Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Maestro Bali yang Beda

Wianta mengubah wajah seni Bali. Dia menolak dengan tegas segala ragam seni yang berbau "etnis".

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seniman Made Wianta dan Seni Instalasi karyanya di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2014. TEMPO/STR/Dasril Roszandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Made Wianta mengubah wajah seni Bali.

  • Bagi Wianta, keindonesiaanlah yang mesti mengemuka.

  • Di dalam karya lukisnya, Wianta menekuni bermacam ragam gaya.

HADIR kreatif! Dalam dunia seni ataupun panggung hidup, hadir! Itulah dambaan dan kenyataan hidup Made Wianta, seniman Bali yang meninggalkan kita pada Jumat sore, 13 November lalu, setelah perjuangan panjang melawan penyakit. Panggung hidupnya sebenarnya sudah sepi sejak beberapa tahun lalu, ketika, pada suatu malam, membonceng sebuah sepeda motor di Apuan, desa kelahirannya di Tabanan, Bali, dia menabrak sepeda motor salah seorang tetangganya. Dia sontak ditimpa serangan otak. Lalu hampir lima tahun dia tidak lagi menggores sketsanya, tidak lagi menelurkan “gagasan gilanya”, tidak lagi mencoret-coret puisi instannya. Ya, hampir lima tahun suara lantangnya tak lagi menjadi magnet teman-temannya. Namun, biarpun panggung karyanya sepi, biarpun dia sunyi-bungkam di kursi rodanya, entah kenapa kehadirannya tetap bergema, tetap terasa membayangi seni budaya kita.

Kini, selepas diaben diiringi asap dupa, seusai arwahnya bertemu-padu dengan leluhurnya di gunung nun sana, berapa lama karya dan nama Wianta akan tetap berkumandang di antara kita? Setebal apa goresan namanya di buku sejarah?

Wianta sejatinya tidak terlahir untuk menjadi pelukis. Sedari kecil, dalam kelincahan gerak-geriknya, dalam sinar kelopak matanya, para tetua desa sudah membaca sesuatu, suatu “tanda” para dewata. Si Made dikatakan akan menjadi “jan banggul”, yaitu tangga para dewa turun ke marcapada. Pemangku pura. Namun ternyata para tetua salah. Sinar mata Wianta lain dari dugaan mereka. Yang berbinar di matanya bukan pantulan sinar dewa, melainkan sinar spirit zamannya. Memang si kecil Made berbakat. Memang bermain kendang dia bisa. Menari pun dia berbakat. Namun itu dia lakukan bukan demi bermusik ria. Bukan pula untuk melayani dewata. Namun ia melakukan itu untuk menguji, dari pandangan kagum orang sekelilingnya, betapa kuat dan baru daya ekspresi pribadinya. Ya, sedari kecil, Wianta terlahir “lain”. Seorang individu di lautan kolektif. Cerdas, tentu saja, tapi juga teguh, keras, penantang dan, lebih-lebih, haus kreativitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bakat seni Wianta memang ditemukan di desanya. Tapi desa itu cepat terasa mengungkung. Maka proses belajarnya diteruskan di Denpasar, yang terlalu “sempit”, lalu di Yogyakarta, tempat dia “nyeni” di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Lalu dia menikah, sebelum kemudian “terpanggil” ke Belgia, yang museum-museumnya membuatnya terpana. Pengelanaan itu yang menjadikannya seniman modern: “tukang” memperhadapkan bentuk dan warna sambil mencari makna.

Sembari mengelana, Made Wianta senantiasa memperluas pandangan dunianya. Lapis demi lapis, surprise demi surprise. Luka di sini, gembira di sana. Apakah peran dari rasa terasingnya ketika menolak petunjuk dewa desa asalnya? Apakah peran dari memorinya ketika, baru berumur 15 tahun, pada 1965, dia menyaksikan dereten pria menuju liang kuburnya. Apakah juga peran dari kekagumannya atas keindahan ajaib mahakarya Van Eck dan Bruegel di museum Belgia? Agaknya semua itu berperan baginya. Hasilnya, kompleksitas dunia hadir di dalam jiwa dan karyanya.

Sifat tegas yang diramu pengalaman luas Made Wianta ini menjadikannya seniman Bali pertama yang menentang jebakan pariwisata untuk membuat Bali menjadi kian modern dan kontemporer. Politik dan polemik wacana di sini berperan. Bagi kebanyakan orang Bali yang sezaman Wianta, kebalian mengemuka. Keindonesiaan adalah kerangka di mana kebalian dipertahankan di dalam keindonesiaan yang bineka. Tafsir politik ini mempengaruhi karya mereka. Misalnya, Nyoman Gunarsa, seniornya Wianta, membungkus unsur “pariwisata” seperti tarian atau sosok wayang di dalam sistem bentuk action painting modern. Adapun pelukis-pelukis seperti Nyoman Erawan, Wayan Sika, dan yuniornya di Sanggar Dewata tak kurang terfokus ke “Bali”. Karya-karya mereka menerjemahkan bentuk abstraksi prinsip kosmis agama Hindu: Trimurti, pralaya (kehancuran), pangider-ider, dualisme kosmis, dan lain-lain.

Wianta berbeda. Dia mewakili Bali yang lain. Baginya, keindonesiaanlah yang mesti mengemuka, sebagai wadah di mana kebalian melebur ke dalam keekaan bangsa—dan bahkan, lebih jauh, ke dalam kebinekaan dunia. Mengutamakan kebaliannya, di matanya, berarti berisiko membiarkan obsesi identiter membatasi kreativitas serta merusak ruang kebersamaan. Karena itu, dia menolak dengan tegas segala ragam seni yang berbau “etnis”. Baginya, alih-alih menutup diri dan menggali identitas di dalam suatu jati diri religius dan politik yang sempit, kita harus membuka diri dan memandang ke luar, ke Jakarta, Tokyo, Paris, New York. Bali dan Indonesia ditimpa kemodernan. Jadi kemodernan itulah yang harus ditantang dan dieksplorasi bila tetap ingin menjadi pelaku. Bila etnisitas hadir, cukuplah secara struktural atau alamiah saja, bukan sebagai paradigma kreativitas. Rumus kreatif ini diterapkan di dalam semua karya lukisnya. Bali jarang hadir sebagai pernyataan, tapi ia secara terselubung menggenangi ungkapan, entah di dalam peran kontur ataupun repetisi pola.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu terlihat dalam kreativitas bergelombang pada aneka eksplorasi; ungkapan bawah sadar dalam sketsa otomatisnya; daya ekspresi abstraksi bentuk dan warna di dalam karya lukis; dan, mulai 1980-an, ungkapan konseptual untuk menanggapi problematika dunia global kekinian kita.

Dalam karya lukisnya, Made Wianta menekuni berbagai ragam gaya, berayun-ayun antara abstraksi informal berkontur jelas, abstraksi geometris ketat dan abstraksi liris-kaligrafis bebas, kerap disertai warna pointilis bervarian luas. Modernisme menawan inilah yang mengantar karyanya ke berbagai galeri dunia. Namun puncak kreativitasnya bisa jadi bukan dalam abstraksi, melainkan dalam curahan figuratif automatic drawing-nya. Teknik ini dia terapkan sejak awal kariernya, di dalam seri yang disebut “seri Karangasem”. Di situ, terlihat bersesakan aneka sosok makhluk mungil-molor yang menantang klasifikasi dunia imajiner kita. Di situlah muncul bawah sadar khas Bali dari Made Wianta, visualisasi tak berdefinisi dari “dunia hidup di belakang hidup” yang membayanginya tanpa dikehendaki. Di dalam seri itu Wianta bisa jadi tampil sebagai maestro surealis Indonesia yang sesungguhnya, yang karyanya dapat bersanding bangga di samping karya-karya surealisme historis Eropa.

Namun Wianta tidak sekadar memakai kuas dan pena serta ungkapan sadar dan tak sadar. Tinggal di Bali, dia tak pernah lupa membuka matanya. Dia mengamati dunia yang berubah, perang yang meletus, dan mobil yang mengubah pola hidup kita. Maka tiba-tiba, di seputar pertengahan 1980, mulailah dia membuat performance-performance yang kerap tak bernama: “kecelakaan lalu lintas” di mana dia meniru korban-korban kecelakaan, ataupun banalisasi ritual agama, ketika dia membuat pseudo-upacara dengan mobil penuh sesajen.

Lalu, ketika perang merajalela di Kosovo dan Timor Timur, dia membuat land-art performance raksasa, “Art and Peace”, tepat pada hari pertama 2000. Sepanjang Pantai Sanur, dibeberkan kain bertulisan kata damai di dalam “semua” bahasa dunia. Namun puncaknya adalah “Dreamland”, respons sang maestro terhadap Bom Bali 2002. Foto-foto dari korban bom diperbesar, “dicat” darah dengan penggalan kepala sapi sebagai kuasnya, lalu semuanya dipajang di ruang gelap bertembok hitam, yang dimasuki dan dilihat dengan sinar senter, gambar demi gambar, horor demi horor. Pameran yang sama dipajang di Venice Biennalle 2003. Dengan ini semua, energi spontan, warna, performance, dan instalasi antara tangis dan harapan, Wianta mengajak kita untuk menggali lagi rupa dan maknanya, hingga “semua” akhirnya menunggal melampaui kita.

Dan memang, Made! Dari atas Gunung Tolangkirkau nun di atas sana, kau sudah manunggal, kan? Semoga kau berkenan bila spiritmu tetap menggenangi kita.

JEAN COCTEAU, PENULIS SENI DAN KOLUMNIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus