Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan menilai reformasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengalami langkah mundur. Alih-alih menjaga jarak, TNI belakangan dianggap terlalu mencampuri pelbagai urusan di ranah sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Muradi, menilai banyaknya kerja sama tentara dengan birokrasi pusat dan daerah sebagai indikasi kemunduran reformasi TNI. "Reformasi TNI harusnya selesai pada 2010. Belakangan, justru mundur," kata dia seperti dimuat Koran Tempo, Rabu, 7 Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Muradi, perkembangan reformasi TNI justru banyak terlihat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu SBY mengeluarkan sejumlah aturan turunan Undang-Undang Nomor 34 tentang TNI. Salah satunya, Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. Isinya, memberi mandat kepada Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan untuk mengelola aset dan bisnis yang semula dikuasai militer.
Pada masa Presiden Joko Widodo, TNI malah semakin terlibat dalam urusan sipil. Muradi mencontohkan keterlibatan struktur teritorial, seperti Komando Distrik Militer dan Komando Rayon Militer, dalam sejumlah penggusuran oleh pemerintah DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Padahal, menurut aturan, tentara baru boleh terlibat menangani konflik sosial di suatu daerah setelah presiden menetapkan situasi konflik.
Ancaman terhadap reformasi TNI bertambah setelah Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional masuk ke Program Legislasi Nasional 2015-2019. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai rancangan undang-undang tersebut dapat memperluas kembali peran TNI di ranah sipil. Sebelumnya, peran militer dibatasi oleh Undang-Undang TNI yang disahkan pada 2004. "Mestinya tugas reformasi tak ditunda," kata Direktur Imparsial, Al Araf, salah satu anggota Koalisi.
Al Araf juga menyoroti sejumlah jenderal aktif yang ikut dalam pemilihan kepala daerah sebelum mundur atau pensiun. Meski undang-undang membolehkannya, kata Al Araf, hal itu tak ada bedanya dengan politik praktis. Dalam pilkada 2018, setidaknya 11 tentara aktif ataupun pensiunan menjadi calon.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah, mengatakan agenda reformasi TNI tetap berjalan. Ia membantah adanya kemunduran. "Saya kira TNI tetap berkomitmen melakukan reformasi," kata dia.
Berita tentang TNI lainnya, bisa anda simak di Koran Tempo edisi hari ini.
DANANG FIRMANTO | INDRI MAULIDAR