Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ragam Reaksi terhadap Putusan Dewas KPK yang Beri Sanksi Sedang untuk Nurul Ghufron

IM57+ Institute menyatakan putusan Dewas KPK harus menjadi dasar bagi Pansel Capim KPK untuk mendiskualifikasi Nurul Ghufron.

7 September 2024 | 20.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terperiksa Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan pelanggaran etik, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 6 September 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK memvonis Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terbukti melanggar kode etik. Dalam putusan yang dibacakan pada Jumat, 6 September 2024, Dewas KPK menjatuhkan sanksi sedang berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji sebesar 20 persen selama enam bulan.

Dewas KPK menilai Ghufron menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK dalam membantu mutasi aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pertanian ke Malang, Jawa Timur. 

“Mengadili, menyatakan Nurul Ghufron terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 huruf B Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat membacakan amar putusan.

Putusan Dewas KPK itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, dari pegiat antikorupsi hingga mantan penyidik komisi antirasuah itu.

1. Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha: Nurul Ghufron Seharusnya Didiskualifikasi dari Seleksi Capim KPK

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha mengatakan dasar putusan etik Dewas KPK ini bisa menjadi bukti tidak terbantahkan untuk mendiskualifikasi Nurul Ghufron dalam proses seleksi Calon Pimpinan atau Capim KPK.

“Putusan etik ini mengungkap fakta-fakta penting termasuk tindakan Nurul Ghufron yang menghubungi pejabat Kementan pada saat KPK menangani kasus SYL,” kata Praswad dalam keterangan tertulis pada Jumat, 6 September 2024.

Menurut dia, putusan etik yang menyatakan Nurul Ghufron telah melanggar kode etik ini harus menjadi dasar bagi Pansel Capim KPK untuk mendiskualifikasi Nurul Ghufron. “Apabila Pansel tidak menggugurkan Nurul Ghufron, maka percuma saja dilakukan serangkaian seleksi untuk menghimpun berbagai informasi mengenai calon pimpinan,” tuturnya.

Praswad menyebutkan tindakan mempertahankan Nurul Ghufron akan membangun skema bahwa benar proses seleksi dilakukan hanya untuk formalitas belaka. Sosok Capim KPK yang melanggar etik, bahkan saat dia sedang menjabat sebagai Pimpinan KPK, bisa menghasilkan berbagai potensi keputusan dan tindakan yang melanggar etik lainnya.

2. Eks Penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap: Putusan Dewas KPK Terlalu Ringan

Eks penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap mengaku terkejut dengan putusan Dewas KPK yang memberi sanksi sedang kepada Nurul Ghufron. 

“Putusan tersebut terlalu ringan dan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pimpinan dan pegawai KPK lainnya untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh NG,” kata Yudi dalam keterangan tertulis pada Jumat, 6 September 2024.

Yudi mengatakan seharusnya KPK mempunyai standar etik tinggi untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan yang bukan tugas dan pokok serta fungsinya memberantas korupsi. Terlebih, kata dia, ini berkaitan dengan mutasi di tempat lain. Nurul Ghufron, kata Yudi, seharusnya diberi sanksi berat untuk mengundurkan diri. 

“Namun sekali lagi, putusan sudah dibacakan, setidaknya Nurul Ghufron telah terbukti bersalah melanggar etik dan tentu ini semakin membuat kepercayaan publik kepada KPK semakin rendah,” ujarnya.

3. Koordinator MAKI Boyamin Saiman: Sikap Nurul Ghufron Merugikan Pemberantasan Korupsi

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia atau MAKI, Boyamin Saiman, menanggapi soal putusan Dewas KPK terhadap Nurul Ghufron. “Prinsipnya menghormati putusan Dewan Pengawas KPK, meskipun ya saya kurang puas,” kata Boyamin ketika dihubungi pada Jumat, 6 September 2024.

Dia tak sependapat dengan Dewas KPK yang menyebutkan Nurul Ghufron tidak merugikan pemerintah sehingga hanya diberi sanksi sedang. “Sisi lain tetap merugikan pemerintah dong, karena tata kelola pegawai negeri sudah ada bakunya,” tuturnya.

Dalam perkara ini, Nurul Ghufron dinilai telah menghubungi Plt Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, untuk membantu mutasi seorang ASN bernama Andi Dwi Mandasari dari Inspektorat Kementan ke BPBD Jawa Timur. 

“Itu kan Kementerian Pertanian sebenarnya ingin yang bersangkutan (Andi) bekerja di kantor pusat, tidak pindah ke daerah. Nah atas intervensi Gufron kan jadi pindah ke daerah, sehingga kekurangan personel di kantor pusat. Itu yang dinamakan merugikan (pemerintah),” tuturnya.

Boyamin mengatakan sikap Nurul Ghufron juga merugikan pemberantasan korupsi secara keseluruhan. “Karena kelakuannya Pak Ghufron itu bukan mencoreng citra KPK, mencitra NKRI. Karena program pemberantasan korupsi itu kan negara, bukan hanya KPK,” ucapnya. 

Menurut dia, hal ini semakin diperparah dengan sikap Nurul Ghufron yang tidak mengakui perbuatannya dan tidak menyesal usai divonis melanggar etik oleh Dewas KPK. Di sisi lain, penyalahgunaan wewenang ini berkaitan dengan dugaan korupsi di Kementan yang sedang diusut oleh KPK saat itu.

Seharusnya, kata Boyamin, pelanggaran ini masuk ke level berat dan sanksi yang dijatuhkan juga lebih berat. Dia menilai Nurul Ghufron mestinya tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi pimpinan KPK berikutnya. 

Pilihan editor: KPK Batal Panggil Kaesang Pangarep, Ini Kata Ahli Hukum Pidana UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus