Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLEH jadi inilah hari-hari terakhir Syahril Sabirin sebagai gubernur bank sentral. Setelah delapan bulan "digoyang" oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanpa pernah berhasil, posisi Syahril kini begitu genting. Adalah Jaksa Agung Marzuki Darusman yang membuka kemungkinan keterlibatan Syahril dalam skandal Bank Bali.
Perkara yang bisa membawa Syahril ke kursi tersangka adalah dugaan soal kehadirannya dalam pertemuan 11 Februari 1999 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Selatan. Pertemuan ini disebut-sebut menjadi kunci pembuka kasus Bank Bali, yang sudah hampir setahun karatan. Dalam pertemuan itu, patgulipat pencairan tagihan inter-bank Bank Bali senilai Rp 1,4 triliun digelar dan dirancang.
Apa yang diendus Marzuki sebenarnya bukan perkara baru. Tapi bahwa kemungkinan itu tiba-tiba dikemukaan terbuka oleh jaksa agung, tentu punya arti istimewa. Apalagi, seperti menyambut "seruan" Marzuki, dari dalam istana kepresidenan muncul info bahwa Syahril berniat mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Gus Dur. "Selasa atau Rabu ini, Syahril akan menyerahkan suratnya," kata seorang sumber di Istana.
Info simpang-siur itu kemudian memang dibantah oleh Bank Indonesia. Namun, sejalan dengan pernyataan Marzuki, pemeriksaan terhadap Syahril kian gencar dilakukan. Menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, dalam lanjutan sidang kasus Bank Bali yang mendudukkan bekas Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Lubis sebagai tersangka awal pekan ini, akan muncul sejumlah kesaksian baru yang memberatkan Syahril.
Jika terbukti bersalah, doktor ekonomi lulusan Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat, ini otomatis akan terjungkal dari posisinyasesuatu yang selama ini diusahakan Presiden Gus Dur tapi tanpa hasil. Sejak awal pemerintahannya, Gus Dur memang terkesan kurang sreg dengan Syahril. Selama delapan bulan terakhir, secara terbuka Gus Dur sudah tiga kali meminta agar Syahril mundur. Alasannya tak pasti: awalnya karena tak cocok bekerja sama, belakangan karena skandal Bank Bali merugikan negara ratusan miliar.
Dalam permintaan itu, Gus Dur malah sudah pula mengelus calon yang dijagokan bakal menggantikan Syahril. Semula disebut-sebut nama Deputi Gubernur BI, Dono Iskandar, tapi belakangan berubah. Nama bekas Menteri Negara Investasi dan BUMN, Laksamana Sukardi, malah seperti mengungguli calon-calon lain.
Mana yang sebenarnya lebih kena di hati Gus Dur tidak jelas betul. Yang pasti, permintaan Presiden ditentang ramai-ramai. Maklum, berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, posisi Dewan Gubernur BI sangat kuat. Mereka tak bisa diberhentikan presiden jika tidak mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan tindak kriminal. Alasan tak bisa bekerja sama jelas tak masuk kriteria, sedangkan tuduhan kriminal juga belum bisa dibuktikan.
Meskipun Syahril bisa bertahan, hubungannya dengan Presiden sudah telanjur memburuk. Hubungan itu makin keruh ketika Gus Dur minta bank pemerintah turut campur menjaga nilai tukar rupiah. Tak lama kemudian, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo juga minta BI menguji ulang tes kelayakan dan kepantasan terhadap 24 bankir yang sebelumnya sudah dinyatakan tidak lulus. Dua soal ini jelas menjadi wewenang utama BI, yang tak bisa diintervensi siapa pun.
Melihat track-record seperti itu, tak mengherankan jika muncul pertanyaan: apakah upaya menyeret Syahril dalam skandal Bank Bali ada hubungannya dengan Gus Dur? Benarkah ini langkah jitu Presiden untuk menggusur Syahril secara hukum?
Dugaan adanya intervensi Gus Dur dalam soal gubernur bank sentral dibantah keras oleh Marzuki. "Tak ada hubungannya dengan Presiden. Ini murni langkah hukum," katanya. Menurut Marzuki, kejaksaan akan minta Syahril mengajukan alibinya pada 11 Februari itu. "Sampai detail jamnya," kata Marzuki. Ini diperlukan untuk cek silang, siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu. Seorang sumber TEMPO bahkan menambahkan, kejaksaan punya bukti dan kesaksian yang bisa mematahkan penolakan peserta pertemuan itu.
Sejauh ini, dalam kesaksian di bawah sumpah, baik dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung maupun persidangan, Syahril tetap menyatakan tidak tahu dan tidak hadir dalam pertemuan itu. Tapi, Firman Soetjahja, yang datang ke pertemuan itu mewakili pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, menegaskan bahwa Syahril hadir di sana.
Menurut pengacara Firman, Juan Felix Tampubolon, Wakil Direktur Utama Bank Bali itu langsung melaporkan hasil pertemuan kepada Rudy, malam itu juga. "Firman sempat kaget melihat `banyak orang besar' hadir dalam pertemuan itu," kata Felix. Orang besar yang disebut Firman adalah bekas Ketua DPA Baramuli, bekas Menteri Negara Pembinaan BUMN Tanri Abeng, Deputi Kepala BPPN Pande Lubis, Wakil Bendahara Golkar Setya Novanto, dan pemilik Grup Mulia, Joko Soegiarto Tjandra. Tapi, celakanya, semua "orang besar" yang dikenal sebagai lingkaran dalam bekas presiden B.J. Habibie itu ramai-ramai menolak kesaksian Firman.
Sampai akhir pekan lalu, Kejaksaan Agung belum menunjukkan bukti-bukti di luar kesaksian yang bisa meneguhkan siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu. Marzuki mengakui, pembuktian ini sangat penting karena dari pertemuan itulah keputusan pencairan klaim tagihan antarbank Bank Bali muncul. Tak bisa dimungkiri bahwa setelah pertemuan itu, proses pencairan klaim Bank Bali senilai Rp 1,4 triliun itu berjalan mulus, padahal Rudy sempat putus asa gara-gara tak mampu menagihnya selama hampir enam bulan.
Karena itulah Kejaksaan Agung harus membuktikan pertemuan itu benar ada dan melibatkan "orang-orang besar". Marzuki mengaku agak repot dengan kesaksian yang bertolak belakang antara Firman dan tersangka dan saksi yang lain, karena mereka sama-sama memberikan pengakuan di bawah sumpah. Namun, semuanya akan beres jika kejaksaan bisa memberikan bukti lain.
Dari bukti lain inilah nasib Syahril agaknya sudah ditentukan. Ekonom yang pernah menjadi perwakilan BI di kantor Bank Dunia Washington ini bukan tak tanggap dengan situasi sulit yang dihadapinya. Tapi posisi Syahril memang sangat berat. Sejak kasus ini terungkap Juli lalu, Syahril terus mengaku tak tahu dan tidak hadir dalam pertemuan 11 Februari 1999. Artinya, kalau sampai ada fakta kuat yang tak terlawan yang membuktikan kehadirannya dalam pertemuan itu, kredibilitasnya bisa hancur lebur. Masa, seorang gubernur bank sentral berbohong.
Padahal, dukungan kepada Syahril bisa dibilang melimpah-ruah. Kalangan dalam BI sendiri membela mati-matian pria yang dikenal santun dan tenang ini. Deputi Direktur Hukum BI, Amir Syafruddin, dengan tegas mengatakan Syahril masih bisa melanjutkan jabatannya sampai 2003 mendatang. Deputi Senior Gubernur BI, Anwar Nasution, juga mengungkapkan, Syahril pernah menjelaskan kepadanya bahwa dia tak hadir dalam pertemuan itu. Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom pun masih menganggap Syahril orang yang tepat memimpin BI sekarang.
Deretan pembela Syahril juga mengular di gedung wakil rakyat, DPR. Partai Golkar tampaknya ingin mempertahankan Syahril. "Pemerintah harus punya alasan yang jelas jika ingin mengganti," kata Agung Laksono, salah satu ketua DPP Golkar. Bahkan, barisan PDI Perjuangan pun turut membela. "Permintaan Presiden merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah," kata Didi Supriyanto. Para pembela ini rata-rata mempersoalkan dua hal: tekanan atau intervensi pemerintah yang sudah kelewatan dan prestasi Syahril sendiri yang tidak buruk (lihat: Rapor Biru Kuning Syahril).
Tapi, Syahril tampaknya tak bisa menghindari kasus Bank Bali. Pemeriksaan kejaksaan yang sempat mentok tampaknya mulai menemukan jalan terang. Ibaratnya, ia tinggal memilih: mempertahankan kesaksiannya atau mengakui kehadirannya. Kekuatan "orang-orang besar" itu tampaknya juga sudah makin berkurang sehingga kejaksaan mulai berani memasuki wilayah yang sebelumnya seperti tabu dimasuki.
Syahril mestinya tak sulit memilih. Kalaupun "orang-orang besar" itu tetap kompak menolak kesaksian Firman, ia tetap berpeluang untuk mengawali pembongkaran "konspirasi" itu. Syahril sebetulnya bisa berkawan dengan Marimutu Manimaren. Adik pengusaha Marimutu Sinivasan ini pecah kongsi dengan kelompok tersebut dan banyak mengungkapkan fakta-fakta baru yang bisa membawa Baramuli dkk. ke kursi terdakwa, apalagi kalau Kejaksaan Agung berhasil mengorek kesaksian para karyawan Hotel Mulia yang menyaksikan pertemuan itu.
Sumber TEMPO di BI mengungkapkan, Syahril sebetulnya sudah ingin membuka kasus itu. Dia mengaku pernah mendengar bahwa Syahril memang benar-benar hadir dalam pertemuan itu. "Tinggal tunggu waktu saja, semua akan dibuka," kata sumber tadi. Menurut kabar yang dia terima, Sjahril hadir di sana dalam posisi sebagai undangan dan tak berbicara banyak. Pengundangnya tak lain adalah Baramuli. "Dan setahu saya, sepulang dari pertemuan itu Syahril tak pernah memerintahkan bawahannya untuk memuluskan proses pencairan klaim Bank Bali," kata sumber tadi.
Tampaknya, pengakuan kehadiran Syahril hanya tinggal tunggu. Hanya, permintaan Presiden agar Syahril mundur membuat banyak ganjalan. Agung, misalnya, menyesalkan permintaan itu karena kesalahan Syahril belum dibuktikan di pengadilan. "Kalau semuanya jelas dan Syahril dinyatakan bersalah, kita mempersilakan dia mundur. Tapi jangan diberhentikan di tengah jalan," katanya.
Ekonom CIDES Umar Juoro menyarankan agar Syahril mundur saja karena dia memang terlihat tak cocok dengan Gus Dur. Juoro menyebut sejumlah petunjuk, misalnya soal pe-nanganan terhadap melemahnya rupiah. Cela-kanya, ketakcocokan itu justru sering dimun-culkan ke publik. "Mestinya itu dibicarakan dan dicari langkah bersama. Independen ya independen, tapi tetap harus berkomunikasi," katanya. Dia mengkhawatirkan pasar akan selalu bereaksi negatif jika pertentangan penda-pat menajam antara pemerintah dan BI.
Agaknya, mundur memang pilihan terbaik bagi Syahril. Di satu sisi, jalannya perekonomi-an biar makin mulus karena tidak ada lagi per-tentangan pendapat yang tajam antara pemerin-tah dan BI. Di sisi lain, Syahril menyum-bang besar pada upaya penyelesaian kasus Bank Bali, yang sudah berusia hampir setahun.
Tentu saja semua harus dilakukan melalui koridor hukum. Kalau nantinya Syahril tak terbukti bersalah, tak ada salahnya jika ia menggugat Gus Dur.
M. Taufiqurohman dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo