SEPASUKAN polisi dan tentara bersenjata, berikut beberapa
laki-laki lainnya, siap-siaga di pinggir-pinggir sawah. Mereka
menjaga sejumlah perempuan dan anak-anak memetik padi yang
menguning. Tak jauh dari situ tampak para lelaki lainnya
bergerombol mengawasi. Suasana terasa tegang di masing-masing
pihak.
Ketegangan seperti itu memang mewarnai musim panen di Desa
Bulucina, Kecamatan Hamparan Perak (Deli Serdang, Sum-Ut) -- 17
km dari pusat Kota Medan. Beberapa bentrokan kecil bahkan telah
terjadi dalam sengketa tanah ini. Untunglah, sampai pekan lalu
belum ada korban jatuh, meski ketegangan belum berakhir.
Pertengahan bulan lalu, gubuk Maruli Silalahi, 60 tahun, nyaris
terbakar. Malam itu ia terjaga mendengar lemparan-lemparan batu
di atas gubuknya. Maruli keluar dengan golok terhunus dan enam
orang bertangan jahil melarikan diri.
Maruli tak sempat memburu mereka sebab dilihatnya api mulai
menjilat atap gubuknya. Bersama anaknya, Paiyan Silalahi, ia
segera memadamkannya. "Untung kami segera terbangun. Kalau tidak
kan sudah jadi ikan panggang," kata Maruli.
Sebelumnya Mula Sinaga, sejawat Maruli, malak nyaris terbunuh.
Ketika ia sedang menyabit padi di sawah, puluhan orang
bersenjata kayu dan parang memburunya. Sinaga bersembunyi di
sebuah rumah kosong, sementara dua polisi yang menjaganya lari
pula.
Ketika nasib Sinaga sudah di ujung tanduk -- rumah kosong itu
dikepung penyerbu -- sepasukan polisi dan tentara muncul tepat
pada waktunya. Sehari sebelumnya palisi juga menemukan sejumlah
paku ukuran 3 inci -- yang matanya dikikir tajam -- bertebaran
di pematang sawah.
Paku-paku yang diberi alas tripleks itu diserahkan di pematang,
ditutup dedaunan. Mirip ranjau, mungkin dimaksud agar orang
mengurungkan niat memotong padi. Untung polisi segera
menyitanya.
Sejak panen akhir Februari, sawah seluas 101 ha itu memang
selalu dikawal para petugas bersenjata. Para petani Blok A di
desa itu mengaku merekalah yang menanam padi, bahkan sebagai
pemilik tanah. Tapi setiap kali hendak menyabit, mereka
ditangkap, dituduh mencuri padi.
Bukan Petani?
"Masak memotong padi sendiri dituduh mencuri. Lho, sawah itu kan
di belakang rumah saya," kata Ponimin, pimpinan kelompok petani
Blok A. Seorang guru mengaji di sana, Syarbaini, juga berkata:
"Demi Allah, kami ini tidak dusta."
Sawah itu memang berada di sekitar perumahan Blok A. Namun
penduduk di Blok C yang berjarak tujuh kilometer dari persawahan
itu, juga merasa memiliki sawah tersebut. "Buktinya, kami punya
surat izin menggarap alias SIM," kata Maruhum Limbong, guru SD
Inpres, pimpinan kelompok Blok C.
Kasus yang sama juga muncul di Gelugur Rimbun, Kecamatan
Kutalimbaru dan Saentis, Kecamatan Percut Sungai Tuan. Para
petani Bulucina, akhirnya Januari lalu mengadu ke kantor bupati.
Dan sebulan kemudian giliran kantor gubernur dan DPRD Sum-Ut
didatangi petani Saentis.
Upaya penyelesaian bukannya tak ada. Akhir Februari lalu
Abdulmanan Simatupang, Sekwilda Sum-Ut yan, mengetuai tim
penyelesaian tanah mengirim utusan ke Saentis untuk berembuk
dengan petani. Tapi yang hadir hanya 25 orang, itu pun bukan
pemilik SIM. Ke mana para pemegang SIM?
"Saya tak tahu alamat mereka. Mereka bukan penduduk sini, mereka
penduduk Kotamadya Medan," lapor Kepala Desa Saentis, Yatim
Al-Amat. Di Bulucina, para pemegang SIM konon kebanyakan malah
bukan petani, tapi terdiri dari asisten kebun, anggota Koramil,
guru SMA Medan, dan sebagainya -- seperti ditulis koran-koran
Medan.
Kabarnya SIM-SIM itu juga ada yang diperjual-belikan sampai
seharga Rp 1 juta. Mengapa para petani tidak kebagian SIM?
Menurut cerita M. Simbolon, salah seorang petani Bulucina,
seusai upacara pemberian SIM secara simbolis oleh Gubernur
E.W.P. Tambunan akhir Agustus tahun lalu, para petani
dikumpulkan.
Mereka dipungut Rp 500.000 untuk selembar SIM. Simbolon hanya
mampu menyerahkan uang Rp 140.000, karena itu si petugas pun
marah. "Uang itu dikembalikan dan saya tak mendapat SIM," kata
Simbolon. Bisa dimaklum kalau SIM itu lantas diejek sebagai
"simsalabim" oleh para petani.
Sumber Pertikaian
Areal yang diperebutkan itu, 101 ha, merupakan sebagian dari
2.000 ha yang dikeluarkan dari konsesi PTP IX (tembakau). Areal
perkebunan itu sendiri seluruhnya hampir 60.000 ha, terletak di
sekitar Medan. Areal yang dikeluarkan itu dibagikan kepada
penggarap sebagai upaya penyelesaian sengketa 1979 yang lalu.
Selain di Deli Serdang (14 lokasi, seluas 516 ha, untuk 741 kk),
tanah dengan SIM itu diberikan pula kepada para petani di
Kabupaten Langkat. SIM itu berlaku dua tahun. Bila penggarap
memelihara tanah dengan baik, SIM ditingkatkan menjadi
sertifikat.
Tak kurang dari 260 kk di Blok A Desa Bulucina mengaku sudah
sejak 1952 menggarap tanah perkebunan itu. Karena itu mereka
inilah sebenarnya yang berhak mendapat SIM. Tahu-tahu ketika
gubernur membagikan SIM, yang mendapat ternyata penduduk Blok C
-- meskipun yang belakangan ini sudah memiliki tanah rata-rata 1
ha. Malahan waktu upacara pembagian SIM itu, petani Blok A
dilarang memasuki tempat upacara.
Penduduk Blok C juga mengaku menggarap tanah tersebut sejak
1963, meskipun sekarang mereka kebanyakan tinggal di Medan,
Tarutung, Kabanjahe dan sebagainya. "Soalnya sejak 1965 kami
digusur dari areal perkebunan," kilah Limbong, pimpinan kelompok
Blok C.
Belakangan ketika sebuah tim melakukan inventarisasi penggarap
tanah, mereka mendaftarkan diri, kemudian disahkan oleh Panitia
Landreform Bulucina. Daftar inilah rupanya yang menjadi dasar
pembagian SIM yang jadi sumber pertikaian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini