Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Bagaimana Sutradara Mouly Surya Mendapat Akira Kurosawa Award

Mouly Surya menjadi sutradara perempuan pertama yang menerima Akira Kurosawa Award. Pemantik bagi industri film nasional.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sutradara dan penulis film Nursita Mouly Surya saat wawancara dengan Tempo di Jakarta, 30 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT elektronik dari Ichiyama Shozo itu diterima sutradara Mouly Surya pada September lalu. Dalam surat, Direktur Program Festival Film Internasional Tokyo 2023 itu mengatakan Mouly terpilih mendapat Akira Kurosawa Award. “Honorary award, dalam arti kata diberikan secara khusus,” ucap Mouly ketika berbincang dengan Tempo di kantornya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 30 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akira Kurosawa Award adalah penghargaan bergengsi yang hanya diberikan kepada sineas yang membuat gebrakan penting di dunia film. Komite seleksi penghargaan menilai Mouly sebagai salah satu sutradara berpengaruh, berkontribusi terhadap dunia perfilman, serta diharapkan bisa menentukan arah industri film ke depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penghargaan bergengsi itu diambil dari nama sutradara dan penulis skenario film legendaris Jepang, Akira Kurosawa. Pada 1989, Kurosawa mendapat Academy Award atas Capaian Seumur Hidup untuk prestasi sinematik yang berpengaruh bagi industri perfilman dunia.

Sejumlah pembuat film pernah memperoleh penghargaan tersebut. Mereka antara lain Steven Spielberg (Amerika Serikat), Alejandro González Iñárritu (Meksiko), Yoji Yamada (Jepang), dan Hou Hsiao-hsien (Taiwan). Mouly menjadi sutradara perempuan pertama yang mendapat penghargaan Akira Kurosawa. “Ini memang penghargaan khusus untuk pribadi,” ujar Mouly.

Sempat vakum, tahun lalu Akira Kurosawa Award kembali digelar. Komite seleksi penghargaan tahun ini terdiri atas sutradara Yoji Yamada, aktris kawakan Dan Fumi, casting director Narahashi Yoko, kritikus film Kawamoto Saburo, dan Ichimaya Shozo.

Pada Selasa, 31 Oktober lalu, Mouly menerima Akira Kurosawa Award di panggung Festival Film Internasional Tokyo 2023 yang berlangsung di Imperial Hotel Tokyo, Jepang. Malam itu, penghargaan tersebut diserahkan kepada Mouly dan Xiaogang Gu, sutradara asal Cina.

Pemberian penghargaan itu tidak lepas dari film besutan Mouly, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, yang dirilis pada 2017. Film tersebut dinilai mengubah citra perempuan Indonesia. Mouly juga dinilai menyajikan cerita yang kuat dan dinamis.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film ketiga Mouly. Selain menjadi sutradara, ia menulis skenario film sepanjang 90 menit tersebut. Mouly membagi film itu dalam empat bagian: perampokan, perjalanan, pengakuan, dan kelahiran. Film yang tayang perdana di Festival Film Cannes, Prancis, itu menyabet sejumlah penghargaan. Di antaranya Tokyo FILMeX 2017 dan Festival Film Indonesia 2018.

Mouly bercerita, sebagai penggemar berat sinema dan pernah menempuh studi film, ia sangat tertarik pada karya-karya Akira Kurosawa. Saat masih belia, ia sama sekali tak membayangkan terjun ke dunia film dan menjadi sutradara. Namun, setelah menonton film-film Kurosawa, perempuan yang lahir di Jakarta, 10 September 1980, ini mulai tertarik pada sinema.

Bahkan, saat menggarap Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Mouly mengaku banyak terinspirasi karya Kurosawa. Hal ini sekaligus menepis klaim para kritikus dan penonton film yang menyebut Mouly banyak dipengaruhi Quentin Tarantino—sutradara asal Amerika Serikat. “Saat saya membuat film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, karya-karya Kurosawa ada dalam pikiran saya,” tutur Mouly.

Mouly berharap penghargaan Akira Kurosawa yang ia terima bisa memberikan semangat bagi perempuan lain. Menurut dia, masih sangat sedikit sutradara perempuan, khususnya dari Asia. Dia menyinggung kultur Jepang yang lekat dengan budaya patriarki. Dengan memberikan penghargaan Akira Kurosawa kepada sutradara perempuan, tutur Mouly, stigma bahwa sutradara yang diakui hanyalah laki-laki mulai terbantahkan. “Ini menjadi hal yang luar biasa, karena perempuan sudah bisa mendapatkan apa yang laki-laki dapatkan,” ucapnya.

•••

SUDAH lama Mouly Surya menyukai film-film yang serius, termasuk dari Jepang. Selain itu, perempuan bernama lengkap Nursita Mouly Surya ini suka membaca komik dan menonton anime Jepang. Semasa menimba ilmu sastra di Swinburne University, Melbourne, Australia, pada 1999-2003, Mouly biasa membuat film bersama teman-temannya. Ketertarikan pada dunia penyutradaraan dan penulisan skenario itu berlanjut ketika Mouly mengambil studi Master of Film and Television di Bond University, Gold Coast, Australia, pada 2004-2005.

Kiprahnya di dunia sinema bermula pada 2007. Saat itu Mouly terlibat dalam penggarapan film dengan menjadi asisten sutradara. Ia turut menggarap dua film arahan sutradara Rako Prijanto, Merah Itu Cinta dan D’Bijis.

Debut Mouly sebagai sutradara tercatat pada 2008 melalui film berjudul Fiksi. Dia juga menulis skenario film tersebut bersama sineas Joko Anwar. Film perdana Mouly itu kemudian ikut dalam beberapa festival film internasional, seperti Festival Film Internasional Busan 2008 di Korea Selatan dan Festival Film Dunia Bangkok 2008 di Thailand. Melalui Fiksi, Mouly menyabet Piala Citra 2008 sebagai sutradara terbaik.

Perjalanan karier Mouly sebagai sutradara dan penulis skenario terus berlanjut. Pada 2013, ia kembali membesut sebuah film berjudul What They Don't Talk About When Talk About Love yang diproduseri suaminya, Rama Adi. Film yang dibintangi Nicholas Saputra, Ayushita, Karina Salim, dan Anggun Priambodo ini pertama kali tayang di Festival Film Sundance, Amerika Serikat, pada 19 Januari 2013. 

Selain itu, film dengan judul Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta dalam bahasa Indonesia tersebut tayang dalam berbagai festival film internasional lain, seperti Festival Film Internasional Rotterdam di Belanda, Festival Film Internasional Busan, dan Festival Film Internasional Tokyo. Di Indonesia, film ini tayang secara terbatas pada 3 Mei 2013.

Mouly Surya menerima Akira Kurosawa Award pada Tokyo International Film Festival, Tokyo, 31 Oktober 2023. Antara/Juwita Trisna Rahayu

Boleh dibilang Mouly adalah salah satu sineas yang mulai mendunia. Belum lama ini dia menyutradarai film berjudul Trigger Warning yang dibintangi aktris Hollywood, Jessica Alba. Film yang diproduseri Basil Iwanyk dan Erica Lee tersebut rencananya dirilis tahun depan melalui Netflix di seluruh dunia. 

Mouly mengungkapkan, tawaran mengerjakan film Trigger Warning datang dari perwakilan Creative Artists Agency  (CAA) yang berbasis di Los Angeles, Amerika Serikat. CAA menyatakan ketertarikan setelah menonton film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ketika diputar dalam Festival Film Cannes pada 2017. Dari situ, mereka mulai mengirimkan skenario film yang ditulis Josh Olson dan John Brancato tersebut. “Saya baca, saya jajaki, dan akhirnya bergulir saja,” ujar Mouly.

Bagi Mouly, bisa bekerja sama dengan aktris sebesar Jessica Alba adalah pengalaman tersendiri. Melalui Trigger Warning, dia mendapatkan dan harus beradaptasi dengan sistem dan kultur baru. Mouly dikenal sebagai sosok yang blakblakan. Namun, ketika bersinggungan dengan orang Amerika, ia malah belum cukup dibilang sebagai pribadi yang blakblakan. Menurut dia, yang paling terasa ketika mengerjakan film di lanskap internasional adalah soal kultur.

Ihwal sosok Jessica Alba, Mouly mengatakan aktris itu mempunyai karakter yang kuat. Selaku pemain, Alba dinilai mendukung visinya sebagai sutradara. Dengan nama besarnya, Alba juga dipandang sebagai sosok yang bersikap saling mendukung. Hal itu dirasakan Mouly ketika menjalani syuting film tersebut pada 2021. “Kami bekerja sama sebagai sebuah ally, bukan rival. Itu sangat berkesan bagi saya,” tuturnya. 

Mouly juga bercerita mengenai ekosistem industri film di Amerika Serikat. Menurut dia, yang membedakan ekosistem industri film di sana dengan di Indonesia adalah soal sistem. Di Negeri Abang Sam, sistem yang dibangun sudah demikian bagus dan didukung sumber daya manusia yang beragam. Bahkan industri film di sana sudah sangat kompetitif dalam berbagai aspek, dari pengaryaan hingga wilayah produksi. "Semua sangat kompetitif di Amerika," katanya.

Perihal profesionalitas, industri film Amerika sudah mempunyai jam kerja yang teratur. Di sana, Mouly bekerja selama 12 jam sehari. Namun sistem serupa belum bisa berlaku ketika dia berada di Indonesia. Di sini, ia bisa bekerja hingga 14 jam, bahkan lebih. "Karena kita bicara sistem, bicara soal kelayakan, dan itu hand-to-hand dengan sistem dan profesionalitas yang ada," ujarnya.

Saat ini Mouly tengah mempersiapkan film baru berjudul Perang Kota. Dia mengadaptasi kisah dari novel lawas berjudul Jalan Tak Ada Ujung karya sastrawan Mochtar Lubis dalam film itu. Ketika dia membaca halaman-halaman awal novel yang terbit pada 1952 itu, tebersit dalam benaknya gagasan menggarap teks tersebut. 

Menurut dia, Mochtar Lubis adalah pengarang yang mempunyai kekuatan dalam menulis prosa. Karyanya tidak susah dibaca, tapi menimbulkan imaji yang kuat di benak pembaca. Misalnya ihwal pengambilan latar di Jakarta pada akhir 1940-an dalam novel tersebut. Mochtar Lubis bisa mengantarkan pembaca ke kondisi Jakarta pada saat itu. “Ada imaji tersebut. Itu yang saya rasakan ketika membaca Jalan Tak Ada Ujung,” tutur Mouly.

Perang Kota adalah film pertama Mouly yang mengadaptasi cerita novel. Menurut dia, karya ini berbeda dengan karya Mochtar Lubis lain, misalnya Harimau! Harimau! (1975). Bagi dia, tantangan membikin karya yang diadaptasi dari novel yang sudah dikenal di masyarakat boleh dibilang lebih sulit. Jalinan imaji yang hadir ketika dia membaca Jalan Tak Ada Ujung memberikan alasan lain untuk mengalihwahanakan teks tersebut ke bentuk visual. "Itu menantang dan saya sangat tertarik," ujarnya.

Film Perang Kota dibintangi oleh Chicco Jerikho, Ariel Tatum, dan Jerome Kurnia. Ada tiga karakter utama yang ditonjolkan dalam film tersebut, antara lain tokoh Guru Isa, Fatimah, dan Hazil. 

Sebetulnya proyek film Perang Kota sudah diumumkan pada 2018. Namun, karena pandemi Covid-19, pembuatan film itu tertunda. Saat ini Perang Kota sudah masuk tahap pascaproduksi. “Targetnya, film ini akan tayang pada 2024,” ucap Mouly.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Marlina hingga Akira Kurosawa"

Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus