Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah organisasi pemerhati gender dan teknologi membuka layanan pengaduan bagi korban kekerasan gender siber.
PurpleCode Collective menerbitkan buku saku perihal kekerasan gender di dunia maya hingga membentuk gugus tugas.
Rifka Annisa membuat film tentang korban kekerasan seksual berdasarkan kisah penyintas.
SHINTA langsung balik kanan menggunakan sepeda motornya setelah tiba di tempat parkir. Niat untuk bersekolah urung setelah mendengar kasak-kusuk tak sedap tentang dirinya dari teman-temannya. Pandangan mata mereka menatap sinis. Lewat telepon selulernya, dia akhirnya tahu video rekaman hubungan seksualnya dengan Alex telah menyebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru pun datang ke rumah menyampaikan surat drop-out (DO) kepada orang tuanya. Sekolah tak peduli meski Shinta menjadi korban kekerasan berbasis gender siber. Orang tuanya tambah kaget setelah mengetahui Shinta hamil dan Alex ternyata telah beristri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibunya ingin Shinta dinikahkan saja dengan Alex ketimbang terus menanggung malu. Sedangkan ayahnya menolak dan berkukuh memperkarakan kasus itu. Tawaran damai dengan segepok uang dari keluarga Alex ditampik. “Aku ora pengen rabi, Bu!” Shinta berteriak sambil berurai air mata dalam dekapan ibunya. “Aku pengen sekolah.”
Itu bukan kejadian sebenarnya, melainkan adegan dalam film Asa. Namun cerita film berdurasi 22 menit tersebut diambil dari kisah nyata penyintas kekerasan seksual di dunia maya pada 2017. Adegan hubungan intimnya disebar di Internet. Rifka Annisa Woman Crisis Center mendampingi sang korban.
Rekonstruksi pendampingan korban kekerasan seksual berbasis gender online yang diperankan oleh model. Dok. Rifka Annisa
Lembaga advokasi perempuan itu kemudian membuat film tersebut bekerja sama dengan Oonomastika Film dan diluncurkan pada 6 Maret 2020. Manajer Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, menyebutkan film itu menunjukkan dukungan keluarga kepada korban. Dukungan tersebut tentu mempermudah korban dalam menghadapi kasusnya.
Rifka Annisa banyak mendampingi perempuan korban kekerasan gender siber. Usia para korban berkisar 12-35 tahun. Sedangkan pelaku kekerasan berusia 18-40 tahun. Mereka adalah pengguna aktif Internet.
Banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Internet karena dijebak. Mereka diminta memberikan foto atau video yang memperlihatkan bagian intim tubuhnya. Foto dan video itu lalu digunakan pelaku untuk memaksa dan mengancam korban agar memenuhi keinginannya. Misalnya meminta sejumlah uang atau berhubungan seksual yang masuk kategori pemerkosaan. “Rata-rata motif seksual,” kata Indiah.
Film di atas merupakan bagian dari kampanye lembaga ini untuk menyadarkan masyarakat ihwal bahaya perundungan seksual di dunia maya dan cara menghadapinya. Selain itu, Rifka Annisa melakukan kampanye melalui media sosial ihwal tip atau petunjuk praktis menjaga keamanan di Internet. Organisasi non-pemerintah yang didirikan pada 26 Agustus 1993 itu juga menyediakan layanan konseling psikologis dan pendampingan hukum bagi korban.
Rifka Annisa turut menyuarakan pencegahan kekerasan gender siber melalui Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Perempuan dan Anak yang dibentuk Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain Rifka Annisa, forum itu antara lain beranggotakan kepolisian, rumah sakit, dan lembaga swadaya lainnya.
Diskusi kekerasan berbasis gender online dalam lokakarya Take Back the Tech, September 2019. Instagram/@purplecode_id
Pendampingan korban kekerasan gender siber juga dilakukan PurpleCode Collective. Komunitas pemerhati gender dan teknologi yang didirikan Dhyta Caturani pada 2015 itu berupaya memberikan pendampingan psikososial bagi korban. “Kami berupaya menguatkan korban lebih dulu,” ujar Dhyta.
PurpleCode kemudian memberikan sejumlah opsi yang bisa ditempuh oleh korban kekerasan, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Misalnya, jika korban ingin memperkarakan kasus kekerasan itu ke penegak hukum, mereka juga harus siap jika pengaduan tersebut tak berjalan seperti diharapkan.
PurpleCode juga rutin mengadakan workshop tentang kekerasan gender siber sejak 2019. Tahun lalu, PurpleCode menerbitkan buku saku tentang hal tersebut yang bisa diunduh secara gratis di situs web mereka. Lebih jauh, pada Maret 2021, mereka meluncurkan Task Force, layanan pengaduan korban kekerasan seksual di dunia maya. Gugus tugas ini beranggotakan sejumlah relawan dari berbagai kalangan, seperti psikolog dan pengacara.
Sebetulnya, PurpleCode sebelumnya juga membuka layanan serupa. Namun saat itu layanan tersebut belum terintegrasi seperti gugus tugas ini. “Sekarang koordinasinya lebih mudah dan cepat,” kata Dhyta.
Sejak berdiri, gugus tugas sudah menerima 138 aduan dari korban kekerasan gender siber. Tapi tak semua aduan berakhir dengan pelaporan ke kepolisian. Mereka juga menyelesaikan kasus dengan cara lain, seperti melayangkan somasi kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. “Kalau tetap melakukannya, kami bisa laporkan ke polisi.”
Co-Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani. Dok. Hollaback! Jakarta
Komunitas lain yang melakukan advokasi serupa adalah Hollaback! Jakarta. Co-Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani, mengatakan, sejak berdiri pada 2016, mereka lebih banyak menangani pengaduan kekerasan seksual di ruang publik. Misalnya di jalan, moda transportasi umum, sekolah, ruang kerja, serta ojek dan taksi daring. Sedangkan aduan korban kekerasan gender siber baru mulai banyak diterima sejak akhir 2018.
Sepanjang tahun lalu, mereka menerima 60 aduan dari korban kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15 aduan merupakan kasus kekerasan gender siber. Sebanyak 32 pelaku kasus kekerasan itu merupakan orang yang dikenal korban. Dalam menangani kasus, Hollaback! Jakarta biasanya bertanya lebih dulu kepada korban. Jika korban membutuhkan konseling dengan psikolog, komunitas itu akan merujuknya ke sana.
Namun, jika korban berencana memperkarakan pelaku, mereka merujuknya ke lembaga bantuan hukum (LBH). Jika korban kekerasan butuh rumah aman, mereka pun berupaya menyediakannya. “Kami coba sediakan pendanaan agar korban bisa mengakses rumah aman.”
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) segendang sepenarian. SAFEnet membuka kanal pengaduan bagi korban kekerasan gender siber yang bisa diakses melalui Awaskbgo.id. Layanan tersebut diluncurkan sejak 2019.
Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet, Ellen Kusuma, menjelaskan, layanan yang diberikan berupa konsultasi keamanan digital dan privasi. Juga pelaporan ke platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan TikTok. SAFEnet bisa meminta platform media sosial tersebut segera menurunkan unggahan pelaku, seperti foto dan video yang berkaitan dengan korban.
Kini SAFEnet bekerja sama dengan KawanPuan serta KitaBisa. Donasi yang dikumpulkan digunakan untuk menyediakan pendampingan psikologi secara online bagi korban kekerasan gender siber. “Kami melihat ada kebutuhan itu karena korban datang dalam situasi depresi.”
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta) | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo