Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Daniel Sol Lev: Mahkamah Agung Sudah Jadi Pabrik Keputusan

PEKAN lalu, Daniel Sol Lev kembali ke Amerika—setelah singgah di Singapura beberapa hari. Sebelum itu, selama dua pekan ia berkeliling Surabaya, Jakarta, Yogya, dan Semarang, untuk berbicara dalam beberapa diskusi terbatas tentang pengembalian citra lembaga hukum dan peradilan Indonesia, yang kini sudah porak-poranda. Kembali ke Indonesia—negara yang entah sudah berapa kali dia kunjungi—bagi Dan Lev, sebutan akrabnya, ibarat perjalanan pulang kampung ke sebuah tanah yang dikenalnya sejak jauh di tahun 1959.


4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Dan serta-merta akan membawa ingatan kita kepada soal-soal hukum, undang-undang, dan politik Indonesia—bidang studi yang dia tekuni selama hampir empat dasawarsa terakhir. Profesor emeritus dari Departemen Ilmu Politik Universitas Washington, Seattle, ini mengenal nama Indonesia sejak 1955. Kala itu, ia menjadi murid (almarhum) George Kahin—Indonesianis paling senior di Amerika—di Jurusan Ilmu Politik Universitas Cornell, Ithaca, New York.

Sejak saat itu, Indonesia—termasuk belajar bahasa Indonesia—menjadi salah satu bidang perhatiannya. Empat tahun kemudian, 1959, ia menginjakkan kaki di Jakarta. Selain memperlancar bahasa, kunjungan itu membawa sang mahasiswa kepada sejumlah tokoh nasionalis, dari politisi, ahli hukum, hingga budayawan. "Dari mereka, saya belajar banyak hal tentang politik dan hukum di Indonesia," ujarnya suatu ketika.

Pengetahuan Lev tentang hukum dan politik Indonesia tidak berhenti pada kajian lisan. Ia menuangkan pikiran dan kajiannya dalam The Transition to Guided Democracy: Indonesia Politics 1957-1959 (Cornell, 1966). Anak bungsu dari lima bersaudara ini menulis pula artikel di berbagai jurnal dan buku, antara lain Between State and Society: Professional Lawyer and Reform in Indonesia, dalam Making Indonesia, yang disuntingnya bersama Ruth McVey (Indonesianis dari Universitas Cornell).

Dan Lev memang berasal dari sebuah negeri dengan sejumlah Indonesianis di berbagai universitas. Kelebihan Lev, ia tidak hanya sibuk pada kajian-kajian akademis tentang Indonesia. Ia terlibat secara aktif dalam perkembangan politik serta perbaikan sistem hukum dan undang-undang di negeri ini. "Salah satu cara radikal memperbaiki lembaga Mahkamah Agung adalah dengan memensiunkan semua hakim dan menarik para advokat serta konsultan hukum menjadi hakim agung," ujar ayah sepasang anak ini kepada TEMPO.

Pria yang lahir di Youngstown, pedalaman Ohio, ini boleh dikata memberikan sebagian besar waktu terbaik hidupnya untuk menekuni studi tentang Indonesia. Tadinya, ia amat ingin menjadi tukang kayu. Ternyata, studi di Universitas Cornell mengubah jalan hidupnya menjadi akademisi yang serius. Juga Indonesianis serius. Ia mengamati secara intens pergolakan hukum dan politik di negeri ini selama empat periode kepemimpinan.

Tak aneh, bahasa Indonesianya fasih. Ia juga menggemari rokok kretek, doyan rendang, dan sering terlarut saat mendengarkan gending-gending gamelan Jawa. Dalam wawancara khusus dengan wartawan TEMPO Gita Laksmini, Rabu pekan lalu, nyaris tak sepatah pun bahasa Inggris terucap dari mulutnya. Ditemani bercawan-cawan kopi, kepulan rokok, dan alunan musik jazz, perbincangan dua jam lebih itu tiba-tiba terasa singkat. Petikannya:

Pekan ini, Komisi Hukum Nasional mulai melakukan dengar pendapat di DPR tentang soal-soal peradilan. Kira-kira hal konkret apa yang bisa diharapkan dari komisi ini?

Saya justru khawatir akan ada tendensi dalam Komisi Hukum Nasional untuk mencari kompromi tentang Mahkamah Agung (MA).

Kompromi seperti apa?

Misalnya, komisi ini hanya akan menganjurkan mengangkat kembali banyak hakim biasa, termasuk dari MA, juga dari pengadilan tinggi dicampur dengan beberapa hakim umum dan non-karir. Ini akan mengecewakan banyak orang.

Selain pengangkatan hakim, urgensi apa yang segera diperlukan Mahkamah Agung?

Upaya memperkecil lembaga. Sekarang, MA terlalu besar sehingga masyarakat tidak mungkin mengenal institusi ini dengan baik. Paling banter orang tahu Sarwata (Ketua MA) karena namanya ada di koran. Menurut saya, MA mestinya dijadikan suatu institusi yang lebih padat (compact). Jumlah hakim agung jangan lebih dari 15 atau 17 dan harus betul-betul punya rekor bersih, tegas, kuat, dan tidak takut.

Di mana kita bisa menemukan orang seperti itu pada masa sekarang?

Jalur profesi bisa menjadi sumber personalia yang baik, seperti para konsultan hukum dan advokat.

Advokat?

Ya. Saya tahu, semua orang akan buru-buru bilang, "Advokat juga main." Tapi begini. Kini, Indonesia punya 6.000-10.000 advokat dan banyak yang baik. Orang seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara kan masih banyak. Menurut saya, akan kuat sekali jika hakim agung bisa dipilih dari kalangan seperti ini. Jadi, betul ada advokat yang korup. Tapi, harus dilihat, ada yang terpaksa melakukannya di pengadilan.

Maksud Anda, mereka boleh dimaafkan biarpun ikut "bermain"?

Saya tahu betul betapa para advokat terus-menerus mengalami dilema. Kalau tidak main uang, kliennya akan kalah. Lantas, apakah mereka harus keluar saja dari profesi itu? Memang banyak yang sudah keluar. Ada pula advokat yang menganjurkan agar kliennya memberi uang kepada hakim—tanpa mereka sendiri harus melakukanya. Ini semacam kompromi.

Tapi melibatkan diri dalam "kesalahan prosedur" bukankah tetap tidak benar?

Apakah Anda akan menyalahkan seseorang yang mengemudikan mobil kemudian diberhentikan oleh seorang polisi yang minta uang? Kalau begitu, mungkin sampai 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia bisa dianggap korup. Harus diingat, advokat juga amat berkepentingan terhadap proses hukum yang sehat.

Karena mereka berhubungan langsung dengan lembaga peradilan?

Ya, mereka mengeluh setiap hari tentang inefisiensi lembaga peradilan. Kesulitannya, sampai kini, tidak ada organisasi profesi (advokat) yang cukup kuat untuk bergerak. Jika persatuan advokat cukup kuat, mereka bisa menekan pemerintah dengan mengingatkan bahwa proses perbaikan hukum masih jauh dari selesai.

Oke, kita bisa saja mengangkat advokat dan ahli hukum dari jalur profesional untuk menjadi hakim agung. Lantas, bagaimana dengan hakim yang sudah ada di MA?

Saya kira sebaiknya dengan tegas dipensiunkan saja. Itu kalau pemerintah Indonesia betul-betul mau memperbaiki keadaan.

Mengapa? Usul Anda memberi kesan semua hakim di MA buruk.

Memang tidak semua hakim buruk. Tapi yang jadi soal bukan lagi hakimnya, melainkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan yang sudah hilang sama sekali. Jadi, perlu langkah radikal untuk membenahi keadaan ini.

Radikal dari sudut praktis atau simbolis?

Dua-duanya. Supaya orang terkejut sedikit. Dan supaya terlihat bahwa pemerintah beriktikad baik untuk membenahi institusi peradilan.

Bagaimana dengan alternatif fit and proper test, ketimbang "menendang" mereka semua lewat mekanisme pensiun?

Bisa saja kita lakukan evaluasi dan investigasi apakah mereka betul-betul cukup baik dan bersih. Masalahnya, mencari orang yang betul-betul bersih pun bukan soal mudah. Korupsi sudah lama merasuki lembaga ini, awal 1970-an. Soal lain yang mendesak adalah mengurangi jumlah hakim yang kini jumlahnya sampai 51 orang itu.

Bukankah belum lama ini Gus Dur menganjurkan agar jumlah hakim ditambah sampai 60?

Saya kira Gus Dur tidak mengerti banyak tentang hukum sehingga ia menganjurkan jumlah itu—sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal. Yang harus segera dipikirkan juga adalah bertumpuknya perkara yang belum selesai di Mahkamah Agung.

Menurut Anda, apa sebabnya?

Ada dua soal. Pertama, hakim tidak bekerja dengan semestinya. Kedua, ada terlalu banyak perkara di level kasasi. Sekarang ini kan kecenderungannya, kalau kalah perkara di pengadilan negeri, orang pasti akan naik banding. Mengapa? Murah dan gampang. Maka, ada banyak perkara sepele dan tidak masuk akal untuk diurus pada level MA.

Jadi, di bidang mana dulu MA perlu berkonsentrasi untuk memperbaiki lembaga?

Memimpin pembaruan hukum di Indonesia secara umum. Ini cara memperkuat MA—dan harus menjadi salah satu tugas terpenting. Sekarang ini, Mahkamah Agung sudah menjadi semacam pabrik keputusan. Padahal, pada 1950-an, institusi ini masih sehat ketika dipimpin oleh Mr. Dr. Kusumah Atmadja. Orang ini sama sekali tidak takut kepada siapa pun. Ia berani bentrok dengan Bung Karno karena tidak ditempatkan di sebelah presiden sewaktu ada jamuan malam kenegaraan (state dinner).

Apa yang terjadi pada waktu itu?

Ia marah, lantas berdiri dan pergi begitu saja sampai Bung Karno sendiri pun agak takut. Tampaknya ini soal sepele (jamuan makan). Namun, ia tahu betul, MA semestinya menjadi institusi terpenting. Pemimpin seperti ini amat diperlukan. Namun, kini, betapa sulit menemukan figur seperti ini di dunia pengadilan.

Mengapa Anda begitu pesimistis?

Karena selama 40 tahun hukum dianggap tidak penting di Indonesia. Kalau ingin memperkuat proses hukum dan betul-betul mau memulihkan negara hukum, tidak ada pilihan selain mencari orang-orang luar biasa. Orang-orang ini, menurut saya, masih bisa kita temukan melalui jalur profesi.

Ada alasan khusus?

Para pemimpin yang tua-tua itu tidak sadar kini Indonesia penuh dengan orang mampu dari jalur profesional: advokat, konsultan hukum, akuntan, insinyur, dokter, arsitek, dan lain-lain. Mereka masih muda-muda, tapi telah lama menjauhkan diri dari pemerintah dan dari politik. Dan pemerintah seolah-olah tidak mengakuinya. Hal ini kian mempersempit dasar personalia yang dapat dimintai bantuan. Belum tentu banyak advokat mau menjadi hakim. Mereka harus diyakinkan untuk mau berkorban sedikit demi kepentingan publik.

Anda banyak bergaul dengan advokat Indonesia. Benarkah banyak dari mereka yang tidak berminat menjadi hakim?

Betul. Sebab, pendapatan mereka sebagai advokat atau konsultan yang cukup banyak itu akan turun.

Jadi, apa alasan Anda dari bidang ini kita bisa memetik banyak sumber daya untuk menjadi hakim yang baik?

Anjuran saya, pertimbangkan kemungkinan hakim agung yang diangkat hanya selama 3 atau 5 tahun sekali. Sesudah itu, mereka boleh keluar (dan kembali menjadi advokat). Dengan demikian, terbentuk grup hakim agung yang kuat betul untuk memperkukuh citra positif MA. Ternyata—setelah kami banyak mengobrol—saya menemukan banyak konsultan hukum dan advokat yang rela jika diberi opsi.

Kok, jadi rela? Mengapa?

Mereka tahu ini soal gawat (yang perlu segera diatasi). Dan harus kita akui, yang paling memberikan harapan dalam hal ini adalah orang muda. Banyak anak muda yang bagus kualitasnya, sehingga, menurut saya, undang-undang MA yang membatasi hakim agung harus berumur 50 tahun harus ditinjau kembali. Orang bisa mulai pada usia 35 tahun.

Tidakkah perjalanan usia membuat orang lebih matang oleh pengalaman?

Asumsi omong kosong bahwa makin tua orang makin bijak. Justru, makin tua, orang malah makin korup dan bodoh. Jadi, amendemen saja undang-undang itu.

Kembali ke soal hakim karir. Apa saja titik lemah mereka?

Pikirkan saja. Selama berkarir, taruhlah sejak 1970-an, di pengadilan, kejaksaan, kepolisian, karir dan pengalaman bagaimana yang mereka dapat? Ini bukan berarti tidak ada hakim yang baik. Tapi institusi yang buruk tidak akan bisa memberikan pengalaman yang membanggakan.

Maksud Anda, semua keburukan MA—maupun lembaga peradilan—berpangkal pada sistem?

Memang pada sistem. Dan selalu pada sistem. Baik-buruknya personalia pengadilan atau birokrasi amat bergantung pada etika dan kontrol dalam sistem. Menerima uang, misalnya, menjadi hal yang biasa karena sejak Orde Baru kebiasaan buruk ini sudah berlangsung. Banyak orang bilang, hal ini akan pupus jika hakim atau birokrat diberi gaji yang layak. Tapi itu sama sekali tidak betul!

Mengapa?

Kerakusan tidak pernah ada batasnya. Yang bisa menjamin orang tetap baik adalah pengawasan dalam sistem. Para hakim akan saling menjaga dan memelihara rasa malu satu sama lain. Ini yang perlu dijaga ketat dan jauh lebih gampang dilakukan oleh sekelompok kecil hakim. Citra MA yang terjaga akan memberikan harapan pada masyarakat, sekaligus berpengaruh pada seluruh pengadilan. Pembaruan institusi hukum seperti ini akan sangat bergantung pada tekanan pemerintah.

Menurut Anda, mekanisme mana yang paling membuka kemungkinan korupsi di dunia peradilan Indonesia?

Kerelaan hakim menerima uang. Mafia peradilan sudah ada pada 1963, di pengadilan negeri. Yang mulai melakukan korupsi adalah jaksa, lalu merambat ke hakim. Orang mulai berpikir, kalau di pengadilan negeri bisa main, mengapa tidak di MA?

Apa saja yang tecermin dari fenomena "permainan uang" ini?

Pertama, para hakim tidak profesional dan tidak punya rasa bangga pada profesi tersebut. Kedua, mungkin sekali mereka paham, sejak Demokrasi Terpimpin, hukum bukan lagi hal penting—malah bisa menjadi semacam barang dagangan yang bisa dijual. Hakim-hakim mulai menganggap dirinya sebagai pegawai negeri biasa. Ada hakim yang berpendapat jual-beli perkara bukan lagi korupsi, melainkan kebiasaan atau bahkan hak.

Tentang kinerja MA. Perubahan apa yang Anda lihat—baik kemajuan maupun kemunduran—dari periode Sukarno hingga Presiden Abdurrahman Wahid?

Saya paham betul pertanyaan Anda. Lembaga MA mulai dihancurkan sewaktu Bung Karno mengangkat Wirjono Prodjodikoro (Ketua MA) sebagai Menteri Penasihat Hukum (Kabinet Kerja II, 18 Februari 1960 sampai 6 Maret 1962. Pengangkatan ini membuat kedudukan Mahkamah Agung, yang seharusnya sejajar dengan lembaga eksekutif, berada di bawah presiden). Saya ada di Indonesia ketika peristiwa itu terjadi.

Apa reaksi Mahkamah Agung serta seluruh jajaran lembaga yudikatif?

Setelah Pak Wirjono diangkat, hakim-hakim pengadilan tinggi dan pengadilan negeri merasa depresi betul. Mereka merasa kehilangan kebanggaan. Ada hakim yang langsung minta berhenti. Begitu pula jaksa. Waktu itu, Bung Karno mulai memakai kejaksaan dan kepolisian sebagai alat politik untuk menghantam musuhnya.

Dan hal serupa berlangsung hingga Orde Baru?

Pak Harto malah sama sekali tidak memperhatikan proses hukum karena ia sendiri begitu kuat sebagai seseorang yang melandaskan politik di atas tentara. Jadi, kalau ada yang tidak setuju (dengan Soeharto), gampang ditangkap atau dibunuh. Kekuasaan hukum absolut di tangan satu orang.

Pada akhir 1960-an, berdiri aliansi Pengabdi Hukum antara Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), dan beberapa jaksa untuk memperkuat proses hukum dan negara hukum. Artinya, sejak zaman Orde Lama, bukankah sudah ada upaya reformasi hukum?

Sayang, aliansi tersebut tidak berumur panjang. Waktu itu, Pak Harto berjanji memulihkan negara hukum. Tapi itu berarti ia harus menyerahkan sebagian dari kekuasaan. Akibatnya, tuntutan (akan pemulihan proses hukum dan negara hukum) oleh aliansi Pengabdi Hukum ditolak presiden. Baru pada masa Gus Dur, reformasi dibuka secara serius.

Termasuk di bidang hukum?

Ya. Jika Gus Dur berhasil menciptakan kembali lembaga-lembaga hukum dan peradilan menjadi bersih dan berwibawa, bila berhasil melakukannya, Gus Dur akan menjadi presiden luar biasa. Persoalannya: apa mungkin? Sebab, perbaikan bukan cuma bergantung pada perencanaan reformasi institusi hukum, tapi juga pada perencanaan politik yang baik. Khusus tentang MA, pemerintah tidak boleh main kompromi. Yang jelek, pecat! Ganti yang baru.

Apa pendapat Anda tentang Komisi Antikorupsi yang banyak diberitakan pekan-pekan ini?

Ini juga yang menjadi pertanyaan saya. Kalau ada tim antikorupsi, lantas fungsi Kejaksaan Agung dan polisi itu apa? Ini bukan hanya tumpang-tindih, malah bersaingan.

Apakah duplikasi institusi seperti ini cenderung berakibat negatif?

Tidak. Malah perlu. Tapi, kalau terlalu banyak organisasi diberi tugas yang sama untuk mengejar korupsi, mereka akan bentrok satu sama lain. Kalau tim antikorupsi diadakan juga, beberapa pertanyaan harus diajukan: mengapa mereka tidak memperkuat polisi atau kejaksaan saja? Apakah tim antikorupsi akan potensial lebih baik dibandingkan dengan kejaksaan dan kepolisian? Apakah ini merupakan semacam penundaan usaha memperbaiki kejaksaan dan kepolisian?

Jadi, apa usul Anda?

Menurut saya, daripada duplikasi terlalu banyak, setiap lembaga yang ada harus dibersihkan, direorganisasi, dimulai dari lembaga pengadilan, kejaksaan, kepolisian. Mungkin kejaksaan perlu dikecilkan, tapi dengan para jaksa yang lebih profesional dan spesialis—dan bisa bekerja secara efektif. Jepang adalah contoh negara dengan lembaga kejaksaan yang efektif. Barangkali juga ada baiknya memikirkan sistem hukum dan pengadilan di Jerman, yang mungkin cocok di sini.

Maksud Anda, tentang adanya hakim awam di lembaga peradilan?

Ya, kita bisa menganjurkan hal itu di sini. Di Jerman—sistem pengadilannya tidak mengenal juri—lembaga hakim awam biasa diterapkan dan sangat efektif. Jadi, di setiap pengadilan negeri, selain ada dua-tiga hakim profesional yang menyidangkan perkara, hadir pula para hakim awam. Fungsinya mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.

Ide Anda amat beraneka, tapi apa bisa diterapkan di Indonesia?

Untuk memperbaiki institusi (hukum) di mana saja di dunia ini, perlu imajinasi serta ide-ide baru. Juga perlu keberanian mengambil risiko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus