Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dalam Tekanan Konsumen Penerbangan

Pemerintah akhirnya memangkas batas atas tarif tiket pesawat agar harga bisa turun. Meminta AirAsia mengimbangi dominasi Garuda dan Lion.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi punya hak memutuskan sendiri naik-turunnya batas atas dan bawah tarif tiket pesawat. Ia tidak perlu repot meminta Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi lintas kementerian. Namun Budi tak ingin memutuskan sendiri. “Karena saya tidak ingin dianggap sewenang-wenang,” kata Budi di ruang kerjanya, kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu, 15 Mei lalu.

Itu sebabnya pada Senin, 13 Mei lalu, Darmin menggelar rapat koordinasi atas permintaan Budi. Berjudul “Rapat Koordinasi Pembahasan Tindak Lanjut Tarif Angkutan Udara”, pertemuan itu memutuskan batas atas tarif tiket pesawat domestik bermesin jet turun rata-rata 12-16 persen. “Pemerintah tidak hanya memperhatikan maskapai, tapi juga konsumen,” tutur Darmin. Hasil rapat itu kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, yang diteken Budi pada Rabu, 15 Mei lalu.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan CEO Air Asia Tony Fernandes di Terminal 2 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Agustus 2017.

Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet Satya Bhakti Parikesit; Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Gatot Trihargo; Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra; dan Komisaris Utama Garuda Sahala Lumban Gaol hadir dalam rapat koordinasi itu. “Tapi saya hadir bukan sebagai komisaris, melainkan staf khusus Menteri BUMN. Saya menemani Pak Gatot,” ujar Sahala, Kamis, 16 Mei lalu. 

Rapat itu akhirnya digelar setelah harga tiket pesawat tidak turun-turun sejak akhir Desember 2018. Selama bertahun-tahun, maskapai menjual tiket mendekati batas tarif termurah—terutama pada musim sepi penumpang (low season). Maskapai hanya menjual tarif termahal ketika masa mudik Lebaran, Natal, dan tahun baru atau hari-hari libur alias musim puncak. Namun saat ini semua hari bagaikan high season.

Konsumen pun berteriak ketika harga melonjak. Industri yang bergantung langsung pada penerbangan, seperti pariwisata, juga mengeluh. Keluhan merembet menjadi seruan #PecatBudiKarya- karena sang Menteri dianggap gagal mengendalikan harga tiket pesawat.

Pada hari yang sama saat seruan itu muncul, Darmin meminta Budi menurunkan tarif batas atas pesawat. Sebab, kenaikan harga tiket pesawat saat ini berefek panjang: menyumbang inflasi dan memukul industri pariwisata. Darmin kemudian meminta Budi menghitungnya dalam waktu satu pekan. 

Sepekan berlalu, penghitungan penurunan tarif batas selesai tepat waktu. Budi membawa hitungan anak buahnya itu ke rapat koordinasi, Senin, 13 Mei lalu. “Sudah selesai hitungannya ketika rapat koordinasi,” ujar Budi. Rapat koordinasi praktis tinggal ketuk palu.

Namun Garuda dan Kementerian BUMN masih mencoba menawar. Menurut Sahala, dalam rapat itu Kementerian BUMN menyampaikan bahwa tarif batas atas selama ini merupakan hitungan tahun 2016. Penghitungannya menggunakan asumsi harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah saat itu. “Pak Gatot dan saya menyampaikan kondisinya memang seperti itu,” tutur Sahala. “Tapi ini sudah jadi keputusan pemerintah.”

Masukan Kementerian BUMN dan Garuda tersebut sama dengan catatan anggota Ombudsman yang juga pengamat penerbangan, Alvin Lie. Menurut Alvin, sejak 2016 Kementerian Perhubungan belum pernah mengevaluasi tarif tiket. Padahal asumsi-asumsi 2016 sudah berubah jauh. Salah satunya harga minyak mentah dunia. “Namun tiba-tiba, tanpa ada proses penyesuaian tarif di waktu-waktu sebelumnya, Kementerian Perhubungan malah meminta maskapai menurunkan harga tiket,” kata Alvin.

Namun Budi yakin, hitungan terakhir sudah mempertimbangkan kepentingan konsumen dan maskapai. Selama okupansi maskapai minimal 60 persen, perusahaan tetap bisa untung. Kebijakan ini pun akan dievaluasi setelah Lebaran.

SEJAK harga tiket pesawat melonjak mahal, muncul dugaan praktik kartel kelompok Garuda dan Lion Air. Dua grup ini memang menguasai 90 persen pasar penerbangan nasional.

Tahun lalu, kelompok Garuda, yang terdiri atas Garuda Indonesia (full service), Sriwijaya Air (medium service), dan Citilink (low-cost carrier), mengangkut 46,6 juta penumpang domestik alias 46 persen. Adapun kelompok Lion Air, yang terdiri atas Batik Air (full service) serta Lion Air dan Wings Air (low-cost carrier) mengangkut 51,72 juta penumpang atau 51 persen. Sedangkan Air-Asia hanya mengangkut 5,2 juta penumpang.

Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kodrat Wibowo, mengatakan Komisi belum menemukan indikasi Lion dan Garuda menjalin kesepakatan menaikkan harga. Komisi hanya menemukan bukti bahwa yang pertama kali menjual tiket mentok ke batas atas tarif adalah Grup Garuda. Grup Lion belakangan mengikuti. “Kalau saling mengintip begini tidak apa-apa. Boleh-boleh saja,” ucap Kodrat di kantornya di Jakarta, Senin, 13 Mei lalu.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan, sejak manajemen baru dilantik pada Oktober 2018, mereka sudah berancang-ancang mengembalikan Garuda ke marwahnya, yaitu maskapai penerbangan premium alias servis penuh. Selama bertahun-tahun Garuda bermain di kubangan yang sama dengan maskapai murah, yaitu di batas bawah. “Yang kami lakukan sekarang menggeser alokasi tiket batas bawah ke atas semua,” kata Fuad pada awal Mei lalu di kantor Garuda, Tangerang, Banten.   

Perusahaan berani mengambil langkah itu karena 70 persen penumpang Garuda adalah pelancong bisnis yang biasanya dibayari oleh perusahaan atau institusi tempat mereka bekerja. “Orang-orang tidak sensitif terhadap harga karena semua dibayari kantor,” tutur Fuad.

Masalahnya, Lion Air ternyata mengintip strategi Garuda. Direktur Umum Lion Air Group Daniel Putut mengakui strategi perusahaannya bermain di tarif batas atas terpicu taktik Garuda. “Kebetulan pas dengan strategi kami,” ujar Daniel. “Ini ibarat toko emas: di mana-mana semua saling mengintip harga.”

Suasana Low-Cost Carrier Terminal atau terminal khusus penerbangan maskapai berbiaya rendah di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Menurut Daniel, Lion tidak punya pilihan selain menaikkan harga. Pada 2016, kelompok usaha penerbangan berlogo singa merah itu rugi. Setahun kemudian, perusahaan yang didirikan Rusdi Kirana—Duta Besar Indonesia untuk Malaysia—tersebut pun masih rugi. Nasib mereka pada tahun lalu sama. “Sekarang siapa yang bisa untung dalam kondisi begini?” ucap Daniel. Ia tidak mau menyebutkan berapa kerugian singa merah tahun lalu.

Industri aviasi memang sempoyongan. AirAsia Indonesia rugi Rp 998 miliar pada 2018. Adapun Garuda secara konsolidasi menanggung rugi operasional US$ 240 juta atau Rp 3,470 triliun dengan kurs Rp 14.400. “Nanti, kalau kurs dolar di bawah Rp 13 ribu, baru tiket kami bisa turun lagi,” kata Daniel. 

Kendati semua maskapai rugi, hanya AirAsia Indonesia yang masih bertahan menjual tiket di kisaran tarif batas bawah. Menurut Direktur Utama Air-Asia Indonesia Dendy Kurniawan, perusahaannya tidak mungkin membebankan kenaikan harga avtur dan pelemahan rupiah langsung kepada pelanggan. “Kami mencoba tetap kreatif,” ujar Dendy di kantornya di Tangerang, Kamis, 16 Mei lalu.

Menurut Dendy, perusahaan melakukan penghematan di sana-sini. Itu bisa dilihat dari biaya kursi yang tersedia per kilometer (cost availability seat per kilometer) yang lebih rendah dibanding pesaing. Biaya kursi yang tersedia per kilometer AirAsia tahun lalu tercatat Rp 550. Adapun ongkos Garuda mencapai US$ 6 sen atau Rp 864 dengan kurs Rp 14.400.

Keputusan AirAsia tetap bermain di batas bawah membuat banyak orang berharap pada maskapai asal Malaysia itu. Komisioner KPPU Kodrat Wibowo mengakui ada dorongan agar AirAsia membuka lebih banyak rute domestik baru supaya bisa menyaingi harga tiket kelompok Garuda dan Lion. “Tapi AirAsia tidak bodoh. Dia tidak akan masuk ke Maluku Utara, Gorontalo, Ambon, karena tidak mendukung bisnisnya,” tutur Kodrat.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menangkap peluang itu. Saat menerima kunjungan bos besar AirAsia global, Tony Fernandes, Rabu, 15 Mei lalu, Budi menyampaikan keinginannya, yakni AirAsia masuk ke jalur-jalur kurus. “Jangan hanya masuk ke rute gemuk. Coba terbang ke Saumlaki, Tual, atau Wakatobi,” kata Budi.

Menurut Dendy Kurniawan, pertemuan Tony dan Budi Karya pada Rabu pekan lalu itu sebetulnya hanya sebatas courtesy alias sopan santun. Tony, Dendy menambahkan, selalu menyempatkan diri berkunjung ke Kementerian Perhubungan bila taipan asal Malaysia tersebut datang ke Indonesia. Dalam pertemuan itu, Tony sekaligus menanyakan rute-rute baru yang sudah diminta AirAsia tapi belum disetujui. “Ada Jakarta-Lombok, Yogyakarta-Lombok, Bali-Lombok, serta Singapura-Lombok,” ucap Dendy, yang menemani Tony dalam pertemuan.

Dendy mengakui, Menteri Budi sekaligus meminta AirAsia masuk ke rute-rute kurus. Namun Budi tidak meminta secara spesifik AirAsia harus masuk ke rute domestik mana. “Nanti Direktur Jenderal Perhubungan Udara yang akan kasih daftarnya ke saya,” kata Dendy.

Dendy menjamin AirAsia siap bila diminta terbang ke rute sepi. Tapi dia tidak menjamin bisa berkompetisi dengan Lion dan Garuda di rute domestik lain. “AirAsia Enggak akan tertarik masuk ke rute domestik yang sudah dilayani dengan baik oleh maskapai lokal,” Dendy menjelaskan. Dengan kata lain, dominasi kelompok Garuda dan Lion masih akan bertahan dalam waktu cukup lama.

KHAIRUL ANAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus