pesan tersampaikan. Di Indonesia, aliran seni rupa bawah tanah ini muncul pada akhir 1970-an lewat Gerakan Desember Hitam dan Gerakan Seni Rupa Baru, yang memaksa dunia seni formal akademik lebih sadar terhadap nilai kelokalan dan lingkungannya. “Di sini juga muncul kesadaran bahwa praktik seni rupa adalah bentuk komunikasi bagi orang banyak,” katanya. Karya-karya dalam Fun Follows Function Follows Fun adalah manifestasi terbaru dari gerakan tersebut.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo