Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rapor Biru Kuning untuk Syahril

Syahril Sabirin dinilai berhasil mengelola sejumlah kebijakan moneter yang sehat. Namun, apa daya, ia selalu berada di dalam badai.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA rapor Syahril Sabirin dalam memimpin Bank Indonesia (BI)? Pertanyaan sepele itu rupanya tak mudah dijawab. Barangkali itu sebabnya sejumlah narasumber TEMPO lebih senang menjawabnya dengan tamsil, "Bankir sekaliber Alan Greenspan pun bakal gagal." Jawaban itu bukan cuma terlontar dari Eugene Galbraith, konsultan ekonomi Hong Kong yang pernah lama bekerja di Indonesia, tapi juga Laksamana Sukardi, bekas Menteri Investasi yang sempat dikabarkan menjadi salah satu calon kuat pengganti Syahril. Kutipan itu memang tak menunjukkan bahwa kualitas Syahril sekelas Alan Greenspan. Tapi setidaknya pernyataan itu memberi gambaran: perekonomian Indonesia begitu sulit, sehingga kalaulah Syahril dinilai gagal, itu bisa dipahami. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sejumlah indikator makroekonomi belakangan ini memang tampak cemerlang. Transaksi perdagangan, misalnya, mencatat surplus amat besar. Sukses perdagangan ini memang tak diimbangi dengan transaksi jasa ataupun modal. Tapi, meskipun demikian, cadangan devisa kotor terus bertambah dari US$ 24 miliar menjadi US$ 29 miliar. Ini cukup untuk enam bulan impor—satu catatan yang jarang terjadi dalam sejarah perekonomian Indonesia modern. Selain itu, inflasi terus terjaga di bawah dua digit. Padahal, suku bunga tak perlu dikerek tinggi-tinggi. Sejak tahun lalu, suku bunga terus digiring agar merosot turun dari puluhan persen menjadi tinggal 11,5 persen saat ini. Nilai tukar juga begitu. Setelah sempat mencapai Rp 17.000 di penghujung era Soedradjad Djiwandono di BI, pelan-pelan harga dolar dilorot turun sampai ke posisi Rp 7.000-Rp 9.000 per dolar, dalam setahun terakhir. Tentu saja, semua catatan kemilau itu bukanlah prestasi Syahril seorang. Tapi harus diakui, semua itu terjadi ketika lulusan Universitas Vanderbilt ini memimpin BI. Padahal, ia praktis selalu bekerja dalam situasi sulit. Selama ini, ada banyak cerita-cerita buruk di luar BI yang ikut menorpedo kekuatan rupiah, misalnya buruknya citra penegakan hukum, rapuh dan lambannya tim ekonomi di kabinet, pelbagai pertentangan di kabinet, serta kerusuhan yang marak di mana-mana. Walhasil, "Pasar selalu diisi sentimen negatif," kata Laksamana. Ini memaksa Syahril harus bekerja ekstrakeras untuk mempertahankan rupiah. Posisi Syahril makin sulit karena sejak awal ia kurang "kena-di-hati" Presiden Abdurrahman Wahid. Selama enam bulan masa kepemimpinan Gus Dur, sudah tiga kali Presiden minta Syahril mundur. Selain itu, sudah jadi rahasia para pejabat bahwa Syahril juga kesulitan menjalin kerja sama dengan koleganya di jajaran kabinet, khususnya dengan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan Menteri Keuangan. "Mereka sodok-sodokan terus," kata pengamat ekonomi Umar Juoro. Tapi, di atas semua kesulitan itu, skandal Bank Bali tampaknya akan menjadi ukuran rapor Syahril. Orang Bukittinggi ini dianggap terlibat, setidaknya ikut serta, dalam salah satu pertemuan untuk membobol Bank Bali di Hotel Mulia, Senayan. Bahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman sendiri menegaskan, Syahril bisa tersangkut kasus Bank Bali. Tudingan itu memang diragukan Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom. "Ia terlalu jujur untuk terlibat konspirasi itu," kata Miranda tentang bosnya itu. Lagi pula, kalaupun hadir, kata pejabat BI yang lain, ia belum tentu bisa disalahkan. Dalam pertemuan itu, katanya, "Bisa saja Syahril cuma duduk dan mendengar." Seolah belum puas membela, Miranda masih pula mengajukan petunjuk bahwa Syahril pasti tak terlibat. "Buktinya," katanya, "saya tak pernah dengar Pak Syahril memerintahkan bawahannya untuk memuluskan pencairan dana Bank Bali." Namun, terlibat atau tidak, Syahril agaknya telah tergiring ke posisi yang sulit dengan kasus Bank Bali ini. Kalaupun Syahril tak tahu-menahu tentang adanya persekongkolan Bank Bali, ia tetap saja dianggap bertanggung jawab atas bobolnya kas BI. "Masa, ia tak tahu ada pencairan dana di kantor yang ia pimpin," kata Eugene. Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto, Purwani Dyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus