Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba saja semua menjadi ahli Soeharto. Dan tiba-tiba saja semua menjadi penulis dahsyat. Mereka mencurahkan segala pengalaman dan pengetahuan tentang Soeharto melalui buku-buku yang terlihat di toko-toko buku sejak Soeharto turun takhta. Mereka adalah sejarawan, wartawan, dan politisi, orang asing atau orang Indonesia. Ada yang menulis berdasarkan persentuhan pribadi. Ada pula yang menulis dengan penuh gugatan dan kesumat.
George Junus Aditjondro melempar buku Dari Soeharto ke Habibie, Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari, lima bulan setelah Soeharto melepaskan jabatannya. Buku ini membeberkan bukti-bukti kekayaan Soeharto, keluarga, dan kroninya dari hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketika baru diluncurkan, buku ini segera menjadi best-seller dan most-wanted. Bahkan PIJAR Indonesia dan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan—penerbit buku ini—kala itu sampai kewalahan melayani permintaan yang terus mengalir. Buku itu bisa sedemikian laris lantaran selama ini informasi yang ditulis dosen sosiologi korupsi Newcastle University of Australia ini hanya bisa dinikmati secara gerilya atau melalui Internet.
Setelah Aditjondro, tak terhitung buku-buku yang mengobrak-abrik dosa politik Soeharto. Baik yang berdasarkan data maupun yang ”asal njeplak” memanfaatkan kebebasan di orde reformasi ini. Penerbitnya ada yang bermutu, ada pula yang asal-asalan. Bahkan sekadar fotokopian pun bisa laris manis dibeli orang.
Beberapa judul yang bertebaran yang mengusung tema anti-Soeharto antara lain Pengusutan Harta Soeharto & Trik Pencucian Uang Haram karangan Indara Ismawan (Media Pressindo, 1998). Ada pula Mendobrak Penjara Rezim Soeharto karangan Adam Soepardjan, yang diluncurkan Penerbit Ombak pada 2001. Adili Soeharto. Jerat dengan Kasus Pembunuhan Massal karya Mike Wangge, yang diterbitkan Permata Media Komunika pada 1999. Masih banyak buku yang menuangkan gerundelan, kebencian, hingga tuntutan terhadap sang mantan presiden, yang tak mungkin terjadi di masa kekuasaannya dulu.
Meski begitu, yang memuja Soeharto tentu tak kurang pula. ”Saya begitu terpukul menyaksikan pengunduran diri Bapak melalui layar kaca. Saya sempat menangis, saya mengerti perasaan Bapak. Tapi saya percaya, Pak, rakyat Indonesia masih mencintai, menghormati, dan mengenang jasa Bapak selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang kita cintai.”
Itulah satu kutipan surat yang dimuat dalam buku Anton Tabah, Empati di Tengah Badai. Buku yang memuat kumpulan surat kepada Soeharto pada 21 Mei hingga 31 Desember 1998 ini dilanjutkan dengan Simpati dan Doa untuk Pak Harto yang berisi surat-surat periode 1 Januari sampai 30 Juni 1999. Dari awal sampai akhir, buku ini menggemakan kecintaan, kebanggaan, dan ketidakrelaan Soeharto mundur dari kursi presiden.
Pembelaan soal keterlibatan jenderal bintang lima ini dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia dibeberkan dalam Dua Jenderal Bicara tentang Gestapu/PKI. Buku terbitan CV Sahabat Klaten pada 2001 ini disunting oleh Anton Tabah dengan kata pengantar oleh sejarawan Taufik Abdullah.
Buku ini mengutip pernyataan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution: ”Kepada generasi muda perlu diingatkan, bahwa pemutarbalikan fakta di masa sekarang, tujuan utamanya adalah untuk memorak-porandakan posisi TNI di mata rakyat. Kemudian tujuan akhirnya adalah menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sistematis yang gejalanya semakin nyata dimulai dari ujung barat Indonesia (Aceh) dan ujung timur (Irian Jaya).”
Tak sedikit buku pembelaan yang ditulis para pendukung Soeharto berkaitan dengan masalah hukum yang menimpanya. Salah satunya Perkara H.M. Soeharto Politisasi Hukum: Dalam Kajian Perspektif Hukum (Acara) Pidana buatan anggota tim pengacaranya, Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon. Buku yang diluncurkan pada 2001 ini memuat tinjauan hukum atas kasus Soeharto yang tentu saja ujung-ujungnya menyatakan penguasa Orde Baru ini tak layak diadili.
Dalam nada yang serupa, Ismail Saleh, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Orde Baru, menerbitkan buku Proses Peradilan Soeharto, Penegakan Hukum atau Komoditi Politik. Diterbitkan oleh Yayasan Dharmais—salah satu yayasan Soeharto—pada Juni 2001, buku ini antara lain memuat sambutan Sudharmono dan Saadilah Mursjid. Dua pendukung setia Soeharto ini justru telah lebih dulu berpulang mendahului junjungan mereka.
Dari begitu banyak buku benci dan cinta itu, syukurlah, masih banyak buku yang diangkat berdasarkan riset ilmiah, yang membeberkan fakta berdasarkan data.
Dari dalam negeri, ada Zaim Saidi yang meluncurkan buku Soeharto Menjaring Matahari pada 2001. Dilengkapi data yang aktual, buku terbitan Mizan Pustaka ini awalnya adalah tesis S-2 Zaim di bidang kebijakan publik, Universitas Sydney, Australia. Buku ini menjelaskan tarik-ulur kebijakan reformasi ekonomi selama 15 tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto. Dengan membeberkan sejumlah data, Zaim menelanjangi sejumlah paket kebijakan dan deregulasi di berbagai bidang ekonomi yang diluncurkan mantan presiden itu. Dengan berimbang ia menganalisis, benarkah semua itu semata-mata ”ulah” Soeharto ataukah ada faktor-faktor ekonomi dunia yang mempengaruhi.
Sejarawan Asvi Warman Adam juga meluncurkan Soeharto dan Sisi Gelap Sejarah Indonesia pada Maret 2004. Tulisan-tulisannya diliputi tema besar pembengkokan sejarah selama rezim Soeharto berjaya, termasuk upaya penyeragaman versi sejarah peristiwa Gerakan 30 September dan berbagai gerakan dan kebijakan Soeharto. Asvi juga menekankan sejumlah alasan mengapa Soeharto mesti diadili.
Retnowati Abdulgani-Knapp, putri Roeslan Abdulgani, menulis buku dalam bahasa Inggris yang diterbitkan di Singapura: The Life And Legacy of Indonesia’s Second President. Ia menulis plus-minus Indonesia saat dipimpin Soeharto dan membandingkannya dengan Soekarno. Ia juga menceritakan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto dan menulis keseharian sahabat ayahnya itu setelah lengser.
Ada pula buku yang disusun dengan serius dengan serangkaian foto yang diseleksi secara saksama dengan judul Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images (The Lontar Foundation, 2005). Buku setebal 493 halaman ini dengan desain coffee-table book ini disunting antara lain oleh John H. McGlynn, Oscar Motuloh, Suzanne Charle, dan Bambang Bujono. Diberi tiga buah kata pengantar oleh Jimmy Carter, Goenawan Mohamad, dan Taufik Abdullah serta puluhan esai dari para penulis terkemuka, buku ini mungkin sebuah karya yang digarap dengan sikap yang berjarak, dingin, dan penuh perhitungan. ”Its approach is episodic; it is against the epic,” demikian tulis Goenawan Mohamad dalam pengantarnya. Mungkin ini satu dari sedikit buku yang layak dimiliki sebagai koleksi.
Penulis-penulis asing negeri tak kalah bersemangat meluncurkan hasil penelitian mereka tentang Soeharto. Beberapa buku terkenal, antara lain Geoff Forrester, Post-Soeharto Indonesia Renewal or Chaos? terbitan ISEAS & KITLV Press pada 1999. Ada pula Suharto, a Political Biography, yang ditulis oleh R.E. Nelson dan diluncurkan oleh Cambridge University Press, Inggris, pada 2001. Lalu, Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia karya Kevin O’Rourke terbitan Allen & Unwin pada 2003.
Meriahnya penulis asing yang menerbitkan buku-buku bertema Soeharto sebenarnya bukan sebuah kecenderungan yang terjadi pascareformasi saja. Sejak masa-masa awal kepemimpinannya, telah banyak buku beredar seputar dirinya. Yang paling terkenal tentulah The Smiling General dan Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1976. Keduanya tulisan O.G. Roeder yang isinya tentang silsilah, biografi, dan aneka kejayaan Soeharto di masa itu.
Pada tahun-tahun akhir kepresidenan Soeharto, mulai bertaburan sejumlah buku yang menggugat kepemimpinannya. Satu yang mencuat adalah A Nation in Waiting: Soeharto’s Indonesia in the 1990s karangan Adam Schwartz yang diterbitkan Westview Press Inc., Amerika Serikat, pada 1994. Seperti ”tradisi” terhadap buku-buku yang menentang Soeharto pada masa itu, Kejaksaan Agung waktu itu buru-buru mengeluarkan keputusan pelarangan buku wartawan Far Eastern Economic Review ini. Bahkan sejumlah kiai di Nahdlatul Ulama ”menegur” Gus Dur mengenai ucapannya tentang Presiden Soeharto yang dimuat buku itu yang dianggap menghina Soeharto.
Ada pula buku-buku yang mengail tema Soeharto dengan tema yang ”ringan”, misalnya Pandangan Perempuan tentang Soeharto oleh La Rose dan Upi Tuti Sundari, yang diluncurkan Penerbit La Rose pada 1999. Atau, Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Buku produksi Bentang Budaya pada 2001 ini merupakan kumpulan cerpen Indonesia yang berpijak pada tokoh Soeharto selama Orde Baru. Y.B. Mangunwijaya adalah salah satu penulisnya.
Di luar semua buku pro dan kontra tadi, kita tak boleh melupakan sejumlah buku yang terbit dengan sepengetahuan atau boleh jadi ”pesanan” sang patriark sendiri pada masa kekuasaannya. Di urutan pertama, tentu saja otobiografi Soeharto: Ucapan, Pikiran, dan Tindakan yang ditulis Ramadhan K.H. dan diterbitkan pada 1988.
Buku itu ditulis dalam bentuk ”as told to”: menuliskan kembali apa yang dikemukakan Soeharto dalam bahasa yang lebih enak dibaca. ”Isi adalah tanggung jawab yang bercerita (Soeharto),” kata Ramadhan dua tahun sebelum ia wafat pada 2006. Itu sebabnya buku ini disebut otobiografi, bukan biografi. Baginya, pekerjaan selesai begitu ia mendapat imbalan dari si pemesan.
Setelah Soeharto mangkat, sudah pasti berbagai buku akan lahir lagi. Yang mengenang dan yang mengecam. Yang memuja dan yang menggugat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo