Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sim-salabim di Bulucina

Sebagian areal tanah perkebunan itu dibagikan kepada penduduk. tapi banyak sim (surat izin menggarap) yang jatuh ke tangan yang tidak berhak. ada pula yang diperjual-belikan. bentrokan kecil sudah terjadi.

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPASUKAN polisi dan tentara bersenjata, berikut beberapa laki-laki lainnya, siap-siaga di pinggir-pinggir sawah. Mereka menjaga sejumlah perempuan dan anak-anak memetik padi yang menguning. Tak jauh dari situ tampak para lelaki lainnya bergerombol mengawasi. Suasana terasa tegang di masing-masing pihak. Ketegangan seperti itu memang mewarnai musim panen di Desa Bulucina, Kecamatan Hamparan Perak (Deli Serdang, Sum-Ut) -- 17 km dari pusat Kota Medan. Beberapa bentrokan kecil bahkan telah terjadi dalam sengketa tanah ini. Untunglah, sampai pekan lalu belum ada korban jatuh, meski ketegangan belum berakhir. Pertengahan bulan lalu, gubuk Maruli Silalahi, 60 tahun, nyaris terbakar. Malam itu ia terjaga mendengar lemparan-lemparan batu di atas gubuknya. Maruli keluar dengan golok terhunus dan enam orang bertangan jahil melarikan diri. Maruli tak sempat memburu mereka sebab dilihatnya api mulai menjilat atap gubuknya. Bersama anaknya, Paiyan Silalahi, ia segera memadamkannya. "Untung kami segera terbangun. Kalau tidak kan sudah jadi ikan panggang," kata Maruli. Sebelumnya Mula Sinaga, sejawat Maruli, malak nyaris terbunuh. Ketika ia sedang menyabit padi di sawah, puluhan orang bersenjata kayu dan parang memburunya. Sinaga bersembunyi di sebuah rumah kosong, sementara dua polisi yang menjaganya lari pula. Ketika nasib Sinaga sudah di ujung tanduk -- rumah kosong itu dikepung penyerbu -- sepasukan polisi dan tentara muncul tepat pada waktunya. Sehari sebelumnya palisi juga menemukan sejumlah paku ukuran 3 inci -- yang matanya dikikir tajam -- bertebaran di pematang sawah. Paku-paku yang diberi alas tripleks itu diserahkan di pematang, ditutup dedaunan. Mirip ranjau, mungkin dimaksud agar orang mengurungkan niat memotong padi. Untung polisi segera menyitanya. Sejak panen akhir Februari, sawah seluas 101 ha itu memang selalu dikawal para petugas bersenjata. Para petani Blok A di desa itu mengaku merekalah yang menanam padi, bahkan sebagai pemilik tanah. Tapi setiap kali hendak menyabit, mereka ditangkap, dituduh mencuri padi. Bukan Petani? "Masak memotong padi sendiri dituduh mencuri. Lho, sawah itu kan di belakang rumah saya," kata Ponimin, pimpinan kelompok petani Blok A. Seorang guru mengaji di sana, Syarbaini, juga berkata: "Demi Allah, kami ini tidak dusta." Sawah itu memang berada di sekitar perumahan Blok A. Namun penduduk di Blok C yang berjarak tujuh kilometer dari persawahan itu, juga merasa memiliki sawah tersebut. "Buktinya, kami punya surat izin menggarap alias SIM," kata Maruhum Limbong, guru SD Inpres, pimpinan kelompok Blok C. Kasus yang sama juga muncul di Gelugur Rimbun, Kecamatan Kutalimbaru dan Saentis, Kecamatan Percut Sungai Tuan. Para petani Bulucina, akhirnya Januari lalu mengadu ke kantor bupati. Dan sebulan kemudian giliran kantor gubernur dan DPRD Sum-Ut didatangi petani Saentis. Upaya penyelesaian bukannya tak ada. Akhir Februari lalu Abdulmanan Simatupang, Sekwilda Sum-Ut yan, mengetuai tim penyelesaian tanah mengirim utusan ke Saentis untuk berembuk dengan petani. Tapi yang hadir hanya 25 orang, itu pun bukan pemilik SIM. Ke mana para pemegang SIM? "Saya tak tahu alamat mereka. Mereka bukan penduduk sini, mereka penduduk Kotamadya Medan," lapor Kepala Desa Saentis, Yatim Al-Amat. Di Bulucina, para pemegang SIM konon kebanyakan malah bukan petani, tapi terdiri dari asisten kebun, anggota Koramil, guru SMA Medan, dan sebagainya -- seperti ditulis koran-koran Medan. Kabarnya SIM-SIM itu juga ada yang diperjual-belikan sampai seharga Rp 1 juta. Mengapa para petani tidak kebagian SIM? Menurut cerita M. Simbolon, salah seorang petani Bulucina, seusai upacara pemberian SIM secara simbolis oleh Gubernur E.W.P. Tambunan akhir Agustus tahun lalu, para petani dikumpulkan. Mereka dipungut Rp 500.000 untuk selembar SIM. Simbolon hanya mampu menyerahkan uang Rp 140.000, karena itu si petugas pun marah. "Uang itu dikembalikan dan saya tak mendapat SIM," kata Simbolon. Bisa dimaklum kalau SIM itu lantas diejek sebagai "simsalabim" oleh para petani. Sumber Pertikaian Areal yang diperebutkan itu, 101 ha, merupakan sebagian dari 2.000 ha yang dikeluarkan dari konsesi PTP IX (tembakau). Areal perkebunan itu sendiri seluruhnya hampir 60.000 ha, terletak di sekitar Medan. Areal yang dikeluarkan itu dibagikan kepada penggarap sebagai upaya penyelesaian sengketa 1979 yang lalu. Selain di Deli Serdang (14 lokasi, seluas 516 ha, untuk 741 kk), tanah dengan SIM itu diberikan pula kepada para petani di Kabupaten Langkat. SIM itu berlaku dua tahun. Bila penggarap memelihara tanah dengan baik, SIM ditingkatkan menjadi sertifikat. Tak kurang dari 260 kk di Blok A Desa Bulucina mengaku sudah sejak 1952 menggarap tanah perkebunan itu. Karena itu mereka inilah sebenarnya yang berhak mendapat SIM. Tahu-tahu ketika gubernur membagikan SIM, yang mendapat ternyata penduduk Blok C -- meskipun yang belakangan ini sudah memiliki tanah rata-rata 1 ha. Malahan waktu upacara pembagian SIM itu, petani Blok A dilarang memasuki tempat upacara. Penduduk Blok C juga mengaku menggarap tanah tersebut sejak 1963, meskipun sekarang mereka kebanyakan tinggal di Medan, Tarutung, Kabanjahe dan sebagainya. "Soalnya sejak 1965 kami digusur dari areal perkebunan," kilah Limbong, pimpinan kelompok Blok C. Belakangan ketika sebuah tim melakukan inventarisasi penggarap tanah, mereka mendaftarkan diri, kemudian disahkan oleh Panitia Landreform Bulucina. Daftar inilah rupanya yang menjadi dasar pembagian SIM yang jadi sumber pertikaian itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus