Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH hari tujuh malam Kapal Perang Republik Indonesia Nanggala-402 melaut dari Surabaya ke Tual, Maluku, pada tahun 2000-an. Laksamana Muda Iwan Isnurwanto, mantan Komandan Nanggala, bercerita, kapal selam itu bakal ikut dalam acara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. “Saat beroperasi, kami tidak pernah keluar dari permukaan,” kata Iwan kepada Tempo, Jumat, 30 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iwan, kini menjabat Panglima Komando Armada II, mengatakan dia dan anak buahnya harus bertahan agar tidak bosan dan tetap berfokus pada misi. Musababnya, bertugas di bawah laut bersama Nanggala minim hiburan. Mereka juga tak bisa melihat keadaan di sekitar kapal lantaran tak ada jendela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Nanggala-402, Iwan pernah mengalami keadaan blackout atau kapal kehilangan tenaga. Suatu malam, pada 1990-an, tiba-tiba saja tubuh Iwan yang sedang beristirahat langsung miring 45 derajat. Buru-buru dia dan anak buahnya merangkak ke haluan kapal karena bagian buritan turun ke arah dasar laut. Nanggala terjun bebas ke kedalaman 90 meter dalam waktu 10 detik. Belakangan, listrik kapal kembali menyala dan Nanggala-402 naik ke permukaan setelah sekring yang terputus bisa diperbaiki.
Menurut Iwan, kondisi semacam itu menjadi alasan tak semua orang mampu bertugas di kapal selam. Prajurit selam harus memiliki kondisi psikologis yang prima dan kecerdasan intelektual yang tinggi serta mampu menghadapi tekanan. “Kerjanya di ruang sempit, tidak mudah bosan, dan dia harus bisa bertahan,” ujar Iwan. Karena ruang lingkup kerja yang di bawah laut dan di kapal selam, menurut Iwan, para awak kapal pun memiliki kedekatan emosional. “Seperti keluarga.”
Komandan KRI Nanggala-402 periode 2004-2005, Laksamana Muda Muhammad Ali, mengaku pernah ditugasi ke berbagai penjuru Indonesia. Kapal buatan Howaldtswerke-Deutsche Werft di Kiel, Jerman, itu mengarungi kawasan Natuna, Samudra Hindia, dan Laut Sulawesi. “Operasinya berbulan-bulan,” ucapnya.
Ali, kini menjabat Asisten Perencanaan dan Penganggaran Kepala Staf TNI Angkatan Laut, bercerita, Nanggala juga pernah ditugasi ke perairan Timor Timur pada Oktober 1999. Saat itu bertepatan dengan berjalannya sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memutuskan bahwa daerah tersebut tidak lagi berada di wilayah Indonesia dan menjadi Timor Leste. Hening di kedalaman laut, Nanggala bersiaga terhadap semua kapal yang datang ke Timor Leste. Ketika itu, tidak terjadi konflik di laut.
Diproduksi pada 1978 dan berdinas pertama pada 1981, Nanggala-402 memiliki jam menyelam yang tinggi. Dalam catatan yang diperoleh Tempo, sejak 2012 hingga 2019, kapal selam itu beroperasi selama 590 hari. Jumlah tersebut terbilang jauh lebih tinggi ketimbang kapal selam lain, termasuk saudara kembar Nanggala, KRI Cakra-401. Pada 2017, Nanggala-402 menggelar Operasi Trisila selama seratus hari di sejumlah wilayah laut, seperti Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut dan Selat Lombok, Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, serta Laut Banda. Total operasi ini berjarak 15.200 mil laut.
Nanggala-402 juga merupakan kapal selam yang dipakai untuk pemberian brevet kehormatan Hiu Kencana—korps kapal selam. Pada 2014, misalnya, Angkatan Laut memberikan brevet kepada sejumlah menteri di kapal itu. Mereka di antaranya Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo