Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pohon-pohon Sandeq

Kayu untuk membuat perahu sandeq harus khusus. Diperlukan ritual tertentu saat menebang pohonnya.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kayu untuk membuat perahu sandeq harus khusus. Diperlukan ritual tertentu saat menebang pohonnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sembarang kayu bisa dijadikan bahan utama pembuatan sandeq, perahu bercadik khas suku Mandar, Sulawesi Barat. Pembuat sandeq, Syahid, mengatakan perahu itu hanya bisa dibikin dari empat jenis kayu, yakni meranti, tipulu, palapi, dan binuang. Semua jenis kayu itu banyak terdapat di wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. "Biasanya diambil dari atas gunung," kata Syahid kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pohon keempat jenis kayu itu juga tak boleh asal ditebang. Para penebang, yang dikenal dengan sebutan passenso, mesti menentukan hari baik agar kelak perahu yang dibuat bisa dimudahkan rezekinya. Penentuan hari baik biasanya dilakukan dengan rumusan kuno. Naiknya bulan purnama dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menebang pohon. Adapun pemotongan kayu harus dilakukan ketika matahari menanjak naik dan angin sedang berembus. "Ini agar rezeki juga naik. Kalau bulan turun kan rezeki juga turun," ujar Syahid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Syahid, penentuan hari baik untuk menebang dan memotong kayu bahan sandeq telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat suku Mandar. Sebelum menebang pohon, warga Mandar menyediakan sesaji berupa aneka kue dan pisang di atas baki. Sambil mengelilingi pohon yang akan ditebang, mereka membakar dupa serta membaca doa untuk meminta izin kepada para penjaga pohon. "Pohon besar kan rata-rata punya penjaga. Jadi harus meminta izin," ucap warga Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, itu.

Setelah ritual itu, passenso akan meniup dan mengusap-usap pohon tersebut sambil melihat ke atas. Menurut seorang passenso, Nasaruddin, hal itu dimaksudkan untuk membuat para penghuninya datang. Dengan begitu, kata Nasaruddin, passenso bisa berbicara langsung dengan penghuni pohon agar mereka beralih ke pohon lain. "Penghuninya harus dikasih pindah ke pohon lain dulu, baru bisa ditebang," katanya.

Adapun aksi passenso melihat ke atas menjadi simbol permohonan agar para penghuni pindah ke pohon lain. Jika daun-daun pohon bergoyang, Nasaruddin melanjutkan, penghuninya telah mengizinkan penebangan. "Tapi ada juga yang daunnya tidak bergoyang. Artinya, kami tak diberi izin menebang pohon itu," ujar warga Desa Mambu, Kecamatan Luyo, Polewali Mandar, tersebut.

Para passenso akan langsung menebang pohon begitu mendapat isyarat diizinkan dari para penghuninya. Masyarakat Mandar percaya bahwa pohon yang baik batangnya akan jatuh ke arah matahari atau sesuai dengan arah tangkainya saat ditebang. "Semua ini memiliki makna untuk keselamatan dan rezeki," tutur Nasaruddin. Ketika pohon tumbang, warga Mandar di sekitarnya akan mengambil serpihan kayu dari tengah batang, kemudian mereka gigit. "Ini juga bermakna keselamatan untuk semua," ucap Mustakim, pembuat sandeq yang juga passandeqawak Sandeq.

Setelah pohon ditebang, bagian tengah batang digali menggunakan kapak atau cangkul kecil, lalu dikeringkan selama sepuluh hari agar ringan diangkat. Batang itu kemudian dibentuk secara kasar menyerupai perahu sandeq, dengan panjang 12-13 meter dan lebar 50-60 sentimeter. Setelah itu, barulah perahu setengah jadi tersebut dikeluarkan dari hutan melalui sungai atau ditarik warga. Pengerjaan lantas dilanjutkan hingga selesai dan dijalankan lagi ritual membakar dupa serta menyediakan sesaji berupa pisang, nasi ketan, serta telur. "Kami doakan lagi untuk keselamatan," kata Syahid.

Menurut Syahid, untuk membuat sandeq yang bagus, diperlukan kayu bertulang bengkok. "Kayunya harus yang melengkung supaya tidak cepat patah," ujarnya. Kayu itu kemudian dikeringkan selama satu bulan atau paling cepat 15 hari. Sebab, jika basah, kayu akan renggang sehingga tak bisa dibawa melaut. Syahid mengungkapkan, tak mudah memilih kayu yang bisa menghasilkan sandeq berkualitas. Bahkan kadang para pembuat sandeq mesti lama menunggu untuk menemukan kayu terbaik.

Mulanya sandeq dibuat warga Mandar untuk mencari ikan di laut dan dijadikan sarana transportasi perdagangan. Tapi, belakangan, perahu tradisional itu diadu dalam acara lomba balap sandeq tahunan yang dikenal sebagai Festival Sandeq Race di Sulawesi Barat. Menurut Syahid, sandeq yang akan ikut bertanding sengaja dibuat lebih ramping agar bisa cepat melaju dan membelah ombak. Perahu itu biasanya dibuat selama lima bulan sebelum lomba. "Harga satu perahu sekitar Rp 70 juta," tuturnya.

Passenso yang juga passandeq, Mustakim, menyebutkan perahu itu tak lagi dipakai warga Mandar untuk menangkap ikan di laut. Sebab, banyak warga Mandar kini menggunakan perahu berteknologi modern, yang lebih efektif dan praktis, untuk melaut. "Jadi sandeq hanya disimpan di samping rumah jika lomba sudah selesai," kata warga Desa Bala, Balanipa, Polewali Mandar, itu.

Didit Hariyadi (Makassar), Arif Budianto (Mamuju), Prihandoko

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus