Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pusara di Atas Sumur

Ladang pembantaian mereka yang dicap anggota PKI tersebar di penjuru Lumajang. Pusatnya di Pandanwangi, pesisir Pantai Selatan.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terletak sekitar 45 menit perjalanan ke arah selatan dari Lumajang, Desa Pandanwangi dikenal sebagai salah satu tempat pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia, 40-an tahun silam. Lokasinya memang "ideal", terpencil dan sulit dijangkau. Kini sebagian wilayah itu dijadikan pusat latihan perang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dan Lapangan Tembak TNI Angkatan Udara. "Lokasi penumpasan PKI saat itu dipusatkan di Desa Pandanwangi," kata Muhammad Anshori Zain, 78 tahun, kepada Tempo.

Anshori salah satu saksi mata peristiwa pembantaian tersebut. Kala itu, ia menjabat Bendahara Pengurus Anak Cabang Ansor Kecamatan Tempeh. Pandanwangi merupakan salah satu desa di Kecamatan Tempeh. Kakak Anshori, KH Amak Fadholi, saat itu tokoh Nahdlatul Ulama di Lumajang.

Meski saat itu mengetahui ada pembunuhan terhadap orang-orang PKI, Anshori menyatakan tak pernah ikut ke lokasi pembantaian. Dia mengaku hanya mendapat cerita-cerita pembunuhan itu dari pelakunya. Orang-orang komunis tersebut, ujar Anshori, diangkut dengan truk. Banyak di antaranya tak sadar bahwa itu perjalanan akhir mereka. Bahkan, kata dia, ada yang mengira mereka diajak berekreasi. "Ada yang membawa dagangan dan menjajakannya di setiap tempat pemberhentian," ujarnya.

Anshori mengaku beberapa kali mengikuti rapat menjelang pembantaian tersebut. Rapat itu dihadiri sejumlah tokoh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan Gerakan Pemuda Ansor. "Orang-orang Banser dan Ansor di desa-desa inilah yang menjadi algojo," katanya. Adapun yang mengendalikannya, ujar dia, para tokoh NU di Lumajang.

Para tokoh agama tersebut menyatakan penumpasan orang-orang PKI merupakan jihad. "Dan kalau tidak menumpas lebih dulu justru akan ditumpas PKI," ujar Anshori. Operasi penumpasan itu dilakukan dengan dukungan militer dan dilakukan malam hari. Menurut Anshori, orang-orang NU tak akan berani melakukan itu tanpa mendapat dukungan tentara. Algojo yang menjadi komandan penumpasan itu antara lain Gozali alias Jali, Saprawi, dan Badrukhi. "Ketiganya sudah meninggal," kata Anshori.

Selain di Pandanwangi, ladang pembantaian PKI tersebar di sejumlah penjuru Lumajang. Tempat itu, antara lain, Curah Mayit di Kecamatan Randuagung dan Dusun Srebet di Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko. Lokasi pembantaian di Dusun Srebet terletak di pinggir sungai. Tempat itu kini telah "lenyap", bersalin rupa menjadi permukiman warga.

Sapari, warga Srebet, menceritakan kesaksiannya melihat pembantaian puluhan tahun silam itu. Kala itu ia bertugas sebagai anggota Pertahanan Sipil (Hansip) di dusunnya. "Menjelang pembantaian, suasana tegang. Musala dan masjid dipenuhi penduduk yang ketakutan," kata pria 70 tahun itu.

Menurut Sapari, pelaku pembantaian bukan hanya anggota Banser atau Ansor, melainkan juga sejumlah warga lain yang tidak menjadi anggota organisasi itu. Orang-orang PKI itu, ujar dia, diangkut dengan truk dan digiring ke bantaran sungai di Srebet. Kedua tangan mereka disilangkan ke belakang dan kedua ibu jari diikat dengan benang. Di sana, sejumlah lubang sudah disiapkan untuk mereka.

Sapari mengakui tidak mengetahui asal-usul orang-orang tersebut. Menurut dia, dalam situasi seperti itu sulit dibedakan mana yang anggota PKI dan bukan. "Banyak warga yang sebenarnya bukan anggota PKI ikut dibantai," katanya. "Di mata mereka, PKI itu bahkan dikira singkatan Partai Kiai Indonesia."

Hari, 78 tahun, warga Desa Jogoyudan, Sumbersuko, menceritakan hal sama. "Banyak warga yang tidak tahu-menahu ikut ditumpas," kata pensiunan pegawai dinas pendidikan yang kini membuka warung di rumahnya itu. Hal ini diakui Alim, yang kehilangan ayah angkatnya, Joyo Pranoto, yang saat itu menjabat Kepala Desa Karanganom, Kecamatan Seduro. Joyo, yang ketika itu menjadi Ketua Persatuan Pamong Desa Indonesia Lumajang, difitnah sebagai kader PKI dan dibunuh di sebuah hotel di Lumajang. "Padahal beliau anggota Partai Nasional Indonesia," kata Alim kepada Tempo.

Alim mengaku tak tahu siapa pembunuh ayah angkatnya. "Saya masih SMP waktu itu," katanya. Tapi ia tahu nama-nama algojo yang disebut-sebut sebagai pembantai ayahnya. Dua algojo yang paling terkenal saat itu adalah Mochamad Samsi dan Pandi, yang sudah meninggal.

Pekan lalu Tempo menemui Samsi di rumahnya di Srebet. Dia mengaku sebagai orang yang membunuh Kepala Desa Karanganom. "Saya disuruh menumpas Kepala Desa Karanganom. Tapi saya lupa namanya…," ujarnya. "Saya hanya menjalankan perintah."

l l l

Tempat itu dulu adalah sumur. Kini sumur tersebut sudah tertutup dan "mulut"-nya rata dengan tanah. Di atasnya ada pusara berukuran 1,5 x 1,5 meter. Sejumlah kembang warna-warni yang sudah kering terlihat di atasnya.

Inilah sumur "neraka" Dusun Puhrancang, yang terletak di Desa Pragak, Kecamatan Parang, sekitar 30 kilometer selatan Magetan, Jawa Timur. Puhrancang terletak di perbukitan. Tak sulit menuju tempat ini lantaran sebuah jalan cukup bagus—kendati di sejumlah tempat aspalnya mengelupas—membentang dari Magetan.

Puluhan tahun silam, ke dalam sumur itulah ratusan orang yang dicap anggota Partai Komunis Indonesia yang mati dibantai dilemparkan. "Ya, di bawah itu tempatnya," kata Sukiman, menunjuk kuburan—satu-satunya kuburan—di situ. Sukiman pemilik lahan tempat sumur itu berada.

Soal sumur dan orang-orang PKI yang dimasukkan ke sana, Sukiman menyatakan mendapat cerita itu dari mertuanya, yang meninggal dua tahun lalu. "Saya tidak tahu kapan sumur itu ditutup," ujar pria 47 tahun ini.

Yang pasti, tempat itu kini menjadi tempat ziarah. Sejumlah orang kerap datang nyekar dan memanjatkan doa di sana. Kendati tinggal hanya beberapa meter dari bekas "ladang pembantaian", Sukiman mengaku tak merasa takut atau mengalami hal seram. "Sudah biasa. Lewat di sini malam-malam juga enggak ada apa-apa," katanya.

Menurut Kaderun, 69 tahun, Kepala Dusun Jombok, Desa Pragak, Kecamatan Parang, kepada Tempo, sumur itu dalamnya 27 meter dan diameternya, dulu, sekitar 2 meter. Eksekutor para korban adalah Yunus. "Dia algojo yang paling disegani di seluruh Magetan," ujarnya.

Kaderun mengenal Yunus. Keduanya berkawan cukup dekat. Menurut Kaderun, ada 82 orang yang dimasukkan ke sumur itu. Mereka dicemplungkan setelah dibunuh. "Mereka bukan orang sini, melainkan dari desa atau kecamatan lain," ujarnya. Daerah itu antara lain Panekan, Maospati, dan Bendo. "Itu basis PKI."

Yunus, ujar Kaderun, saat itu bertugas di Perwira Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat (Puterpra) Kecamatan Parang. Pangkat terakhirnya pembantu letnan dua. Selain menjadi tentara di Puterpra—kini berubah menjadi komando rayon militer—Yunus dikenal sebagai pawang ular. Dia juga dipercaya memiliki ilmu kebal. "Dia pernah berguru di daerah Batu Ampar, Madura," katanya. Yunus sudah meninggal. Dia, "Meninggal pada 1980 karena digigit ular," ujar Kaderun.

Kuburan massal yang diyakini sebagai "karya" Yunus juga terdapat di alas (hutan) Gangsiran di Dusun Gangsiran, Desa Mategal, Kecamatan Parang. Kawasan hutan produksi yang ditanami pohon mahoni dan sambi ini termasuk wilayah Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan Lawu Selatan.

Menurut Kaderun, para korban di hutan itu dimasukkan ke sejumlah lubang yang dalamnya tak sampai dua meter. "Saya lupa jumlah pastinya, mungkin belasan sampai puluhan," ujarnya. "Begitu penuh, langsung diuruk dan ditandai dengan sebuah pohon," kata Kaderun, yang dulu mengaku aktivis Pemuda Muhammadiyah sebelum menjadi anggota Banser.

Menurut pengamatan Tempo di hutan Gangsiran, di sana memang ada sejumlah pohon yang tumbuh di atas gundukan tanah. Pohon-pohon itu terlihat berumur lebih tua ketimbang pohon lain. "Ya, seperti ini, Mas," kata Kepala Dusun Kalitengah, Desa Mategal, Sumarwanto, sambil menunjuk sebuah gundukan tanah.

Sumarwanto mengaku mendengar cerita pembantaian di hutan Gangsiran dari ayahnya. Menurut sang ayah, mereka yang dibunuh di sana terutama berasal dari desa tetangga, Poncol. "Di sana, kata dia, tercatat ada lebih dari 700 orang komunis," ujarnya. Orang-orang PKI waktu itu, ujar Sumarwanto, sangat kejam. Mereka membantai serta membunuh ulama dan tokoh masyarakat yang anti-PKI. "Karena itulah kelompok-kelompok anti-PKI bersatu dan membalas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus