BAGAIMANA cara mencegah agar badak Sumatera tidak musnah? Pembukaan hutan menggusur mereka dari habitatnya. Hutan lindung yang disediakan buat mereka pun diserbu manusia. Cula mereka dianggap obat yang berharga hingga di mana pun mereka terus diburu. Eksistensi badak Sumatera yang bercula dua (Dicerorhinus sumatraensis) memang makin terancam. Di luar habitatnya yang asli, mereka sulit beranak-pinak. Pelbagai kebun binatang, dalam dan luar negeri, mencoba menangkarkannya. "Namun, belum satu pun yang berhasil," kata Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Perilaku seksual badak sendiri, kata Linus Simanjuntak, masih belum banyak diketahui. Alhasil, sulit membangun medan buatan yang merangsang berahi mereka. Populasi badak Sumatera itu sendiri kini ditaksir tinggal 600-700 ekor. Di Sumatera mereka bisa tersembunyi di kerimbunan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Barisan, Gunung Leuser, dan Taman Nasional Kay Sambas di Lampung. Namun, jenis bercula dua ini terdapat pula, dalam jumlah terbatas, di perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak. Di KB Ragunan, saat ini ada sepasang badak. Yang jantan, Si Jalu, berasal dari hutan Torgamba, Riau, sedangkan si betina, Dusun, dari hutan Sungai Dusun, Serawak. Pekan-pekan ini, hubungan cinta kedua satwa tadi diamati dengan mengerahkan tenaga sukarela dari Sahabat Satwa, kelompok pencinta binatang. Tujuannya: mendapatkan gambaran yang detail mengenai bagaimana mereka kawin. Untuk tujuan penyediaan bibit di penangkaran, Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), bekerja sama dengan AAZPA (American Association of Zoological Park and Aquaria), telah menangkap tujuh ekor badak selama 1985-1989. Kerja sama itu, awal November lalu, diperpanjang, dan beberapa ekor akan ditangkap lagi. Ditambah dengan penangkapan di Serawak, jumlah badak yang ditangkarkan lewat proyek AAZPA itu mencapai 20-an ekor. Tiga ekor dibawa ke Inggris, empat ekor ke KB Cinncinati AS, dan selebihnya di KB lokal. "Sayang, empat ekor di antaranya mati di penangkaran," ujar Dr. Kathy Mackinnon, dari perwakilan WWF (World Wildlife Fund) untuk Indonesia. Pada saat upaya penangkaran itu masih belum berjalan, ada berita tak sedap: badak di Kerinci Seblat ditembak, konon oleh oknum petugas Kepolisian dan Kodim Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Berkat laporan Menteri KLH Emil Salim ke Pangab, Polda Sum-Bar dan Korem 032 Wirabraja cepat bertindak. Hasilnya, Kapolsek Indrapura, Letnan Satu Rusli, bersama sepuluh anak buahnya dipanggil ke Mapolda. Di pihak lain Kopral Satu Zulhelmi, Babinsa Tapan, diperiksa oleh Pom ABRI setempat. Sepasukan Brimob diturunkan ke hutan untuk mencari bukti pembantaian badak itu. Hasil pengusutannya secara resmi belum diumumkan, tetapi ada pelbagai spekulasi. Emil Salim, misalnya, pernah menyebut tujuh ekor badak mati oleh para oknum bersenjata itu. Sumber TEMPO di Polres Pesisir Selatan bahkan menyebut angka 40 ekor, terdiri dari badak dan rusa. Di kalangan masyarakat Pancung Soal, sudah menjadi rahasia umum, harga cula badak Rp 2-4 juta per ons, dan seekor badak bisa memberikan 8-10 ons cula. Sekitar 16 orang di Pancung Soal pun kini dicurigai sebagai penadah. Selain menampung hasil jarahan dari hutan, mereka dicurigai pula membiayai perburuan itu. "Sayang, mereka kabur sebelum sempat dimintai keterangan," ujar Kapolres Pesisir Selatan, Letnan Kolonel Tengku Puteh Djuana. Namun, bagi Casmir Rachman, Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Sum-Bar, angka-angka itu terlalu dibesar-besarkan. "Sebelum ada bukti badak mati, saya tak berani memastikannya," ujar perwira menengah Polri yang dikaryakan di Departemen Kehutanan itu. Dia pun menolak spekulasi Emil Salim yang tujuh ekor itu. "Menteri kan omongannya politis," katanya. Dirjen PHPA, Sutisna Wartaputra, sendiri sependapat dengan Casmir. Hasil penyidikan polisi yang dikirim ke Jakarta, sampai pekan lalu menurut Sutisna, belum bisa menyebut jumlah secara pasti. Yang ada, baru pengakuan dari para tersangka bahwa mereka menemukan seekor badak mati di hutan, yang kemudian diambil culanya. "Pengakuan itu sendiri belum cukup," kata Sutisna. Satuan Brimob yang turun ke hutan pun tak menemukan bangkai badak hasil tembakan atau jeratan. Dirjen PHPA itu meragukan para pemburu itu mudah menjumpai badak di hutan. Tim kerja sama AAZPA-PHPA yang mencoba menangkapnya, antara 1985 dan 1989 saja, "Hanya bisa menangkap tujuh ekor. Padahal, mereka kan ahlinya," tutur Sutisna. Lepas dari soal itu, perut Taman Nasional Kerinci Seblat, luasnya 1,5 juta ha (15.000 km2), menyimpan banyak godaan. Di situ terdapat 139 jenis burung, harimau sumatera, harimau kumbang, siamang, gajah, dan 60-100 ekor badak. Petugas polisi kehutanan yang menjaga kawasan itu jumlahnya hanya 60 orang. Penjagaan secara fisik di areal itu amat sulit. Untuk mengamankannya, Sutisna menekankan perlunya sanksi hukum yang berat daripada penambahan personel. "Kita kan sudah punya UU Konservasi," ujarnya. UU Konservasi, yang diberlakukan sejak Agustus lalu, antara lain menyebutkan, mereka yang mengambil, memusnahkan, menyimpan, atau memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadakan hidup atau mati diancam dengan hukuman penjara paling tinggi 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Putut Tri Husodo, Sri Indrayati (Jakarta), dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini