Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Proyek LNG Tiga Generasi

Putra Wakil Presiden Jusuf Kalla menggagas rencana pembangunan terminal penerima dan regasifikasi gas di Bojonegara. Terkatung-katung sejak era Karen Agustiawan hingga Elia Massa Manik.

6 Mei 2018 | 00.00 WIB

Proyek LNG Tiga Generasi
Perbesar
Proyek LNG Tiga Generasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Solihin Jusuf Kalla dikejutkan oleh potongan rekaman percakapan telepon antara Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir. Rekaman yang beredar luas di jagat maya itu muncul saat Direktur PT Bumi Sarana Migas ini menunggu kepastian proyek terminal penerima dan regasifikasi gas alam cair (LNG) di Bojonegara, Serang, Banten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam rekaman tersebut, Rini dan Sofyan diduga membicarakan proyek yang sama. Padahal, kata Solihin, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) belum memberikan jawaban atas nasib proyek tersebut. "Status kami masih menunggu," ujar putra Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga menjabat CEO Kalla Group, itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sejak rekaman itu beredar pada Kamis dua pekan lalu, proyek senilai US$ 700 juta atau hampir Rp 10 triliun tersebut menjadi pergunjingan. Dalam proyek ini, perusahaan yang tergabung dalam Kalla Group itu menawarkan kepemilikan saham 15-25 persen kepada dua perusahaan pelat merah.

Menurut Solihin, proyek infrastruktur yang digagas sejak 2013 ini untuk mengantisipasi ancaman defisit gas di Jawa bagian barat. Bumi Sarana merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta kajian lembaga riset global Wood Mackenzie mengenai Outlook Suplai Gas pada 2013-2030. Data tersebut menunjukkan neraca gas Jawa bagian barat diprediksi akan minus pada 2023. Penyebabnya: cadangan gas dari Sumatera terus menipis, sebaliknya permintaan terus meningkat. "Tahun 2019 sudah mulai decline," kata Solihin.

Kebetulan, Kalla Group berupaya memanfaatkan lahannya di pesisir Banten. Tanah seluas 30 hektare itu bekas lahan PT Golden Key, aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang disita dari Eddy Tansil.

Setelah mengobrol dengan Ari Soemarno, yang menurut Solihin dekat dengan keluarga Kalla, Bumi Sarana memutuskan membangun fasilitas LNG. Konsepnya dengan mengimpor LNG. Ari membuat desain kasar. Selanjutnya, Bumi Sarana Migas menunjuk Ari sebagai Koordinator Senior Proyek LNG Bojonegara.

Bumi Sarana Migas kemudian menawarkan kerja sama proyek Bojonegara kepada Pertamina, yang saat itu dipimpin Direktur Utama Karen Agustiawan. Kedua perusahaan sepakat melakukan studi bersama. Pada 12 Mei 2014, mereka menandatangani nota kesepahaman (MOU). Pertamina diwakili Direktur Pengembangan Investasi dan Manajemen Risiko, yang saat itu dijabat M. Afdal Bahaudin.

Bermodal kesepahaman dengan perusahaan minyak dan gas negara itu, Solihin dan Ari mencari mitra. Mereka menjajaki peluang kerja sama dengan Cina, Korea, dan Jepang. Tapi, Solihin bercerita, Pertamina lebih nyaman dengan teknologi Jepang. Selain menilainya lebih aman, perusahaan itu mempertimbangkan hubungan bisnis Indonesia-Jepang yang telah terjalin sejak 1960-an. Setelah melalui internal bid, akhirnya perusahaan memutuskan menggandeng Tokyo Gas dan Mitsui untuk membentuk joint venture. Tokyo Gas dipilih karena berpengalaman di sektor LNG. Sedangkan Mitsui, yang rencananya didukung The Japan Bank for International Cooperation (JBIC), diandalkan kemampuan pendanaannya. Konsorsium Bumi Sarana Migas-Tokyo Gas-Mitsui telah mengeluarkan ongkos US$ 20 juta atau sekitar Rp 280 miliar untuk membiayai studi awal proyek ini.

Tak sampai satu tahun setelah MOU diteken, status kerja sama meningkat dengan ditandatanganinya pokok-pokok kesepakatan-heads of agreement (HOA)-Utilisasi Terminal LNG Bojonegara pada April 2015 di kantor pusat Pertamina, Jakarta. Penandatangan dilakukan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani, disaksikan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Mereka sepakat membangun terminal LNG berkapasitas 500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara dengan 4 juta ton.

Solihin mengatakan Pertamina sempat ragu terhadap kerja sama tanpa tender tersebut. Tapi akhirnya perseroan itu yakin karena proyek ini diinisiasi swasta dengan skema public private partnership. Padahal, menurut dia, seandainya proyek diubah dengan mekanisme lelang, Bumi Sarana siap.

Solihin yakin penawarannya jauh lebih murah ketimbang ongkos regasifikasi fasilitas LNG lain yang ada di Indonesia. Ia membandingkannya dengan biaya regasifikasi terminal gas terapung Nusantara Regas milik Pertamina dan PGN, yang hampir US$ 2 per MMBTU, bahkan terminal gas terapung milik PGN di Lampung lebih mahal lagi. Sedangkan ia menyodorkan harga US$ 1,2 per MMBTU.

Bumi Sarana Migas memberikan iming-iming skema build-operate-transfer (BOT) selama 20 tahun. Artinya, kata Solihin, Pertamina tak perlu mengeluarkan duit untuk membangun infrastruktur, tapi nanti bisa memilikinya setelah 20 tahun beroperasi.

Direktur Utama PT Pertamina Gas Suko Hartono mengaku pernah ditugasi memetakan pasar gas di Jawa bagian barat. Ia menjelaskan perlu pembeli utama sebagai jangkar untuk menyerap sedikitnya 40 persen gas. Selain PLN, pembeli potensial adalah PT Krakatau Steel (Persero) dan pabrik pupuk. Masalahnya, kata dia, pabrik pupuk meminta harga murah.

Berdasarkan kajian yang lebih dalam, menurut Solihin, Pertamina harus mengamankan pasokan pelanggan terbesarnya, yakni PLN. Itu sebabnya, PLN sebagai off-taker dilibatkan dalam kepemilikan proyek Bojonegara. Bumi Sarana Migas menawarkan 15 persen saham konsorsium kepada Pertamina dan PLN. Bumi sendiri akan menguasai 50 persen saham, sedangkan Tokyo Gas dan Mitsui sebesar 35 persen. Pembahasan mengenai saham itu dilakukan pada akhir 2016.

Saat itu, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) bersuara lantang. Ada dua hal yang mereka khawatirkan dalam kerja sama Pertamina dan Bumi Sarana Migas di Bojonegara. Pertama, menurut Noviandri-ketika itu Presiden FSPPB-terkait dengan margin penjualan gas yang diambil Pertamina sebagai off-taker dari terminal tersebut. Bila harga ditentukan sepihak oleh operator, ia khawatir hal itu akan menjadi beban bagi Pertamina.

FSPPB juga ketar-ketir Pertamina mengalami ketergantungan pasokan gas dari terminal tersebut. Para pekerja ingin perseroan memiliki fleksibilitas dalam menjalankan bisnis gas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. "Kalau Pertamina terikat harga yang ditentukan sepihak, itu berbahaya," ujar Noviandri. "Kami sudah mengingatkan direksi mengenai hal itu."

Negosiasi bagi-bagi saham rupanya tak kunjung mencapai kesepakatan. Baik Pertamina maupun PLN meminta porsi yang lebih besar. Karena itu, Bumi Sarana Migas meningkatkan penawaran hingga 25 persen. Namun, hingga kini, tak ada perkembangan. "Mereka menawarkan 7,5 persen. Kami minta 30 persen (untuk Pertamina dan PLN)," kata Direktur Utama PLN Sofyan Basir di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu. Karena itu, ia memastikan, belum ada deal apa pun. "Proyek itu belum jadi sampai sekarang."

Juru bicara Pertamina, Adiatma Sardjito, mengatakan tak ada kejelasan status proyek LNG Bojonegara meski perseroan telah menandatangani MOU dan HOA. "MOU ada batasnya, biasanya satu tahun. Sedangkan HOA biasanya diikuti dengan agreement," ujarnya. Tapi, sejak era Karen Agustiawan, Dwi Soetjipto, hingga kepemimpinan Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik berakhir April lalu, belum ada tindak lanjut apa pun.

Retno Sulistyowati, Dinda Leo Listy (Karanganyar)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus