Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Keruh Kontrak Air Jakarta

Tanpa setahu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, PAM Jaya mengajukan perubahan kontrak dengan swasta. Dituding sebagai upaya memperpanjang kontrak baru.

6 Mei 2018 | 00.00 WIB

Keruh Kontrak Air Jakarta
Perbesar
Keruh Kontrak Air Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PERCAKAPAN dalam grup WhatsApp tim Gubernur DKI Jakarta tiba-tiba riuh pada Rabu pagi, 21 Maret lalu. Sumber hiruk-pikuk itu adalah jadwal dadakan Gubernur Anies Baswedan untuk menyaksikan penandatanganan restrukturisasi kontrak antara Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) dan PT Aetra Air Jakarta serta PT PAM Lyonnaise Jaya di Balai Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Salah seorang anggota grup itu lalu mewanti-wanti agar Anies mencermati acara tersebut. Penyebabnya, undangan acara baru masuk ke tim gubernur sehari sebelumnya. Pada jam yang diagendakan, Anies akhirnya tak datang. Acara penekenan kontrak baru pun terpaksa ditunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sore harinya saat mengunjungi Kantor Kelurahan Tamansari, Anies mengaku tak pernah mendapat laporan dari Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat, soal restrukturisasi perjanjian. Menurut dia, draf kontrak itu baru diterima mendekati acara penekenan. "Kalau mau tanda tangan, laporkan dulu isinya," kata Anies. "Saya tak mau Balai Kota menjadi tempat tanda tangan tapi saya tak tahu isinya."

Pengelolaan air di Ibu Kota menjadi polemik sejak 12 warga Jakarta menggugat privatisasi air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2012. Menjadi tergugat antara lain Presiden, Menteri Keuangan, Gubernur Jakarta, sampai PAM Jaya. Hakim mengabulkan gugatan dan memerintahkan penghentian privatisasi.

Pengadilan Tinggi Jakarta sempat menganulir vonis tersebut pada Maret 2015. Di tingkat kasasi, pada April 2017, Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan warga dan memerintahkan penyetopan pengelolaan air dari hulu hingga hilir oleh perusahaan swasta. Namun Kementerian Keuangan melayangkan permohonan peninjauan kembali sehari setelah Anies menolak penandatanganan restrukturisasi kontrak.

Penyebab sebenarnya Anies menolak hadir dalam penandatanganan adalah ia tak mau restrukturisasi kontrak sebagai upaya diam-diam untuk memperpanjang kontrak pengolahan air oleh swasta. Kontrak yang diteken pada 1997 itu baru berakhir pada 2023. Menurut sejumlah orang dekat Anies, sang Gubernur heran karena kontrak yang akan berakhir lima tahun lagi itu direstrukturisasi jauh-jauh hari.

Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat, menampik anggapan bahwa restrukturisasi perjanjian memuat perpanjangan kontrak dengan tambahan waktu 25 tahun seperti kerja sama sebelumnya. "Tidak ada perpanjangan. Itu dusta," ujar Erlan kepada wartawan Tempo, Devy Ernis. Dalam draf yang batal diteken, Palyja dan Aetra menyatakan berkomitmen mengembalikan pengelolaan air kepada pemerintah hanya pada tahap manajemen air baku dan layanan pelanggan. Tapi mereka masih mengendalikan instalasi pengelolaan air dan jaringan distribusi hingga kontrak berakhir.

Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Amin Subekti menegaskan timnya akan melaksanakan putusan Mahkamah Agung. "Kami akan mengikuti semua regulasi soal pengelolaan air," kata Amin. Anggota tim lainnya, Bambang Widjojanto, mengatakan akan dibentuk satuan tugas khusus untuk mengkaji berbagai opsi. Termasuk menghitung untung-rugi jika kontrak dengan Palyja dan Aetra diputus sebelum waktunya. "Diputus pada 2023 pun harus ada uang yang dibayar. Diputus sekarang juga pasti ada negosiasi," kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini.

Pengelolaan air Jakarta jadi keruh dengan adanya jejak Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. Saat pertama kali bermitra dengan PAM Jaya pada 1997, mayoritas saham Aetra yang saat itu masih bernama PT Thames PAM Jaya dikuasai Thames Water Overseas Limited. Pada 2007, Acuatico Pte Ltd mengambil alih mayoritas saham PT Thames PAM Jaya. Saat itu, Acuatico dimiliki PT Recapital Advisors, perusahaan yang didirikan Sandiaga bersama pengusaha Rosan Perkasa Roeslani, kini Ketua Kamar Dagang dan Industri.

Ketika terpilih menjadi wakil gubernur, Sandiaga menjual kepemilikan sahamnya di sejumlah perusahaan, termasuk Acuatico. Moya Indonesia Holdings mengakuisisi semua saham Acuatico pada 8 Juni 2017, dua bulan setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan warga soal penghentian privatisasi air. Berdasarkan laporan Moya Holdings Asia-induk Moya Indonesia-ke bursa Singapura, harga saham yang dibayarkan mencapai US$ 92,87 juta atau setara dengan Rp 1,3 triliun.

Sejak tiga tahun lalu, hampir 70 persen saham Moya Holdings dikuasai Tamaris Infrastructure Private Limited, yang berkantor di Singapura. Pengendali saham Tamaris adalah Anthony Salim yang namanya berada di balik delapan lapis perusahaan di atasnya. Di Indonesia, bisnis Salim ditopang salah satunya oleh PT Indofood Sukses Makmur. "Tamaris yang terafiliasi Salim Group ikut berpartisipasi di Moya Holdings dengan kesamaan visi memperbaiki pelayanan air bersih," ujar Direktur Utama Moya Indonesia Irwan Dinata lewat surat elektronik.

Pemegang saham Moya Holdings mempercayakan kursi direktur utama kepada Mohammad Syahrial. Dia adalah bekas Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset. Berdasarkan akta yang tercatat di Singapura, alamat Syahrial tertera di Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah itu hanya berjarak kurang dari 200 meter dari rumah Sandiaga yang sama-sama berada di kawasan elite tersebut.

Irwan Dinata mengklaim pembelian saham Aetra melalui Acuatico bertujuan meningkatkan distribusi air pipa yang baru melayani 30 persen penduduk Indonesia. Dia tak menampik bahwa aksi korporasi perusahaan dilakukan di tengah gugatan warga di pengadilan. "Kami juga akan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung."

Wakil Gubernur Sandiaga Uno mengatakan pelepasan saham berarti ia tak cawe-cawe dalam pengelolaan air di Jakarta. Ia mengklaim sudah berancang-ancang melepas semua bisnisnya sejak memutuskan masuk Partai Gerindra pada 2015. Setelah menjadi pejabat publik, ia mengaku sudah tidak mengurus perusahaan, termasuk Recapital, yang sempat menguasai Aetra. Sandiaga mengatakan ia hanya mendapat laporan ketika sahamnya laku terjual. "Perintah saya jelas, semua bisnis yang berpotensi konflik kepentingan mohon dilepas," katanya.

Sandiaga juga menyatakan mendukung agar pengelolaan air kembali ke tangan pemerintah. Dia meminta Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan membahas putusan Mahkamah Agung. Ketua TGUPP Amin Subekti ditugasi mencermati konten perjanjian, sementara Ketua TGUPP Bidang Harmonisasi Rikrik Rizkiyana diberi mandat mengkaji aspek hukum. "Kami sudah sampai pada posisi mengembalikan pengelolaan air itu ke pemerintah," ujarnya.

Peneliti Amrta Institute, lembaga pemerhati pengelolaan air, Nila Ardhianie, menilai pemerintah DKI sebenarnya bisa lebih cepat merebut kembali tata kelola air di Ibu Kota. Caranya dengan membeli saham perusahaan swasta pengelola air. Sayang, kata Nila, langkah itu tidak dilakukan.

Selang tiga bulan setelah aksi korporasi Moya Indonesia, Palyja-mitra PAM Jaya lainnya yang mengelola air di timur Jakarta-juga punya pemilik baru. Suez Environment, yang berbasis di Prancis, melepas semua sahamnya di Palyja ke Cantonment Investments Limited dan Belle Peau PTE Limited. Dalam laporan finansial Suez 2017, penjualan Palyja menyumbang pendapatan kotor Rp 170 miliar ke kas perusahaan.

Nila Ardhianie menilai penjualan saham Palyja terlampau murah dan sebenarnya bisa dibeli langsung oleh pemerintah DKI dari tangan Suez Environment. Apalagi pemerintah masih menyimpan penyertaan modal pemerintah di kas PT Jakarta Propertindo senilai Rp 650 miliar. Modal itu memang diplot sejak 2013 untuk membeli Palyja saat Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta dan Budi Karya Sumadi, kini Menteri Perhubungan, menjabat Direktur Utama PT Jakpro.

Menurut Nila, penjualan saham harus diketahui oleh pihak yang terikat kerja sama, yaitu PAM Jaya. "Kalau PAM sudah tahu, kenapa dibiarkan lepas dengan harga murah?" Andai saham itu bisa dikuasai, kata Nila, pemerintah DKI bakal lebih mudah menguasai kembali pengelolaan air.

Direktur PAM Jaya Erlan Hidayat, yang menjabat Direktur Administrasi dan Keuangan PT Jakpro pada 2014-2015, enggan berspekulasi jika pemerintah DKI membeli saham mitranya. "Saham itu sudah mau dikasih ke pemerintah provinsi. Tapi buat apa? Sudah tidak ada nilainya juga," ujar Erlan, tanpa menjelaskan lebih lanjut kenapa restrukturisasi kontrak antara PAM Jaya, Palyja, dan Aetra seperti tergesa-gesa diajukan.

Raymundus Rikang, Pramono, Devy Ernis, Angelina Anjar, Budiarti Utami Putri


Kontrak Lama Bikin Rugi

BADAN Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi DKI Jakarta memeriksa laporan keuangan PAM Jaya tahun 2015 dan semester I 2016. Auditor menemukan kerugian sekitar Rp 1,4 triliun serta ekuitas negatif senilai Rp 1,06 triliun yang terakumulasi sejak dimulainya kerja sama penswastaan air pada Februari 1998-31 Desember 2015. Lembaga auditor negara itu juga mengungkap sebelas temuan pemeriksaan senilai Rp 128,7 miliar yang terdiri atas:
1. Kerugian daerah senilai Rp 6,7 miliar
2. Kekurangan penerimaan Rp 2,4 miliar
3. Temuan administrasi Rp 117,8 miliar
4. Temuan efektivitas, efisiensi, dan ekonomi Rp 1,6 miliar

AETRA
- Kapasitas produksi: 10.000 liter/detik
- Jaringan pipa: 6.196 kilometer
- Jumlah pelanggan: 435.777 pelanggan (per Desember 2016)

PALYJA
- Kapasitas produksi: 6.150 liter/detik
- Jaringan pipa: 5.462 kilometer
- Jumlah pelanggan: 405.713 pelanggan

Perbandingan Harga Air Pipa (Kategori Sosial dan Pemakaian > 20 Meter Kubik/Bulan)
- PAM Jaya: Rp 1.050
- PDAM Tirtawening Bandung: Rp 900
- PDAM Surya Sembada Surabaya: Rp 600

Sumber: Aetra, Palyja, Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus