Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila hal ini menjadi kenyataan, siapa yang akan menggantikannya? Ternyata nama sejumlah calon sudah menjadi pengisi bursa pembicaraan masyarakat. Dari kubu pemerintah, misalnya, Deputi Gubernur BI Dono Iskandar dijagokan. Ada pula yang berpendapat Direktur BI Budiono sebagai calon terbaik. "Selain mantan Ketua Bappenas, Pak Budiono diakui secara internasional dan memiliki latar belakang ekonomi makro yang kuat," kata Muhammad Ikhsan, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pemimpin BI yang lain seperti Anwar Nasution dan Miranda S. Goeltom juga termasuk yang dijagokan. Bahkan, nama mantan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi termasuk yang beredar. Lantas, siapa pilihan Anda? Silakan menakar sendiri kekuatan para calonmeminjam olok-olok Anwar Nasutionpenguasa "sarang penyamun" tersebut.
LAKSAMANA SUKARDI.
Jam terbang dan prestasi politisi PDI Perjuangan yang baru berusia 43 tahun ini di bidang perbankan mengundang decak kagum. Pada usia 29 tahun, anak sulung dari enam bersaudara ini telah menjabat sebagai Wakil Presiden Bidang Operasional Citibank. Berkat tangan dingin Lakspanggilan bapak dari tiga putri inipula Lippo Bank berhasil listing di Bursa Efek Jakarta.
Deretan prestasi ini mendorong majalah Swa menganugerahinya gelar Banker of the Year 1993. Di puncak keharuman namanya ini, eh, suami dari Rethy Aleksanadra Wulur ini malah memilih mengundurkan diri dan mendirikan Reform, perusahaan konsultasi di bidang keuangan dan perbankan.
Asam garam bisnis perbankan membuat alumni Jurusan Sipil Institut Teknologi Bandung ini jeli dalam melihat persoalan yang dihadapi BI. Jika menjadi Gubernur BI, misalnya, Lask akan memperingatkan para pejabat agar berhati-hati dalam berkomentar. Silang pendapat yang mewarnai kabinet Abdurrahman Wahid turut berperan di balik terjungkalnya nilai rupiah.
Tidak sekadar sebagai "tukang semprit" kabinet, Gubernur BI hendaknya berani mencari alternatif bagi penguatan nilai tukar rupiah, misalnya dengan menengok pada penerapan currency board system (CBS) atau dewan mata uang. Laks justru tidak takut terhadap bahaya devaluasi yang bakal terjadi menyusul pemberlakuan CBS. Sebab, yang lebih berbahaya justru ekspektasi masyarakat terhadap devaluasi yang kemudian diikuti dengan aksi memborong dolar.
DONO ISKANDAR.
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini merintis karirnya di Departemen Keuangan sebagai staf di Direktorat Jenderal Keuangan. Dari jabatan sebagai staf, Dono lantas diangkat menjadi Kepala Seksi Evaluasi Pajak dan Anggaran di direktorat yang sama. Lantas, pada 1972, Dono naik pangkat menjadi Kepala Subdirektorat Analisa Anggaran.
Sadar bahwa karirnya perlu ditunjang oleh pendidikan yang memadai, Dono memutuskan untuk kembali ke bangku kuliah. Benar saja. Pada 1977, sepulangnya meraih gelar doktor dari Universitas Illinois, Amerika Serikat, jabatan Direktur Neraca Pembayaran dan Administrasi Bantuan Luar Negeri di Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri mampir di pundaknya.
Karir Dono semakin moncer di era Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad. "Mr. Clean" mempercayainya untuk memangku jabatan Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan. Jabatan ini mengantarkan Dono sebagai anggota Dewan Moneter. Pintu menuju Bank Indonesia terbuka setelah Syahril Sabirin mengangkatnya menjadi direktur bank sentral ini pada 9 April 1998. Sejalan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, kedudukan Dono kemudian menjadi Deputi Gubernur BI.
Malang-melintang di bidang moneter tak menjamin Dono sukses mengelola bisnis perbankan. Namanya justru tercoreng karena Bank Ficorinvest yang dipimpinnyasebagai wakil BIkini tinggal nama belaka. Kendati demikian, Dono tidak perlu berkecil hati dalam bersanding dengan kandidat Gubernur BI lainnya. Apalagi Presiden Abdurrahman Wahid, sebagaimana dilansir Ikhsan, di depan sidang kabinet pernah menyatakan dukungannya agar Dono menggantikan Syahril Sabirin.
Sayangnya, niat si Kiai Ciganjur untuk menempatkan pilihannya ke kursi BI-Satu ini terganjal oleh UU No. 23/1999 yang mengharamkan intervensi pemerintah terhadap bank sentral. Alhasil, Dono mesti bersabar dulu.
ANWAR NASUTION.
Barangkali hanya Anwar, 58 tahun, yang berani secara terbuka menerima tantangan menjadi calon BI-Satu. Jawaban ini tampaknya terpulang kepada sifatnya yang suka blakblakan dalam berbicara sebagaimana karakter orang Sipirok, Sumatra Utara, tempat kelahirannya. Sebelum bergabung memperkuat Syahril Sabirin, sebagai Deputi Gubernur BI, pada April 1998, Anwar pula yang secara terbuka mengkritik BI sebagai "sarang penyamun".
Bekal Deputi Senior BI ini untuk melaju dalam bursa calon BI-Satu sebenarnya cukup lengkap. Dari sisi keilmuan, tidak ada yang meragukan keandalannya. Alumni Fakultas Ekonomi UI ini berhasil menamatkan pendidikan di sejumlah kampus terkemuka di Amerika Serikat, seperti di School of Government, Harvard (1973), dan Universitas Tufts, Massachusetts (1982), tempat ia meraih gelar doktornya.
Selain masih aktif mengajar di kampusnya di bilangan Depok, Anwar pernah pula membagi ilmu sebagai dosen ekonomi pembangunan di Universitas Helsinki, Finlandia. Bekal lain yang tak kalah pentingnya adalah pengalamannya di berbagai badan keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasioanl (IMF), dan Bank Dunia.
Jika terpilih sebagai Gubernur BI, Anwar mengaku bakal bertekad menjaga nilai tukar rupiah dan membenahi sistem perbankan nasional. Instrumennya bisa berupa kebijakan suku bunga dengan memperhatikan beban bunga utang pemerintah dan dolar Amerika. Instrumen berikutnya adalah koordinasi antar-instansi. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi silang pendapat antarpejabat yang dapat menumbuhkan ketidakpastian di pasar dan menipiskan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia.
Instrumen alternatif lain seperti penerapan CBS dan kontrol devisa tidak masuk dalam daftar pilihan Anwar. Cadangan devisa yang masih kecil, wilayah yang luas, non-traded sector (impor) yang besar, dan traded sector (ekspor) yang rendah membuat republik ini susah untuk memberlakukan CBSkarena "hanya akan membuat cadangan devisa kita terkuras. Lebih banyak mudarat daripada manfaatnya." Sementara itu, kontrol devisa belum bisa berlaku karena penegakan hukum di Indonesia masih payah. Juga aparatnya masih rawan suap.
MIRANDA S. GOELTOM.
Anak ketiga dari delapan bersaudara ini adalah ekonom komplet alias serba bisa. Selain lancar menghafalkan rumus matematika dalam teori ekonomi yang njlimet, Miranda ternyata lincah juga dalam menari-narikan jemarinya di atas tuts piano ataupun menggerakkan kaki dan badannya untuk balet dan dansa. "Mendengarkan musik, main golf, menjahit pakaian, dan dansa-dansi adalah olahraga tersendiri," tuturnya.
Sebagai ekonom, Miranda menimba ilmunya dari kampus serta dari berbagai pengalamannya sebagai konsultan di organisasi internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan Kementerian Industri Jepang. Bekal dasar ekonomi diperolehnya dari kampus Fakultas Ekonomi UI. Sementara itu, dari Universitas Boston, Amerika Serikat, wanita Batak kelahiran Jakarta ini berhasil menggondol gelar master dan doktor di bidang ekonomi moneter. Tantangan yang diterima Miranda semakin besar ketika pada 23 Desember 1997 ia resmi menjabat sebagai Direktur BI.
Modal ilmu dan pengalaman yang cukup untuk mengantarkannya sebagai orang nomor satu di BI justru tidak membuatnya besar kepala. "Ngaco kamu. Saya tidak ada potongan jadi Gubernur BI," katanya kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO. Miranda malah mendukung Syahril agar tetap di kursinya.
Seorang Gubernur BI di mata Miranda memang harus berjuang mengendalikan nilai tukar rupiah dan inflasi. Dalam upaya menekan inflasi, misalnya, pilihan penerapan kebijakan tight money policy hendaknya diberlakukan dengan hati-hati. Miranda melihat ada syarat minimum yang harus dipenuhi, yakni kemampuan meramalkan pergerakan melemahnya rupiah.
Di mata Miranda, jatuhnya nilai tukar rupiah saat ini lebih karena faktor politis dan gangguan keamanan yang berada di luar wewenang BI. Deputi Gubernur BI ini malah percaya, apabila bersandarkan pada perhitungan faktor ekonomi, nilai tukar rupiah sekarang justru sudah terdongkrak hingga level Rp 6.000-an per dolar. Sebagaimana Anwar Nasution, rupanya, Miranda keberatan terhadap penerapan capital control. Selain waktu penerapannya yang tidak tepat, Indonesia saat ini justru membutuhkan capital inflow yang besar. Apalagi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 menjamin sistem lalu-lintas devisa bebas.
Kendati memiliki hambatan itu, bukan berarti BI lantas berpangku tangan dalam menghadapi serbuan spekulan yang menghajar rupiah. Cara lain yang bisa dilakukan, menurut Miranda, adalah memonitor peredaran uang rupiah di luar negeri, lantas BI berusaha menguranginya, misalnya dengan melarang transaksi swap lebih dari US$ 5 juta. "Artinya, rupiah tidak boleh digunakan untuk margin trading." Malaysia adalah contoh sukses pengguna kebijakan ini.
Nada keberatan terdengar pula ketika Miranda mengomentari CBS. Alasannya, orang kerap melupakan satu asumsi penting: sistem perbankan Indonesia belum bagus. Sejumlah bank masih berada dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Jadi, jangan karena rupiah lemah kita lalu memberikan terapi habis-habisan di bidang moneter. Itu akan merugikan kita," tuturnya.
Widjajanto, Iwan Setiawan, Dwi Arjanto, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo