Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gugatan janggal muncul di tengah utang Sritex yang menggunung hingga Rp 17 triliun.
Meski penjualan Sritex meningkat, kas yang melorot di awal tahun membuat pembicaraan restrukturisasi utang tersendat.
Banyak utang lain yang tdak masuk dalam laporan Keuangan konsolidasi Grup Sritex.
DI balik pagar besi berkelir jingga setinggi tiga meter, CV Prima Karya berdiri. Kamis siang, 29 April lalu, kantor perusahaan konstruksi yang terletak di Jalan Juanda, Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu tertutup rapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prima Karya adalah kontraktor kecil yang sedang berada di pusaran utang jumbo PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex. Rabu, 19 April lalu, perusahaan milik Djoko Prananto ini mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap Sritex di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan juga dialamatkan kepada tiga anak perusahaan Sritex, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan PKPU diajukan Prima Karya di tengah masalah keuangan yang sedang membelit Sritex. SRIL—kode emiten Sritex di Bursa Efek Indonesia—terbelit utang senilai total Rp 17 triliun. Perseroan sedang mengupayakan restrukturisasi atas sebagian tunggakan yang bakal jatuh tempo dalam waktu dekat.
Jadilah kemunculan Prima Karya memantik kasak-kusuk di kalangan bankir pemberi kredit Sritex. Gugatan PKPU itu dicurigai hanya menjadi kedok untuk menaikkan posisi tawar pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut di hadapan para kreditor. Hubungan bisnis dan perkawanan panjang Djoko dan Lukminto, pendiri Sritex, menjadi akar kecurigaan ini.
Wakil Ketua Perkumpulan Masyarakat Solo (PMS) Sumartono Hadinoto menjadi saksi kedekatan keduanya. “Kami semua pernah sama-sama di Hoo Hap,” kata Sumartono saat dihubungi pada Selasa, 27 April lalu.
Suasana kantor CV Prima Karya di Jalan Juanda 266A, Solo, Jawa Tengah. Tempo/Ahmad Rafiq
Hoo Hap adalah salah satu organisasi kemasyarakatan Tionghoa di Surakarta yang melebur di PMS. “Pak Luk—panggilan Lukminto—dulu donaturnya,” tutur Sumartono.
Djoko dan anak-anak Lukminto juga pernah satu organisasi di yayasan pengelola klub bola basket Bhinneka Sritex. Lukminto, yang dikenal penghobi basket, mengakuisisi klub dan Gedung Olahraga (GOR) Sritex Arena dari Halim Sugiarto, pengusaha tekstil lain di Surakarta. Hubungan Djoko dan Sritex berlanjut setelah Lukminto meninggal pada 2014—digantikan oleh Iwan Setiawan Lukminto, anaknya.
Nilai piutang Prima Karya kepada Sritex yang menjadi dasar PKPU hanya Rp 5,5 miliar. Gugatan PKPU Prima Karya masuk ke pengadilan hanya berselang sepekan setelah sindikasi perbankan menolak permintaan standstill alias libur membayar pokok dan bunga utang modal kerja yang diajukan Sritex.
Per 31 Desember 2020, outstanding utang jangka pendek Sritex mencapai US$ 277,5 juta. Rata-rata utang itu jatuh tempo pada awal dan pertengahan 2021.
Melihat keganjilan PKPU itu, kuasa hukum PT Bank QNB Indonesia Tbk dan PT Bank HSBC Indonesia, Swandy Halim, melayangkan nota ke Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu, 28 April lalu. Kebetulan hari itu adalah jadwal sidang pembuktian.
Swandy meminta pengadilan menolak gugatan PKPU Prima Karya. “Sritex, menurut laporan keuangan mereka tahun 2020, punya setara kas US$ 187 juta atau Rp 2,7 triliun. Kalau ada kontraktor menagih Rp 5,5 miliar, tentu sangat mampu bayar itu,” ujar Swandy saat dihubungi pada Jumat, 30 April lalu. “Kami sudah menyampaikan suara dari HSBC dan QNB. Terserah putusan pengadilan sekarang.”
Pengadilan Negeri Semarang dijadwalkan memutus perkara PKPU Prima Karya pada 6 Mei 2021. Jika gugatan dikabulkan, 15 bank pemberi pinjaman jangka pendek sebesar US$ 277,5 juta kepada Sritex bakal terkena imbas. Mereka tak akan bisa menagih Sritex dan anak-anak usahanya untuk membayar utang selama perusahaan itu terikat PKPU. “Tidak bisa dipaksa membayar kalau sudah begitu,” ucap Swandy.
Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto tidak menjawab upaya klarifikasi dan pertanyaan Tempo sejak Rabu, 28 April lalu. Head of Corporate Communications Sritex Joy Citradewi sempat menjanjikan jawaban tertulis. Namun sampai Sabtu, 1 Mei, jawaban yang dijanjikan tak kunjung datang.
Joy sempat mengirim siaran pers perusahaan sehari sebelumnya, Jumat, 30 April. “Mungkin bisa sedikit menjawab pertanyaan Anda,” kata Joy lewat layanan aplikasi pesan instan.
Dalam keterangan itu, Sritex membantah kabar yang menyebutkan PKPU Prima Karya adalah rekayasa perusahaan. Sritex juga menyanggah informasi bahwa Djoko berkerabat dengan Iwan.
Namun Sritex mengakui Djoko pernah menjabat sekretaris di GOR Sritex Arena. “(Djoko) pernah tergabung dalam aktivitas fundraising untuk salah satu acara olahraga yang diadakan di GOR Sritex Arena. Acara olahraga tersebut dilakukan pada 2012 dengan sepengetahuan almarhum Bapak Lukminto,” demikian bunyi siaran pers Sritex. Prima Karya, menurut Sritex, baru menjadi rekanan perusahaan pada 2017.
•••
GUNUNG utang Sritex sebetulnya sudah mulai mengemuka akhir tahun lalu. Pada November 2020, perusahaan mengusulkan perpanjangan dua tahun fasilitas pinjaman sindikasi mereka sebesar US$ 350 juta, yang mulanya jatuh tempo pada Januari 2022. Sindikasi perbankan menolak usul tersebut.
Namun Head of Corporate Communications Sritex Joy Citradewi, dalam siaran pers perusahaan, Sabtu, 24 April lalu, justru mengeluhkan sulitnya perpanjangan itu. Sempat akan dibahas lebih lanjut pada Maret lalu, kata Joy, penandatanganan perpanjangan yang seharusnya diteken pada 19 Maret ditunda di menit terakhir. “Penundaan tersebut telah membawa nasib perusahaan ke tangan bank dan lembaga pemeringkat yang secara bergiliran menebar kekhawatiran,” ucap Joy.
Memang, pada 23 Desember 2020, perusahaan pemeringkat kredit Moody’s menurunkan peringkat Sritex dari Ba3 menjadi B1 gara-gara struktur utang dan likuiditas perusahaan yang mengetat. Sebulan kemudian, Januari 2021, Sritex menunda penerbitan surat utang senilai US$ 325 juta yang diniatkan untuk membayar utang.
Di sisi lain, sejak awal tahun, sejumlah kreditor membekukan dan mengurangi fasilitas modal kerja mereka kepada Sritex. Pembekuan dan pengurangan itu, menurut Joy, terjadi ketika operasi dan pasar Sritex mulai pulih. Dia balik menuding kebijakan bank-bank itu tidak terintegrasi dengan visi pemerintah atau otoritas perbankan yang terus mendukung penyaluran kredit untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Swandy Halim, pengacara HSBC dan QNB, menegaskan bahwa setiap keputusan bisnis kliennya telah mempertimbangkan kondisi Sritex. “Bank sudah melihat kondisi perusahaan. Ini ada masalah atau enggak. Sesuai dengan kebutuhan atau tidak kreditnya itu,” tutur Swandy, mengomentari keluhan atas pembekuan dan pengurangan kredit kepada Sritex.
Gagal mendapat penundaan jatuh tempo kredit sindikasi, Sritex menyurati sejumlah kreditor untuk meminta keringanan pembayaran utang. Pada 29 Maret 2021, misalnya, perusahaan menyurati QNB, meminta utang-utang mereka direstrukturisasi. Menurut Swandy, Sritex meminta keringanan dengan alasan operasinya terkena dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 alias Covid-19. “Itu untuk restrukturisasi utang modal kerja mereka,” ujar Swandy.
Per 31 Desember 2020, seperti tercatat dalam laporan keuangan Sritex, perusahaan itu memiliki utang jangka pendek kepada QNB sebesar US$ 35,4 juta atau Rp 512 miliar dengan kurs Rp 14.400. Utang itu semestinya jatuh tempo pada 1 April 2021. Keduanya telah sepakat memperpanjang waktu pembayaran sampai 1 Juli 2021.
Klaim perusahaan kepada para kreditor, yakni mereka sedang mengalami kesulitan gara-gara pandemi, sebetulnya berkebalikan dengan pernyataan publik Sritex. Dalam siaran pers, Jumat, 30 April lalu, perusahaan justru menyatakan berhasil membukukan pertumbuhan penjualan sebesar 8,52 persen pada 2020. Nilainya mencapai US$ 1,28 miliar. Sebanyak 59,4 persen di antaranya atau senilai US$ 762 juta diperoleh dari ekspor. “Pencapaian ini patut kami banggakan di tengah lesunya permintaan pasar dan kendala logistik di seluruh dunia,” begitu bunyi keterangan perusahaan.
Nilai kas dan setara kas perusahaan juga naik dari US$ 168,3 juta atau Rp 2,4 triliun pada Desember 2019 menjadi US$ 187,6 juta atau Rp 2,7 triliun per Desember 2020.
Rupanya, kenaikan pendapatan itu dibarengi lonjakan utang. Total utang jangka pendek Sritex per 31 Desember 2020 mencapai US$ 277,5 juta, naik 410 persen dibanding pada akhir 2019 yang hanya US$ 67,5 juta. Lonjakan itu membuat total utang perusahaan per Desember 2020 mencapai US$ 1,179 miliar atau Rp 17 triliun—termasuk utang usaha perusahaan. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, total utang perseroan hanya US$ 966,5 juta atau Rp 13,9 triliun.
Beban utang jangka pendek Sritex yang terbesar memang berasal dari HSBC Indonesia, yakni senilai US$ 42,8 juta atau Rp 619 miliar. Deretan utang jangka pendek Sritex berturut-turut tercatat di PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (US$ 38,8 juta), QNB Indonesia (US$ 35,4 juta), PT Bank Muamalat Indonesia (US$ 29,6 juta), MUFG Bank (US$ 26,6 juta), Standard Chartered Bank (US$ 26,2 juta), dan Taipei Fubon Commercial Bank Co Ltd (US$ 20 juta).
Utang Sritex juga berserak di sejumlah bank lain, seperti Bank of China (Hong Kong) Limited (US$ 15 juta), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (US$ 12 juta), dan PT Bank Pembangunan DKI Jakarta (US$ 10,6 juta). Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk, PT Bank DBS Indonesia, Emirates NBD, dan Cathay United Bank punya piutang kepada Sritex masing-masing senilai kurang dari US$ 10 juta. Sebagian besar pinjaman jangka pendek ini jatuh tempo pada 2021.
Di luar itu, Sritex punya tanggungan utang sindikasi dari sejumlah bank. Total fasilitas pinjaman sindikasi ini mencapai US$ 350 juta Rp 5,052 triliun yang akan jatuh tempo pada 2 Januari 2022. Citigroup Global Markets Asia Limited, DBS Bank Ltd, HSBC Indonesia, dan The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited bertindak sebagai agen atau mandated lead arranger and bookrunner pinjaman tanpa agunan tersebut.
Suasana produksi di pabrik tekstil PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Oktober 2018. FOTO: Tempo/Ahmad Rafiq
Dari 29 kreditor dalam sindikasi, HSBC Indonesia dan DBS Indonesia menjadi penyandang terbesar, masing-masing US$ 40 juta. Selanjutnya, ada Citibank Indonesia (US$ 25 juta), State Bank of India Cabang Singapura (US$ 24 juta), Bank of China di Jakarta (US$ 23,5 juta), dan PT Bank Permata Tbk (US$ 20 juta). Dua puluh tiga bank lain masing-masing menyediakan fasilitas US$ 5-15 juta. Mayoritas adalah bank swasta asing.
Setelah menyurati para kreditor, Sritex menggelar diskusi besar bersama para kreditor bilateral dan sindikasi pada awal April lalu. Perusahaan diwakili Direktur Keuangan Allan Moran Severino, juga didampingi Helios Capital. Sebelumnya, pada 3 April lalu, Sritex menunjuk Helios Capital dan Assegaf Hamzah sebagai penasihat keuangan dan penasihat hukum perusahaan dalam proses restrukturisasi itu.
Dalam pertemuan virtual itulah Sritex membeberkan masalah keuangan perusahaan karena sejumlah kreditor membekukan fasilitas kredit mereka. Kreditor lain juga mengurangi fasilitas kredit untuk Sritex. Kondisi ini menjadi dalih Sritex untuk meminta restrukturisasi. Salah satu permintaan mereka berupa libur membayar pokok dan bunga utang.
Perusahaan juga membeberkan sisa setara kas mereka kurang dari US$ 100 juta per 31 Maret 2021. Artinya, hanya dalam tiga bulan, likuiditas perseroan menyusut US$ 80 juta lebih dari posisi 31 Desember 2020 yang masih US$ 189 juta. Situasi ini yang membuat para bankir tersentak. “Klien kami (QNB dan HSBC) juga kaget mendengar itu,” ucap Swandy.
Masalahnya, semua kreditor modal kerja Sritex tidak memegang agunan. Perjanjian kredit mereka dengan Sritex bersifat clean basis. Kreditor biasanya hanya memegang letter of credit, surat tagihan dari para pelanggan, nama besar Sritex, dan niat baik pemilik.
Walhasil, tidak ada keputusan dalam forum tersebut. Semuanya menggantung, hingga kemudian muncul gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang dari Prima Karya.
Sehari kemudian, giliran QNB Indonesia yang menggugat PKPU. Tapi gugatan kali ini bukan kepada Sritex, melainkan kepada PT Senang Kharisma Textile (SKT). Perusahaan ini sebenarnya tak terkonsolidasi dalam Grup Sritex, tapi punya pengendali yang sama: Iwan Setiawan Lukminto. Dalam kucuran kredit senilai Rp 100 miliar kepada PT Senang Kharisma Textile, QNB rupanya mengantongi garansi pribadi dari Iwan dan istrinya, Megawati Boediono. “SKT sudah enggak bayar sejak 3 April 2021. Pokoknya Rp 100 miliar. Tunggakannya Rp 900 juta,” kata Swandy.
Menerangkan lewat keterbukaan informasi publik di Bursa Efek Indonesia, Direktur Keuangan Allan Moran Severino membenarkan kabar bahwa bosnya, Iwan Setiawan, memberikan garansi pribadi dalam kredit SKT. “Gugatan kepada Senang Kharisma Textile benar adanya,” tutur Allan pada Rabu, 26 April lalu.
•••
SEPEKAN sebelum menunjuk Helios Capital sebagai penasihat keuangan perusahaan, awal April lalu, Sritex menghubungi sejumlah perusahaan pemasok nonrelasi. Seorang petinggi perusahaan pemasok Sritex mengungkapkan, Iwan Setiawan yang langsung menelepon bos-bos pemasok. “Pak Iwan meminta pemasok tetap mengirim barang ke Sritex dan berjanji tetap bisa membayar tagihannya,” ujar seorang petinggi perusahaan pemasok yang meminta identitas pribadi dan badan usahanya tak disebutkan.
Sritex selama ini dikenal sebagai perusahaan tekstil terlengkap. Lini produksinya berada di hulu hingga hilir industri. Kapasitas produksi Sritex juga yang terbesar, yakni di lini pemintalan mencapai 1,1 juta benang bal per tahun, kain greige 179,9 juta meter per tahun, kain jadi 240 juta yard per tahun, dan garmen 30 juta potong per tahun.
Namun Sritex rupanya masih membutuhkan pasokan bahan tengah. Produksi rayon, misalnya, belum maksimal dari PT Rayon Utama Makmur—afiliasi perseroan. Begitu pula fabric dan poliester. Per 31 Desember 2020, utang usaha Sritex kepada pihak ketiga, termasuk para pemasok, mencapai US$ 33,4 juta atau Rp 482,5 miliar.
Head of Corporate Communications Sritex Joy Citradewi enggan menjawab pertanyaan Tempo tentang upaya bosnya meyakinkan para rekanan agar tetap memasok berbagai kebutuhan produksi tersebut.
Sritex sebetulnya lebih konservatif dalam ekspansi bisnis, tidak seperti Duniatex Group yang gagal membayar utang Rp 19,1 triliun pada 2019 dan pailit tahun lalu akibat terjerembap dalam ekspansi properti. Sritex memang punya jaringan hotel yang merupakan peninggalan era Lukminto, seperti Diamond, Grand Orchid, @Hom, serta kondotel Solo Center Point di Surakarta dan Hotel Grand Quality di Yogyakarta. Namun setidaknya Sritex masih jorjoran mengembangkan tekstil, bisnis inti mereka.
Dalam catatan A&M Financial Advisory, sepanjang 2014-2020, Sritex telah menggelontorkan US$ 590 juta untuk belanja modal dan akuisisi sejumlah perusahaan. Sebagian besar aksi korporasi itu didanai utang korporasi. Pendanaan dari ekuitas perusahaan hanya US$ 45 juta.
Sritex, misalnya, mengakuisisi PT Sinar Pantja Djaja pada November 2013 dari PT Kapas Agung Abadi dan Iwan Kurniawan Lukminto, adik kandung Iwan Setiawan, senilai Rp 723 miliar. Pada Februari 2018, Sritex mengakuisisi dua perusahaan sekaligus, PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries. Saat itu Sritex menyatakan keluar duit sampai Rp 1,14 triliun untuk membeli dua perusahaan yang digadang-gadang bakal memperkuat pasar ekspor dan meningkatkan penjualan sampai 30 persen tersebut.
Pengendali Sritex juga rajin mengakuisisi dan mendirikan perusahaan lain yang kelak menjadi pemasok inti. Salah satunya PT Rayon Utama Makmur, pemasok rayon. Sritex tercatat mengoleksi banyak pemasok berelasi. Per 31 Desember 2020, piutang Sritex kepada pihak berelasi ini mencapai US$ 67,4 juta atau Rp 973 miliar.
Di perusahaan pemasok dan berelasi inilah masih banyak utang-utang Sritex yang tidak terkonsolidasi di laporan keuangan grup. Salah satu piutang dikantongi PT Bank Negara Indonesia atau BNI. Dalam laporan konsolidasi, utang Sritex kepada BNI tercatat hanya US$ 12 juta. Namun, jika dihitung dengan pemasok dan perusahaan berelasi, jumlahnya bakal melonjak hingga mencapai triliunan rupiah.
PT Rayon Utama Makmur, misalnya, punya batas kredit sampai Rp 2,6 triliun di BNI. Ada juga fasilitas kredit buat PT Kencana Terang Abadi sebesar US$ 35,3 juta, PT Sriwahana Adityakarta (Rp 580 miliar), PT Mitra Adhikarya Plasindo (Rp 68,7 miliar), dan PT Garuda Prima Sentosa (Rp 96,5 miliar). Belum lagi utang di New Bloom (Hong Kong) sebesar US$ 15 juta, Golden Mountain (Singapura) US$ 30 juta, dan LHD London US$ 14,8 juta.
Pengendali Sritex ternyata juga sedang mengajukan permintaan restrukturisasi untuk utang-utang itu. “Kami sedang meneliti secara keseluruhan terkait dengan nasabah dimaksud,” kata Mucharom, Sekretaris Perusahaan BNI, saat dihubungi pada Sabtu, 1 Mei lalu. “Kami melakukan assessment secara prudent, termasuk dengan mengkaji peluang, risiko, serta kapabilitas dan kapasitas debitor dalam mengembalikan pinjamannya.”
Kewajiban utang di BNI ini seperti tanggungan kredit Senang Kharisma Textile di QNB: tidak terkonsolidasi di Sritex, tapi berpusat pada aktor yang sama, yaitu pengendali perusahaan. Sejak rapat virtual besar pada awal April lalu, belum ada pertemuan lanjutan. Proposal restrukturisasi dari Sritex juga belum melayang. Lewat keterangan pers, Sabtu, 24 April lalu, Sritex menyatakan telah meminta dukungan para pemangku kepentingan untuk menghadapi situasi saat ini.
KHAIRUL ANAM, AHMAD RAFIQ (Surakarta)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo