TIBA-TIBA saja Jimmy Oroh, 26, ditemukan tewas di ujung belati, awal Oktober lalu. Karena si pembunuh tak segera diketahui, praktis tugas yang segera muncul tentu saja yang menyangkut pemakaman mayatnya. Keluarga Jimmy, yang tinggal di Desa Wailan, Minahasa, Sulawesi Utara, ingin jenazah dibawa pulang ke kampung kelahirannya. Mereka sudah langsung menyiapkan bangsal duka di sana. Karangan bunga berdatangan, dan liang lahad juga sudah digali. Dan, karena Jimmy meninggal di tempat istrinya, Desa Maumbi, di Minahasa juga jenazah perlu dijemput ke sana. Lengkap dengan mobil ambulans, iring-iringan penjemput lalu berangkat -- dipimpin sendiri oleh Jacob Mamuaya, kepala desa Wailan yang kebetulan masih terhitung keluarga juga. Tapi, apa yang terjadi? Di Desa Maumbi ternyata sedang berlangsung pula upacara berkabung. Bahkan jenazah Jimmy sesaat lagi sudah akan dimasukkan ke keranda dan diberangkatkan ke pemakaman. Istri Jimmy sendiri yang menginginkan jenazah suaminya dikuburkan di sana. Tentu saja, tak mungkin jenazah dipotong jadi dua, bukan, meski para pihak berkukuh mempertahankan keinginan masing-masing? Melihat gelagat tak sedap itu, Jacob segera bertindak. Ia segera berunding dengan rekannya, kepala desa Maumbi. Cukup bertele-tele juga musyawarah itu. Hasil perundingan: Mendiang tetap harus dimakamkan di Maumbi. Lagi pula, bukankah, setelah berkeluarga, Jimmy menjadi penduduk Desa Maumbi? Rombongan dari Wailan bungkam dua ribu bahasa. Artinya, menurut kedua kepala desa, mereka setuju. Hati yang berduka siapa bisa menduga, begitu ungkapan populer di Minahasa. Ketika peti jenazah diangkat, beberapa orang yang datang dari Wailan -- termasuk adik dan ayah Jimmy sendiri -- spontan ikut menjunjung. Tapi, siapa yang menduga bahwa niat mereka bukan sekadar urun tenaga? Peti jenazah bukannya dibawa ke keranda, tapi -- ternyata -- mereka belokkan ke ambulans yang sengaja diparkir di dekat situ. Ini bagaimana? Yah -- dengan sigap peti itu dipertahankan penduduk Desa Maumbi. Sejenak terjadi tarik-menarik. Tegang. Ramai. Pecahkah perang antardesa? Tidak, tentu. Kemeriahan yang berlangsung persis di Hari ABRI itu -- 5 Oktober kemarin -- akhirnya memang diselesaikan anggota ABRI. Yaitu Kapolsek Airmadidi Lettu Sondak, dan keempat anak buahnya yang juga ikut hadir. Perundingan dilangsungkan sekali lagi. Hasilnya, di bawah pengawasan bapak-bapak polisi, jenazah dibawa ke keranda. Mengapa Kapolsek membela pihak Maumbi? "Saya terpaksa memihak, memang. Sebab, sudah tentu istrilah yang lebih berhak," jawab Pak Letnan. Repotnya, rombongan penjemput -- yang pulang dengan tangan kosong -- sudah ditunggu ratusan pelayat di bangsal duka. Mereka siap memulai prosesi. Tapi, jenazah siapa yang harus dimakamkan, coba, bila tak ada jenazah? Padahal, di desa itu masih kuat kepercayaan, pantang menggali liang sebelum ada yang jiwanya melayang. Untunglah, Yacob Mamuaya tak kekurangan akal. Bukan memilih salah seorang dari antara yang hadir, misalnya saja untuk dibikin melayang. Tentu tidak, to? Kepala desa yang sudah lulus P4 ini mengeluarkan dia punya kebijaksanaan. "Oke," katanya. "Ada yang akan kita makamkan di lubang kubur itu." Lah -- siapa? "Dendam pembunuhan." Itu jawabnya. Jadi, apa lagi dalam soal yang menyangkut perebutan tempat pemakaman. Dalam kasus pembunuhannya sendiri pun tak perlu dendam. Apakah berarti tak diperlukan pengusutan ? Malam itu juga, liang kubur yang kosong ditimbun ramai-ramai. Tra-la-la. Puji Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini