Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
Pada 1973, Presiden Soeharto mengirim surat ke Pramoedya Ananta Toer yang tengah diasingkan di Pulau Buru. Soeharto menyatakan kekhilafan adalah wajar. Maka kewajaran itu mesti dilanjutkan dengan kewajaran berikutnya, yakni kejujuran, keberanian, dan kemampuan menemukan jalan yang benar.
Pram mesti menjalani pembuangan setelah Orde Baru muncul sebagai pemenang dalam prahara politik 1965. Sebagai anggota Lekra yang berafiliasi ke PKI—pihak yang kalah—Pram akhirnya disurukkan ke penjara selama 14 tahun. Tetapi kesalahannya tak pernah dibuktikan di pengadilan.
Begitu keluar pada 1979, tak berarti Pram leluasa melakukan aktivitas. Untuk beberapa lama ia menjadi tahanan rumah. Kediamannya juga diawasi intel. Dan, yang mengenaskan, buku-bukunya diberangus.
Pada 30 April 2006, Pram meninggal dunia. Sampai akhir hayatnya Pram teguh pada sikapnya. Hal itu sesuai dengan surat balasan yang ia kirim kepada Soeharto, November 1973. Pram menegaskan, ”Orang tua mendidik saya untuk mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, ilmu pengetahuan, dan nusa bangsa….”
Amien Rais
Situasi matang yang menyebabkan Soeharto makzul dari kekuasaan pada 1998, salah satunya, berkat sepak terjang Amien Rais. Situasi sosial-ekonomi yang terus memburuk selama setahun terakhir menjelang Mei 1998 membuat Amien menegaskan sikap. ”Saya siap memimpin people power jika dibutuhkan, dengan syarat tanpa pertumpahan darah,” katanya pada Mei 1998.
Sosok Amien tidak begitu saja mencuat ke panggung politik. Sejak diangkat sebagai Ketua PP Muhammadiyah (1995), ia banyak melancarkan kritik tajam. Amien termasuk figur yang pertama kali menggulirkan isu suksesi—wacana sensitif ketika itu (1993). ”Saya didikte hati nurani saya,” kata dia menanggapi keberaniannya.
Setelah itu kritiknya mengalir kencang, termasuk dalam kasus Busang. Pada 1996 Amien ikut menelurkan wacana perlunya reformasi di Tanah Air. Semua sepak terjangnya itu berujung pada lengsernya Amien dari Dewan Pakar ICMI (1997).
Ketika Indonesia diempas krisis ekonomi pada 1997, Amien bersama eksponen anak bangsa lain kian gencar menggulirkan isu reformasi. Bersama 50 tokoh nasional Amien membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR). Dalam jupa pers pada 14 Mei 1998, MAR menyerukan Presiden Soeharto segera mengundurkan diri.
Perubahan lalu terjadi dengan cepat. Republik hamil tua. Dan pada 21 Mei Soeharto terjungkal karena kekuatan massa. Amien kemudian mendapat gelar Tokoh Reformasi.
Budiman Sudjatmiko
Perlawanan terbesar Budiman Sudjatmiko terhadap Orde Baru dan Soeharto adalah mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Berdiri pada Juli 1996, partai ini mengusung asas sosialis demokratik. Budiman menjadi ketuanya. Sepekan setelah PRD lahir, bentrokan berdarah pecah di kantor PDI, Jalan Diponegoro. Bentrokan ini memicu kerusuhan di beberapa sudut Ibu Kota. Akibatnya, seperti dicatat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 5 orang tewas dan 23 orang hilang.
Pemerintah menuding PRD ada di balik kerusuhan tersebut. Maka aktivis PRD diburu, sehingga Budiman dan teman-temanya ditangkap. Budiman divonis pengadilan 13 tahun penjara karena dianggap bertindak subversif. Dari balik jeruji, Budiman terus melawan. Aksi mogok makan hingga menolak grasi ia lakukan. Dari penjara jugalah ia menjalankan partai.
Ketika Soeharto terjungkal dan penguasa baru lahir, Budiman tidak pernah melihat pemerintah serius mengadili kejahatan penguasa Orde Baru itu. Dan ketika Jaksa Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) atas kasus hukum Soeharto, dia meradang. ”Pertimbangan kesehatan atau alasan kemanusiaan terhadap Soeharto itu tidak bermoral,” ujar Budiman, yang kini menjabat Sekjen Relawan Perjuangan Demokrasi—organisasi sayap PDI Perjuangan.
Sjahrir
Sebuah hari, tahun 1970. Sekelompok mahasiswa menemui Presiden Soeharto untuk mendesakkan tuntutan pemberantasan korupsi. Sjahrir dan Akbar Tandjung, mahasiswa Universitas Indonesia, ada di antara sejumlah mahasiswa itu. Di sela dialog, Akbar rupanya haus dan meraih gelas minuman yang dihidangkan. Cepat Sjahrir mencegah Akbar. Soeharto melihat adegan itu. Ia marah. ”Ya sudah kalau tidak mau minum,” hardiknya.
Sjahrir merasa adegan itulah asal muasal ketidaksukaan Soeharto padanya. Yang pasti juga tidak disukai Soeharto, Sjahrir bersama yang lain membentuk komite anti-korupsi. Ketika pecah Peristiwa Malari 1974, Sjahrir termasuk satu dari banyak mahasiswa dan akademisi yang dikirim ke penjara.
Di dalam hotel prodeo, Sjahrir tetap bersikap kritis. Ia menulis artikel-artikel yang dimuat di penerbitan kondang seperti Prisma. Tentu saja ia tak memakai namanya sendiri. ”Tulisan saya dimuat dengan nama Daniel Dakhidae atau Aini Chalid,” ujar dia.
Keluar dari penjara, Sjahrir melanjutkan studi S3 di Harvard. Sekembali dari sana, kiprah Sjahrir tak surut. Ia merintis berdirinya Sekolah Ilmu Sosial (SIS), yang hanya bertahan tiga tahun, sebelum dilarang pemerintah. Ia kemudian mendirikan Yayasan Padi Kapas dan menulis artikel-artikel tajam di media. Temanya jelas, yakni penentangan praktek monopoli dan oligopoli pemerintah sepanjang 1980-an. ”Tidak seharusnya kebijakan pemerintah digunakan untuk memperkaya keluarga Presiden,” ia menandaskan.
Benny Biki
Benny Biki, 46 tahun, punya satu doa buat mantan presiden Soeharto ketika dirawat di RSP Pertamina, pada Mei 2006. ”Mudah-mudahan Pak Harto cepat sembuh, sehingga proses hukum bisa berjalan dan dia segera diadili,” tuturnya kepada Tempo.
Benny punya alasan berdoa demikian. Kakak kandungnya, Amir Biki, tewas saat terjadi bentrok antara massa dan pasukan Yon Arhanudse VI di Tanjung Priok, 22 tahun silam.
Tragedi Tanjung Priok itu adalah puncak penentangan Biki bersaudara terhadap rezim Orde Baru. Hari-hari sebelumnya, keduanya telah menggerakkan massa untuk berunjuk rasa menentang undang-undang keormasan, yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Mereka menilai undang-undang itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Sejak tragedi yang menewaskan puluhan orang itu, Benny Biki memimpin keluarga korban menuntut keadilan.
Ali Sadikin
Ali Sadikin tak akan pernah lupa ketika anaknya gagal memperoleh kredit bank pada 1980-an. Ketika ia tanyakan kepada Rahmat Saleh, Gubernur BI saat itu, ia memperoleh jawaban memang ada larangan dari pemerintah. ”Larangan itu sebenarnya untuk Pak Ali,” jawab Rahmat Saleh.
Hambatan ekonomi hanyalah satu tekanan yang dilancarkan penguasa Orde Baru terhadap Ali Sadikin. Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga dibatasi pergaulan sosialnya, dicegah ke luar negeri, dan suaranya diberangus. Itu semua karena aktivitasnya dalam ”gerakan” Petisi 50.
Petisi 50, yakni surat keprihatinan yang diteken 50 tokoh masyarakat, dikeluarkan pada 5 Mei 1980. Surat itu merupakan reaksi atas pidato tanpa teks Presiden Soeharto di depan pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980, dan dalam acara HUT Kopassandha di Cijantung, Jakarta.
Dalam kedua pidato itu Presiden mengingatkan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Soeharto mengatakan, kalau terpaksa lebih baik menculik seorang dari dua pertiga anggota MPR yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai. Inilah yang ditanggapi kritis Ali Sadikin dan kawan-kawan. Sejak itu pula kelompok Petisi 50 kerap mengeluarkan pandangan kritis.
Ali menegaskan, Petisi 50 lahir untuk mengajarkan demokrasi dan memperbaiki nasib bangsa. ”Jadi bukan untuk mencari kekuasaan,” kata dia.
Soebandrio (1914-2004)
Mendiang Soebandrio pernah melepaskan harapan bakal menghirup udara kebebasan setelah hampir 30 tahun mendekam dalam tahanan Orde Baru. Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri era Orde Lama ini masuk penjara karena dituding membiarkan tergulingnya pemerintah yang sah. Tetapi pada 15 Agustus 1995 ia dibebaskan setelah grasi keduanya diterima.
Setelah itu ia berada dalam kebimbangan untuk mengungkap kebenaran sejarah menurut versinya. Ada keikhlasan untuk melupakan masa lalu, namun di sisi lain banyak harapan agar ia menuliskan apa yang ia ketahui. Akhirnya, sebelum ia meninggal dunia pada 3 Juli 2004 akibat stroke, sebuah buku berjudul Kesaksianku Tentang G30S sudah ia tuntaskan.
Buku itu menyebutkan sejarah versi Soeharto adalah dusta. Menurut Soebandrio, Soeharto terlibat dalam aksi berdarah G30S. ”Soeharto secara matang merencanakan dan melakukan kudeta merangkak,” tulisnya. Soebandrio menegaskan, bukunya itu tidak dimaksudkan sebagai bentuk balas dendam.
Dewi Soekarno
Pada Juni 1970, Ratna Sari Dewi yang hendak menuju Indonesia dari bandara Singapura dihadang seorang pria. ”Anda tidak boleh masuk ke Indonesia,” ujar lelaki itu sambil memperkenalkan diri sebagai staf atase militer Indonesia.
Dewi tak menyurutkan langkah. Ia mesti menemui suaminya, Soekarno, yang tengah tergeletak sakit di Tanah Air. Maka, dengan segala cara akhirnya ia berhasil masuk Indonesia. Setelah Soekarno dijatuhkan, Dewi memang terbuang ke Prancis bersama anak semata wayangnya, Karina. Ketika berhasil menemui suaminya yang tengah sekarat, kondisi Soekarno saat itu mengerikan. Tubuhnya menggelepar sambil mengeluarkan suara ngorok yang keras. Esoknya, Soekarno mangkat.
Dewi mencium keganjilan. Ia mengontak sejumlah dokter kenalannya di luar negeri. Kesimpulannya, kondisi meninggal seperti itu adalah akibat konsumsi obat tidur berlebihan. ”Padahal Bung Karno tak biasa menggunakan obat tidur,” katanya. Lantaran inilah Dewi ditangkal masuk Indonesia hingga sepuluh tahun (1970-1980) kemudian. Di pengasingannya Dewi kerap berkampanye mempersoalkan keterlibatan Soeharto dalam Gerakan 30 September.
Ketika mendengar Soeharto meninggal, ia masih tidak bisa memaafkannya. ”Ia adalah Pol Pot-nya Indonesia,” kata Dewi kepada kantor berita AFP merujuk pada tewasnya 500 ribu orang, yang dituduh komunis seusai Peristiwa G30S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo