Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggoro Dituntut Lima Tahun Bui

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Anggoro Widjojo lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta atau kurungan empat bulan. Terdakwa kasus dugaan suap proyek revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan ini hadir dalam persidangan Rabu pekan lalu. Jaksa Andi Suharlis menyatakan pemilik PT Masaro Radiokom tersebut terbukti menyuap Menteri Kehutanan saat itu, M.S. Kaban; Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 Yusuf Erwin Faishal; dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan saat itu, Boen Purnama.

Menurut Jaksa, Anggoro mengucurkan duit Rp 210 juta dan Rp 925 juta, Sin$ 220 ribu dan Sin$ 92 ribu, serta US$ 20 ribu, dan dua unit lift berkapasitas 800 kilogram seharga US$ 50.581 untuk lembaga Menara Dakwah. Pemberian fulus itu bertujuan agar Masaro dapat menggarap proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu senilai Rp 180 miliar, yang anggarannya sedang diajukan di Kementerian Kehutanan.

Anggoro enggan berkomentar soal tuntutan jaksa. Tapi kuasa hukumnya, Tomson Situmeang, berharap kliennya mendapat hukuman ringan. "Siapa yang senang dihukum? Pasti enggak ada," ujarnya.

Adapun Kaban menolak berkomentar soal tuntutan jaksa. "Sudah saya sampaikan di persidangan. Tak ada yang perlu saya komentari," katanya.

Anggoro sempat menjadi buron KPK sejak 2009. Ia ditangkap atas kerja sama KPK, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Kepolisian Shenzhen, Cina, pada 29 Januari lalu. Sebelum tertangkap, ia sempat terlacak berada di Singapura.

Jejak Enam Tahun

Januari 2008
KPK menyelidiki dugaan korupsi Anggoro Widjojo dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Kementerian Kehutanan dan proyek Pelabuhan Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.

26 Juni 2008
Anggoro kabur ke Cina dan diduga sempat bersembunyi di Singapura.

22 Agustus 2008
KPK mencekal Anggoro dan sejumlah petinggi PT Masaro Radiokom, seperti Putranefo A. Prayugo (direktur utama), Anggono Widjojo (presiden komisaris), dan David Angkawijaya (direktur keuangan).

16 Mei 2009
Bekas Ketua KPK Antasari Azhar menulis testimoni bahwa sejumlah pemimpin komisi antirasuah menerima suap dari Anggoro.

9 Juli 2009
KPK menetapkan Anggoro sebagai buron.

31 Agustus 2010
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis adik Anggoro, Anggodo Widjojo, empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta.

3 Maret 2011
Majelis kasasi Mahkamah Agung memperberat hukuman Anggodo dari lima tahun bui di tingkat banding menjadi sepuluh tahun penjara dan denda Rp 250 juta.

29 Januari 2014
Anggoro tertangkap di Cina.

Sumber: PDAT, Danni


Tersangka Kasus Videotron Ditahan

ADA perkembangan baru dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan videotron di Kementerian Koperasi. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menahan tersangka Riefan Avrian pada Kamis pekan lalu. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Waluyo mengatakan anak Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Sjarifuddin Hasan itu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Waluyo mengatakan berkas penyidikan Riefan, yang sudah menjadi tersangka sejak pertengahan Mei lalu, hampir rampung.

Riefan ditetapkan sebagai tersangka setelah jaksa menyidik tersangka Hendra Saputra, Direktur PT Imaji Media, perusahaan pemenang lelang proyek videotron. Jaksa mendakwa Riefan menyuruh Hendra, pesuruh di kantor Riefan, mengikuti lelang dengan meminjamkan uang Rp 10 miliar kepada Hendra. Kuasa hukum Hendra, Fahmi Syakir, mengatakan kliennya ketakutan karena Riefan masuk rumah tahanan yang sama dengan Hendra. Pihak Hendra pun meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memisahkan tempat penahanan mereka.

Pengacara Riefan, Agus Salim, belum bisa dimintai tanggapan soal penahanan kliennya. Sebelumnya, ketika menjadi saksi dalam persidangan Hendra, Riefan menyatakan tak terlibat pengadaan videotron.

Penembakan Palembang Dinilai Langgar HAM

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menilai penembakan terhadap lima warga Kelurahan Sukodadi, Sukarame, di sekitar Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Palembang dinilai melanggar hak asasi manusia. Penembakan terjadi ketika kericuhan pecah di lokasi lahan sengketa antara warga RT 32 Sukodadi dan TNI AU. "Pelaku yang berasal dari TNI AU ini melakukan penembakan langsung kepada warga," kata Pigai pada Ahad dua pekan lalu.

Terjadi pada Rabu dua pekan lalu, warga menduga peluru yang melukai mereka berasal dari senjata prajurit TNI AU. Mereka mengatakan sekitar 20 anggota TNI datang bersenjata lengkap serta membawa buldoser dan mencabut tanaman warga.

Pigai, yang mendatangi lokasi kejadian, menemukan belasan sisa peluru menyelip di antara rumput liar dan tanaman kelapa sawit. Dari temuan awal, Komnas memastikan ada niat aparat melukai warga karena kelima korban terkena tembakan di bagian tubuh yang mematikan, seperti ubun-ubun, punggung, lengan, dan tangan.

Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara Palembang Letkol Penerbang Sopuan Pulanggeni mengatakan belum dapat memastikan bentuk pelanggaran yang dilakukan anak buahnya. Pihaknya masih menunggu hasil temuan Komnas HAM dan penyelidikan internal oleh tim dari Markas Besar TNI AU. "Tim dari Mabes masih bekerja untuk mengungkap fakta sesungguhnya," ujarnya Senin pekan lalu.

Pengadilan Tolak Eksepsi Anas

Eksepsi bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditolak Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam pembacaan putusan sela, Kamis pekan lalu, hakim ketua Haswandi menilai dakwaan jaksa punya pertimbangan hukum kuat. Dengan putusan itu, persidangan perkara ini dilanjutkan.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Anas menerima uang Rp 116,525 miliar dan US$ 5,2 juta dari beberapa proyek pemerintah. Ia juga disebut menerima satu unit Toyota Harrier senilai Rp 670 juta, satu unit Toyota Vellfire seharga Rp 735 juta, dan fasilitas survei senilai Rp 478 juta. Jaksa juga mendakwanya melakukan tindak pidana pencucian uang, antara lain pembelian tanah dan bangunan senilai puluhan miliar rupiah di Jakarta Timur dan Yogyakarta. Juga pengurusan izin tambang batu bara PT Arina Kota Jaya di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Dua hakim, Slamet Subagyo dan Joko Subagio, berbeda pendapat (dissenting opinion) soal putusan sela. Slamet menyatakan jaksa tak memiliki landasan yuridis formal untuk mendakwa Anas dengan pasal pencucian uang. Tapi perbedaan pendapat itu tak menganulir isi putusan sela.

Awalnya Anas berharap eksepsinya diterima. Ia menilai dakwaan jaksa berdasarkan kesaksian yang tak layak dipercaya. "Saya ingin diadili, tidak dihakimi atau dijaksai," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus