Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tanggir berubah tohari bercerita

Jakarta: dunia pustaka jaya, 1986 resensi oleh: bambang bujono. (bk)

25 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI KAKI BUKIT CIBALAK Oleh: Ahmad Tohari Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1986, 191 halaman DI kaki Cibalak ada apa? Sebuah desa bernama Tanggir. Di situ, menurut halaman-halaman pertama novel ini, sedang berlangsung pemilihan lurah. Maka, desa penghasil gula kelapa itu pun mendapatkan kepala desa baru, Dirga namanya. Untuk selanjutnya ia mewakili tokoh buruk. Pertama kali watak Dirga dijelaskan lewat kasus koperasi desa. Ketidakberesan pembukuan, dan dana sosial bagi masyarakat yang sejak lurah lama tak beres, tetap berlanjut. Mbok Ralem, warga desa yang miskin, yang datang bermaksud meminjam dana itu untuk berobat, ditolak. Pambudi, pemuda yang jadi pegawai koperasi, yang mengantarkan Ralem jadi geram. Niatnya untuk mengundurkan diri dari koperasi mendapatkan alasan kuat. Pambudi, selanjutnya, memang tokoh baik novel ini. Dan demikianlah, antara Dirga dan Pambudi, Ahmad Tohari, 38, pengarang buku ini, menjalin kisah dengan latar belakang Desa Tanggir. Desa yang, konon, dihuni oleh para keturunan rakyat jelata dan ningrat dari Kerajaan Mataram. Orang-orang yang bersikap nrimo ing pandum, pasrah kepada nasib. Ayah Pambudi, umpamanya, lebih suka menganjurkan anaknya agar pergi dari desa daripada melawan lurah. Dan contoh yang mengesankan adalah gambaran Tohari tentang bagaimana penduduk menjual gula kelapanya. Mereka datang kepada Mbok Sum, dan sepenuhnya dialah yang menentukan harganya -- tak ada yang mencoba menawarkan harga sendiri, tak ada yang protes. Yang kemudian terkesan, novel ini tak ditulis dengan sembarangan. Terbayang adanya sebuah rencana -- entah hanya berupa garis besar atau rencana detail. Dan yang menjadikan rencana itu berarti adalah adanya dukungan sebuah riset, atau setidaknya satu pengamatan yang lebih serius ketimbang tinjauan selayang pandang. Betapa jalan hidup Pambudi bagaikan telah disediakan kotak-kotaknya, itulah salah satu petunjuk bahwa novel ini memiliki semacam outline. Bila rencana itu kemudian berbentuk sebuah kisah yang enak diikuti, tampaknya pengarang berbicara dengan bahasa yang telah dirasanya ia miliki benar. Bahkan, enak saja ia menyelipkan sejumlah kata Jawa di sana-sini. Dalam hal ini, "enak diikuti" mungkin turun sedikit kadarnya, bila pembaca orang Ambon misalnya, yang tak paham bahasa Jawa. Toh, nyaris, ini sebuah novel pop. Terutama dari segi plot, jalan ceritanya. Sebuah awal yang penuh tantangan bagi si tokoh kehilangan idaman hati di tengah perkembangan cerita akhirnya sebuah sukses. Bagaimana pengarang mempertemukan Pambudi dengan seorang cewek keturunan Cina anak dari majikan tempat ia bekerja, sungguh terasa klise. Ini mengingatkan novel-novel Barbara Cartland, pengarang pop Inggris, yang banyak diindonesiakan itu. Bahkan nasib tokoh yang buruk pun hampir serupa dengan tokoh dalam novel pop: Lurah Dirga dipecat karena bangkrut di meja judi. Untung, angle cerita menyelamatkan novel ini, hingga bisa meraih hadiah sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1978. Yang muncul dari buku ini, berubahnya sikap hidup masyarakat Tanggir setidaknya bagi sebagian kecil warganya, yakni para generasi mudanya. Lihat, lurah Tanggir pengganti Dirga adalah seorang lulusan STM yang masih muda, yang (lewat pengarang) berjanji memperbaiki citra lurah dan nasib desa. Buku ini terhindar dari kisah percintaan yang cengeng. Dari sudut ini, sebenarnya boleh dibilang ini sebuah novel pembangunan. Pambudi yang sukses beternak ayam surat kabar yang sukses mengumpulkan dana bagi seorang miskin yang sakit ada asimilasi perkawinan pribumi dan keturunan Cina, antara lain -- bukankah tema-tema pembangunan yang umum? Tapi, untungnya lagi, itu tak sampai jatuh ke sebuah propaganda. Semua itu menginsyaratkan bahwa penulis Di Kaki Bukit Cibalak memang memiliki potensi menulis sebuah novel yang baik. Terutama, bila diingat inilah karangan Tohari yang pertama. Ia, yang mengaku dibesarkan di desa, di sebuah pesantren, di Banyumas, Jawa Tengah, memang kuat dalam menggambarkan suasana alam. Bau lumpur kubangan kerbau, bunyi angin yang menggesek semak-semak, umpamanya. Dan bunyi sepeda motor yang telah menggantikan kicau burung -- adalah suasana desa yang telah berubah. Semuanya disampaikan bukan dengan verbalisme, tapi dengan pelukisan yang hidup, dengan kata-kata yang tepat. Itu memang dibuktikan dalam dua novel berikutnya, Kubah (1981) dan Ronggeng dari Dukuh Paruk (1982). Terutama dalam Ronggeng, Tohari benar-benar menyuguhkan satu film pemandangan sebuah desa dengan sudut-sudut kamera yang pas. Bila kemudian ternyata beberapa reportasenya keliru, umpamanya cara elang menyambar anak ayam sebenarnya bukan dengan paruh tapi cakar -- seperti kritik F. Rahardi, wartawan majalah Trubus, di majalah Horison -- tak mengurangi satu hal. Yakni, Tohari memang piawai dalam mengubah suasana alam ke dalam kata-kata. Dan alat seorang pengarang, apalagi bila bukan kata-kata? Bagi yang mencari satu pembaruan bentuk dan gaya dalam prosa Indonesia, memang tak ditemukan yang aneh-aneh di sini. Tohari bukan Iwan Simatupang atau Putu Wijaya yang kata-katanya mengalir deras, cerdas, dan menyuguhkan cerita yang aeng atau absurd. Ia, kalau toh perlu dicarikan perbandingannya, lebih dekat kepada Umar Kayam: pengarang yang lebih suka menceritakan suasana alam dan perkembangan watak tokoh-tokoh cerita menghadapi perubahan sosial yang nyata. Sampai di sini, memang baru itu yang diberikan Tohari: bahwa ia memiliki potensi melahirkan karya besar. Kebutuhannya akan rencana yang didasari riset, dan penghargaannya terhadap kata sebagai alat, yang tercermin dari lima karyanya: Cibalak ini, Kubah, dan trilogi Ronggeng dari Dukuh Paruk. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus