BULAN lalu, iseng-iseng saya membeli dua helai T-Shirt di sebuah toko serba ada (toserba) di Bogor. Merknya: Pierre Cardin -- rancangan terkenal di seluruh jagat. Harganya: kurang dari Rp 10 ribu per lembar. Tentu saja, dengan harga senilai itu, saya tidak berharap T-Shirt tersebut benar-benar diimpor dari Paris. Tapi, yang tidak saya bayangkan ketika membeli bahwa T-Shirt itu luntur begitu dicuci. Pengalaman saya itu tidak luar biasa, memang. Tapi, itulah kisah sebuah hasil bajakan. Tanpa membeli teknologi, dan hanya puas dengan mencuri, kita hanya akan mendapatkan kulitnya saja. Kasus T-Shirt Pierre Cardin itu, misalnya, memperlihatkan bahwa kita hanya bisa menjiplak merknya, tidak teknologinya. Apa jadinya kalau suatu ketika yang kita bajak itu hasil teknologi canggih, seperti suku cadang kapal atau pesawat terbang? Sulit dibayangkan akibatnya. Sebab itu, kita sudah memerlukan perlindungan terhadap intellectual property right. Penanggap, T. Mulya Lubis dan Nyonya Ita Gambiro, pada prinsipnya pun setuju bahwa kita memerlukan perundang-undangan yang mengatur hak paten dan alih teknologi. Hanya dengan jaminan perlindungan semacam itulah, para pemilik teknologi maju bisa diharapkan menularkan technical know-how dan technical knowledge kepada kita secara legal. Tanpa jaminan hukum, bagaimana mungkin kita mengharapkan perusahaan multinasional mau membawa teknologi mereka ke sini, kecuali melalui pembayaran di bawah tangan, dan dengan harga tinggi, seperti disinyalir Mulya Lubis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan nasional akan menjadi "sapi perahan" pemilik teknologi tinggi. Sebab, selain harus membayar royalti, para pemilik teknologi juga meminta imbalan saham sebesar 51% pada perusahaan yang membeli teknologi mereka. Tanpa perangkat hukum yang jelas, seperti undang-undang paten dan alih teknologi, pemerintah tidak akan bisa berbuat apa-apa membantu perusahaan nasional yang "diperas". Saya memang tidak bermaksud mengatakan bahwa perundang-undangan itu akan menjadi "paspor" untuk melangkah menjadi negara industri. Sebab, pemilik teknologi tinggi bukan sinterklas, yang mau begitu saja membagi-bagi kelebihan yang mereka dapat dengan susah payah. Lebih dari itu, mereka bahkan sudah berubah menjadi "beruang" kapitalis, yang siap melahap negara-negara berkembang sebagai mangsa. Kalau pada awal Revolusi Industri pemilik paten sebagian besar adalah perorangan, kini para penemu teknologi tinggi itu adalah perusahaan multinasional, yang mengeluarkan dana untuk riset dan pengembangan teknologi. Tidak heran bila untuk pengalihan teknologi secara legal, mereka menawarkan harga tinggi. Apakah kita akan melawan "beruang" semacam itu tanpa pernah mengenalnya? Tentu saja, kita harus mengenal mereka sampai ke hulu-hulunya agar bisa menyaingi mereka. Tapi, itu tidak mudah. Pengalaman di banyak negara berkembang justru terbeli "kucing dalam karung" dengan mengakui hak-hak intelektual di bidang industri itu. Seperti dikatakan Mulya Lubis, di negara berkembang sering swbuah paten hanya didaftarkan tanpa didayagunakan. Bahkan, di Amerika Latin, perusahaan multinasional hanya mendaftarkan patennya saja, sementara barang-barangnya tetap mereka datangkan dari negeri asal. Tentu saja kita tidak berharap pengalaman jelek negara-negara Amerika Latin itu menimpa kita. Sebab, di banyak negara berkembang, semua kesalahan itu telah diperbaiki dengan undang-undang baru. Misalnya, sebuah paten tidak akan diakui lagi bila dalam jangka tertentu tidak didayagunakan. Kita memang perlu membuat "pagar" yang ketat agar tidak menjadi sapi perahan perusahaan-perusahaan raksasa itu, bisa undang-undang paten dan alih teknologi diberlakukan. Bukan hanya soal pendayagunaan paten yang mereka daftarkan perlu diatur tapi juga apa saja yang bisa dipatenkan. Di banyak negara berkembang, produk-produk yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, seperti alat pertanian, tidak dilindungi hak patennya (non-patentable). Bahkan di Muangthai komputer pun termasuk non-patentable. Selain itu, kita juga perlu membatasi hak monopoli si pemilik paten dengan jangka waktu yang tidak terlalu panjang. Yang lebih penting lagi, pengaturan kontrak lisensi agar para pengusaha dalam negeri tidak sekadar menjadi alat perusahaan multinasional. Dan jangan lupa, perlu diatur pula, paten apa yang berguna untuk kita. Kita memang anggota World Intellectual Property Right dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Bahkan wakil Indonesia, Ita Gambiro, menjadi wakil ketua di salah satu komisi UNCTAD. Tapi, apakah kita sudah menjadi anggota Paris Convention -- traktat internasional yang melindungi hak industri intelektual? Jawabnya: bisa "ya" dan bisa "tidak". Secara formal, kita ikut Paris Convenbon 1883. Sccara materiil, tidak. Sebab, kita belum mengakui perlindungan scgala macam hak industri itu beserta peradilannya bila tcrjadi sengketa mengenai soal tersebut. Seperti dikatakan Ita Gambiro, kita hanya mengadopsi pengaturan administrasinya, tapi tidak substansinya. Diakui atau tidak, sikap kita mendua di bidang ini. Sikap itulah yang menyebabkan kita sampai kini tidak melahirkan undang-undang paten dan alih teknologi, kendati modal asing sudah 10 tahun lebih beroperasi di negara kita, karena kita masih ragu tentang kesiapan menerima alih teknologi itu. Kita ragu, apakah kita sudah punya pengusaha yang bermodal kuat, tenaga ahli yang bisa mengembangkan teknologi canggih itu, dan yang lebih penting, kita takut akan menjadi "jajahan" para kapitalis tersebut. Tapi, bagaimanapun, kita sudah harus memulainya. Undang-undang paten dan alih teknologi memang bukan satu-satunya jalan untuk ke sana. Tapi, ia adalah salah satu syarat. Bagaimana mungkin teknologi kita bisa berkembang kalau ilmuwan tidak dirangsang dengan perangkat undang-undang paten? Padahal, hanya dengan berkembangnya teknologi dalam negeri, kita bisa menerima teknologi maju dengan lebih mudah. Dalam soal hak cipta (copy right), dengan lahirnya Undang-Undang Hak Cipta pada 1982, kita memang sudah melangkah lebih maju. Hanya saja, kita belum kembali masuk Konvensi Bern, setelah keluar pada 1958. Padahal, berbeda dengan hak-hak industri yang merupakan milik perusahaan raksasa, copy right, yang meliputi penerbitan buku, musik, foto, dan pekerjaan seni lainnya, kebanyakan milik perorangan. Maka, pelanggaran hak cipta dengan seketika diketahui khalayak ramai. Akibatnya, dengan menjadi "pencuri" kecil-kecilan itu, yang hanya memperkaya pedagang kaset atau buku -- nama baik kita tercemar di mata internasional. Bob Geldof seenaknya mencaci kita, Ronald Reagan dan Paul Wolfowitz tidak segan-segan menegur kita, dan konon terakhir sanksi ekonomi telah diminta oleh perusahaan dalam negeri Amerika Serikat untuk barang-barang ekspor kita. Semurah itukah nama baik kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini