Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nanggala diperkirakan tenggelam dalam waktu cepat.
Komandan Nanggala disebut-sebut melaporkan kapalnya tak siap mengikuti latihan.
Mantan Direktur PT PAL menyebutkan perusahaannya tak memperbaiki Nanggala pada 2019-2020.
SUARA radio panggil tak kunjung dijawab awak Kapal Perang Republik Indonesia Nanggala-402 pada Rabu, 21 April lalu, sekitar pukul 4 pagi waktu Indonesia tengah. Selama lebih dari satu jam, kapal selam berisi 53 orang itu tak merespons panggilan pemegang kendali dalam geladi latihan perang di perairan utara Pulau Bali. Suasana kian mencekam karena Nanggala tak memenuhi tenggat naik ke permukaan pada pukul 05.15. Helikopter dan kapal perang yang mengikuti latihan tak bisa mendeteksi keberadaan kapal perang buatan Jerman berumur 40 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi buta itu, sekitar pukul 03.46, Nanggala telah menyelam dan meminta izin melakukan penggenangan peluncur torpedo nomor 8. Penggenangan itu merupakan salah satu rangkaian sebelum meluncurkan peluru berdiameter 21 inci tersebut ke arah sasaran. Namun lesatan torpedo yang ditunggu tak kunjung muncul. “Dipanggil-panggil sudah tidak merespons. Jalur komunikasi utama dan jalur cadangan terputus,” kata Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono dalam jumpa pers pada Kamis, 22 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga jam setelah menyelam, Nanggala dinyatakan hilang. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Julius Widjojono menyebutkan kapal jatuh pada kedalaman 600-700 meter dari permukaan laut. Padahal batas penyelaman terdalam Nanggala adalah 240 meter. Belakangan, para pencari Nanggala menemukan tumpahan minyak di sembilan lokasi.
Tayangan video badan kapal selam KRI Nanggala 402 yang tenggelam menggunakan Remote Operated Vehicle (ROV) dalam jumpa pers di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Bali, 25 April 2021. TEMPO/Johannes P. Christo
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, menyebutkan minyak di permukaan laut mengindikasikan tak ada satu pun personel selamat. Apalagi manusia hanya bisa menyelam maksimal 50 meter. Adapun pakar kapal selam dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Wisnu Wardhana, memperkirakan tumpahan minyak muncul setelah kapal remuk akibat tekanan air laut. Wisnu menduga Nanggala mengalami blackout atau kehilangan daya akibat masuknya air laut bertekanan tinggi dari tutup pintu torpedo. “Itu penyebab alat komunikasi mati, mesin mati. Semuanya hilang,” ujarnya.
Tiga hari setelah dinyatakan hilang, pada Sabtu, 24 April lalu, badan Nanggala-402 ditemukan di kedalaman 838 meter dengan kondisi terbelah tiga bagian. Sehari kemudian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengumumkan kabar duka secara resmi. “Seluruh awaknya telah gugur,” ucap Hadi dalam jumpa pers.
Seorang prajurit TNI menunjukan baju keselamatan awak milik awak kapal selam KRI Nanggala 402 dalam jumpa pers di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Bali, 25 April 2021. TEMPO/Johannes P. Christo
Hadi dijadwalkan berada di Bali sejak Rabu, 21 April lalu. Buku panduan kunjungan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI menyebutkan Hadi akan datang bersama Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam lawatan itu, Hadi dan Sigit dijadwalkan meninjau vaksinasi Covid-19. Besoknya mereka dijadwalkan meninjau latihan perang di laut utara Bali, sekitar 90 kilometer dari Cekungan Bawang. Di sana keduanya juga akan menyaksikan penembakan torpedo oleh Nanggala dan KRI Layang dengan target KRI Karang Unarang. Setelah itu, mereka akan berganti pakaian selam dan melakukan penyematan brevet penyelam.
Asisten Perencanaan dan Penganggaran Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Muhammad Ali mengatakan kehadiran Hadi untuk menyaksikan latihan besar. “Setiap latihan besar, Panglima mau meninjau,” katanya. Namun Ali mengaku tak punya informasi ihwal pemberian lencana. Adapun Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo membenarkan kabar bahwa dia dijadwalkan menerima brevet di Bali. “Saya tidak tahu upacara itu dilaksanakan di atas Nanggala atau tidak,” ujarnya pada Selasa malam, 27 April lalu.
•••
BEBERAPA jam setelah KRI Nanggala-402 dinyatakan hilang, Achmad Taufiqoerrochman menerima informasi di sejumlah grup WhatsApp yang diikutinya bahwa kapal selam itu tak bisa dikontak. Rabu sore, 21 April, itu, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut tersebut mendapat panggilan telepon dari sejumlah perwira menengah dan tinggi. “Mereka bercerita, operasi Nanggala dipaksakan,” kata mantan Kepala Badan Keamanan Laut tersebut kepada Tempo di rumahnya di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat, 30 April lalu. Tiga narasumber yang ditemui Tempo mengaku mendapat informasi serupa dari sejumlah perwira Angkatan Laut.
Kepada Taufiq, para juniornya itu bercerita tentang rapat persiapan sebelum Nanggala-402 berlayar dari Surabaya ke perairan utara Bali. Menurut mereka, rapat itu lebih banyak membahas protokol kedatangan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Namun Komandan Nanggala-402 Letnan Kolonel—kini Kolonel Anumerta—Heri Oktavian mengungkapkan bahwa kapal selamnya tidak layak beroperasi karena kesiapan teknis dan taktisnya kurang dari 50 persen.
Seorang narasumber mengabarkan, Heri bahkan sempat menemui langsung atasannya dan mengungkapkan kondisi Nanggala. Namun Nanggala diputuskan tetap berangkat. “Kalau tetap berlayar, berarti ada permintaan dari atasan,” tutur Taufiq.
Ketidaksiapan Nanggala menjalani latihan tempur juga didengar oleh anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Dave Fikarno Laksono. Sebelum mengikuti latihan di laut Bali, kata Dave, Nanggala pernah mengalami blackout di sekitar perairan Surabaya-Madura. “Setelah itu, Nanggala ditarik oleh kapal niaga,” ucapnya.
Nanggala diduga juga kerap mengalami masalah di bagian tabung torpedo—disebut-sebut sebagai penyebab blackout. Dokumen hasil audit Nanggala tahun 2018 yang diperoleh Tempo menunjukkan bahwa tabung torpedo diaktifkan dengan membanjirinya dengan air laut. Namun, setiap kali tabung torpedo dibanjiri, terjadi kerusakan elektronik. Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2017-2018, Achmad Taufiqoerrochman, mengaku pernah mendapat laporan soal kerusakan tabung torpedo. “Saya sudah minta diperbaiki sampai benar,” ujarnya.
Dokumen audit yang sama menyebutkan Nanggala mengalami malfungsi multi-frequency underwater telephone system. Gangguan ini membuat awak kapal tak bisa dihubungi setelah menyelam. Persoalan ini juga diungkap di Janes.com, situs konsultan intelijen dan militer.
Nanggala juga disebut-sebut mengalami masalah di bagian kemudi. Analis pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengaku mendapat informasi bahwa persoalan itu terjadi pada Maret lalu atau sekitar sebulan sebelum Nanggala tenggelam. Pakar kapal selam dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Wisnu Wardhana, mengatakan persoalan kemudi di kapal selam termasuk krusial. Jika terjadi persoalan pada kemudi, menurut Wisnu, kapal tidak bisa dikontrol untuk menyelam atau kembali ke permukaan laut.
Menurut Connie, dengan segudang persoalan dan kondisi yang tidak prima, seharusnya kapal selam tidak melakukan upaya penembakan. Pelepasan torpedo, kata Connie, merupakan tahapan striking force yang hanya bisa dilakukan jika kesiapan kapal selam lebih dari 90 persen. “Kalau tidak siap, kapal selam hanya boleh melakukan patroli dan supporting force,” ujar Connie.
Asisten Perencanaan dan Penganggaran Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Muhammad Ali membantah bila Nanggala disebut berada dalam kondisi tak siap dan dipaksakan mengikuti latihan di perairan Bali. Menurut dia, sudah ada tim yang memeriksa kelayakan kapal selam tersebut. “Komandan Nanggala sudah menandatangani rencana pernyataan pelayaran dan menyatakan siap beroperasi,” tuturnya.
Ali juga membantah jika Nanggala disebut mengalami blackout beberapa waktu sebelum hilang. Namun dia membenarkan kabar bahwa Nanggala pernah mengalami blackout di sekitar Pulau Bawean pada 2020. Kapal selam yang tak punya daya dorong itu langsung ditarik ke galangan PT PAL Indonesia. Menurut Ali, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Nanggala menjalani pemeliharaan di galangan PT PAL.
Ihwal kemudi yang bermasalah, Ali menyatakan hal itu sebagai persoalan minor dan hanya dibutuhkan waktu satu hari untuk perbaikan. Dia menambahkan bahwa Nanggala selalu menjalani perawatan berkala dua tahun sekali di PT PAL Indonesia. Terakhir kali, kata Ali, Nanggala menjalani servis mulai Desember 2019 hingga Januari 2020. Ia pun menyatakan Nanggala dinyatakan layak beroperasi hingga 8 September 2022.
Namun Direktur Pemeliharaan dan Perbaikan PT PAL Indonesia, Kuntjoro Pinardi, justru mengatakan perusahaan pelat merah itu tak pernah memperbaiki Nanggala-402 pada periode tersebut. Perbaikan hanya dilakukan terhadap KRI Cakra-401, saudara kembar Nanggala. “Setelah pengecekan dokumen 2019 dan 2020, Nanggala tidak pernah masuk atau docking di PT PAL,” ujar Kuntjoro yang telah mengajukan pengunduran diri sebagai direktur. Menurut Kuntjoro, setiap perbaikan yang pernah dilakukan oleh PT PAL pasti akan tercatat di perusahaan itu.
•••
PERSOALAN Kapal Perang Republik Indonesia Nanggala-402 pernah dibahas di Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, mengingat pembahasan soal perbaikan Nanggala terjadi pada 2010. Dia mengaku saat itu mempersoalkan rencana overhaul Nanggala di perusahaan asal Korea Selatan, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd. “Rencana itu disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Laut,” ujar Hasanuddin di kantornya, Selasa, 27 April lalu.
Padahal Nanggala adalah kapal selam buatan Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) di Kiel, Jerman. Menurut Hasanuddin, biaya overhaul itu juga kelewat tinggi, yaitu US$ 75 juta atau sekitar Rp 1 triliun. Rencana perbaikan itu, kata dia, sempat dipertanyakan oleh mantan Direktur Utama PT PAL Indonesia, Harsusanto. Penyebabnya, teknisi PT PAL tidak diperkenankan mengikuti proses perbaikan di Korea Selatan. Harsusanto enggan membicarakan kembali soal perbaikan Nanggala. “Saya sudah mantan,” ucapnya.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan banyak keganjilan dalam perbaikan Nanggala-402 ini. Saat itu, Indonesia ditawari pembelian kapal selam baru buatan Rusia dengan harga Rp 3,5-4 triliun. Al Araf juga menilai perusahaan di Korea tak mendapat lisensi dari HDW untuk melakukan overhaul. Risikonya, pemeliharaan itu tak sesuai dengan standar dan tak optimal.
Kepada Tempo, Kepala Komunikasi ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS), perusahaan yang mengakuisisi HDW, Eugen Witte, mengatakan perusahaannya tak memiliki kontrak dengan galangan kapal di Korea Selatan untuk melakukan pemeliharaan. Menurut Witte, Nanggala-402 terakhir kali diperbaiki di Kiel, Jerman, pada 1986-1989. Pada 2008, TKMS diminta oleh pemerintah Indonesia mengajukan penawaran perbaikan kapal selam. “Kami mengajukan dua penawaran, tapi semua ditolak oleh Indonesia,” tulis Witte dalam surat elektronik.
Pihak DSME belum bisa dimintai konfirmasi mengenai hal ini. Tempo, yang bekerja sama dengan Korea Center for Investigative Journalism, sudah mengirimkan sejumlah pertanyaan tertulis kepada DSME. Perusahaan itu berjanji menjawab pertanyaan tersebut pada pekan ini. Dikutip dari media Korea Selatan, Hankook Ilbo, DSME terakhir kali memperbaiki pada 2012. Setelah itu, selama 9 tahun, perusahaan Korea Selatan tersebut tak pernah lagi memulihkan Nanggala-402.
Anggota TNI Angkatan Laut menunjukan serpihan milik kapal selam KRI Nanggala 402 dalam jumpa pers di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Bali, 24 April 2021. TEMPO/Johannes P. Christo
Asisten Perencanaan dan Penganggaran Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Muhammad Ali membantah jika perbaikan di Korea Selatan pada 2012 disebut tak optimal. Ali datang ke sana dan mengikuti tes setelah perawatan. “Semua indikator bagus. Kalau gagal, seharusnya Nanggala tidak bisa berlayar lagi.”
Ihwal overhaul yang tak maksimal pernah dikeluhkan oleh Komandan Nanggala Kolonel Heri Oktavian. Kepada kawannya yang juga wartawan Kompas, Edna C. Pattisina, Heri mengungkapkan kegelisahannya terhadap kapal selam tua itu pada pertengahan 2020. “Gue kebat-kebit. Ini kapal tua, overhaul ditunda terus. Tapi (kapal) terus diminta disiapkan,” kata Edna menceritakan ucapan Heri.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, M.A. MURTADHO (BOGOR), ADE RIDWAN (DEPOK), KUKUH S.W. (SURABAYA), MADE ARGAWA (BALI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo