Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Peluang pernikahan pasangan beda agama semakin tertutup di Indonesia.
Belum ada payung hukum yang secara eksplisit mengatur tentang perkawinan beda agama.
Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi.
JAKARTA – Berita itu membuat Kennial Laia gusar. Pada 17 Juli lalu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mencatatkan pernikahan beda agama. Larangan ini jelas-jelas menjadi penghambat rencana Kennial untuk menikah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kennial seorang jurnalis. Sejak lima tahun lalu, ia menjalin hubungan dengan Erlangga, aktivis lingkungan. Mereka sudah merencanakan pernikahan pada tahun depan. Rencana itu harus dirembuk secara matang karena mereka memiliki keyakinan berbeda. Erlangga seorang muslim dan Kennial penganut Kristen yang taat. Sejak awal, mereka sudah menyadari perbedaan itu. Tapi masing-masing sudah memahami dan menerimanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, ternyata, belum ada payung hukum yang secara eksplisit mengatur perkawinan beda agama. Berdasarkan pengalaman dari sejumlah pasangan beda agama, Kennial dan Erlangga akhirnya memilih opsi melegalkan hubungan mereka. “Misalnya, menikah di luar negeri dan kemudian dokumen pencatatan sipilnya dilaporkan di Indonesia,” kata Kennial, kemarin.
Petugas Kantor Urusan Agama membacakan dokumen pernikahan di Jakarta, 2020. TEMPO/Ijar Karim
Opsi ini dinilai terlalu berat untuk dijalani. Selain biayanya besar, kebutuhan dokumen dan syarat yang harus dipenuhi sangat menjelimet. Mereka akhirnya melangkah ke opsi kedua, yaitu menikah melalui mekanisme agama masing-masing lantas dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat. Persoalannya, tidak semua daerah bersedia menerima pencatatan sipil pernikahan pasangan beda agama.
Lalu muncul opsi terakhir, yakni mengajukan permohonan pencatatan perkawinan di pengadilan setempat. Erlangga dan Kennial menganggap opsi ini tepat. Harapan untuk melegalkan hubungan pun terasa semakin dekat. Namun harapan itu seketika pupus setelah MA menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023.
Dalam surat itu, MA menyatakan perkawinan yang sah merupakan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya, MA memberi petunjuk agar hakim pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beda agama.
Kennial menilai isi surat edaran itu sangat diskriminatif karena mempersulit pernikahan pasangan beda agama. Padahal tugas negara hanya mencatat tanpa perlu mengintervensi privasi warga negara.
Kemarin, Kennial bersama sejumlah sejawatnya yang kebetulan memiliki pasangan beda agama membicarakan masalah ini. Mereka masih bingung bagaimana nanti melangsungkan perkawinan beda agama. Terlebih bila pasangan tersebut tidak memiliki privilese untuk menikah di luar negeri. Jalan satu-satunya, Kennial dan kawan-kawannya sedang mencari daerah yang inklusif bersedia mencatatkan pernikahan beda agama.
Masalah serupa pernah dihadapi Aryo Bahwono, seorang karyawan swasta. Pada 2015, ia menikah dengan perempuan beda agama. Beruntung kantor pencatatan sipil yang mereka datangi tidak meminta syarat macam-macam. “Waktu itu hambatannya hanya surat pengantar dari rukun tetangga dan rukun warga,” kata dia. “Padahal itu bagian dari layanan publik.”
Menurut Aryo, diskursus pernikahan beda agama kian memunculkan diskriminasi sejak lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menolak uji materi atas Pasal 2 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 8 huruf F Undang-Undang Perkawinan yang mengatur definisi pernikahan. Gugatan tersebut sebelumnya diajukan oleh E. Ramos Petege, seorang pemuda Katolik yang gagal menikah karena berbeda agama dengan pasangannya.
Masalahnya, muncul pandangan hakim konstitusi Suhartoyo melalui alasan berbeda yang menyebutkan adanya fenomena banyaknya warga negara yang melakukan penyelundupan hukum perkawinan. Hal itu dilakukan melalui cara-cara yang kemudian dapat dilegalkan secara administrasi kependudukan. Misalnya, melangsungkan pernikahan di luar negeri, memanipulasi agama, dan mengajukan permohonan melalui penetapan pengadilan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
Prosesi pernikahan di Kantor Urusan Agama, Jakarta, 2020. TEMPO/Ijar Karim
Menurut Aryo, pandangan Suhartoyo itu menunjukkan bahwa negara melanggar hak-hak sipil warga negara. Ditambah munculnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang dinilai makin menguatkan diskriminasi negara terhadap rakyatnya yang memutuskan menikah beda agama. “Saya khawatir putusan ini akan meluas, misalnya bisa saja anak saya tidak dapat mengurus akta kelahiran karena pengadilan tidak lagi diperbolehkan mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.”
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, kuasa hukum E. Ramos Petege, menceritakan kliennya gagal melangsungkan pernikahan beda agama semenjak gugatan atas Undang-Undang Perkawinan ditolak Mahkamah Konstitusi. “Masalah lebih parah ketika terbit SEMA yang melarang hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama,” tutur Zico.
Sebelum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, Zico mengajak Ramos mendaftarkan prosesi pernikahan ke dinas pencatatan sipil. Hanya, mereka mensyaratkan adanya putusan dari hakim tentang pernikahan agama yang dimohonkan Ramos bersama pasangannya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni lalu lantas mengabulkan permohonan Ramos dan telah disahkan.
Pertimbangan hakim mengacu pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Masalahnya, kabar ini menuai protes Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Yandri Susanto. Yandri bahkan meminta MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut.
Zico menduga protes tersebutlah yang menjadi pertimbangan MA menerbitkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023. Kata dia, surat edaran ini juga disebut pesanan politik dari kelompok yang tak menghendaki pernikahan beda agama. Padahal, menurut Zico, tidak ada satu aturan pun yang melarang pernikahan beda agama.
Menurut laporan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), terdapat 1.425 pasangan di Indonesia yang menikah beda agama. Jumlah tersebut muncul dari pencatatan sejak 2005 hingga 2022. Direktur Program ICRP, Ahmad Nurcholis, menyebutkan pernikahan beda agama merupakan realitas yang memiliki keragaman dalam kebinekaan yang harus dihormati.
Nurcholis sudah lama memperjuangkan agar Undang-Undang Perkawinan di Indonesia direvisi. Hal ini karena memicu multitafsir dalam urusan pernikahan beda agama. “Dampaknya pada layanan hak sipil warga negara yang tak terpenuhi.”
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo