Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Revisi Pesanan Jokowi

Seusai peristiwa teror bom Surabaya, Presiden Joko Widodo mendesak pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme dipercepat. Masih ada pasal kontroversial.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Revisi Pesanan Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK lama setelah Presiden Joko Widodo memberi ultimatum tentang tenggat revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Senin pekan lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto langsung mengontak sejumlah menteri dan lembaga terkait. Salah satunya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Dia harus meninggalkan rapat di kantornya karena dipanggil Wiranto. "Pak Menteri segera ke kantor Menkopolhukam," kata Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Karjono, Kamis pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Presiden Jokowi agar revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah dibahas di Dewan dipercepat dilontarkan dua jam setelah serangan bom di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Teror ini mengakibatkan empat orang tewas dan enam menderita luka. Jokowi memberi ultimatum, jika revisi sampai Juni tidak selesai, ia akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Sehari sebelumnya, Presiden mendatangi lokasi ledakan bom di tiga gereja di Surabaya yang menyebabkan 13 orang tewas dan puluhan korban luka-luka. Malam hari setelah kejadian itu, kembali terjadi ledakan bom di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo, yang menewaskan tiga orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena rentetan kejadian itu dan adanya instruksi Presiden, Wiranto segera mengumpulkan para menteri dan pemimpin lembaga pemerintah untuk membahas segala cara mempercepat revisi tersebut. "Ini kan butuhnya kerja sama koordinasi dari semua kementerian dan lembaga yang ada di republik ini," ujar Wiranto, Jumat pekan lalu.

Menurut anggota panitia kerja RUU Antiterorisme, Arsul Sani, pembahasan revisi aturan tersebut sebenarnya tinggal menyisakan definisi terorisme. "Perkara definisi ini sempat membuat rapat macet pada April lalu," kata Arsul, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan.

Dari kantor Menteri Wiranto, rapat berlanjut ke kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan agenda yang lebih teknis. Rapat yang dihadiri sekitar 50 orang perwakilan dari Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lembaga lain itu dipimpin Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih. Agenda pertemuan untuk merampungkan perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, yang dibahas sejak dua tahun lalu.

Saat rapat terakhir dengan panitia khusus Dewan Perwakilan Rakyat pada 18 April lalu, tiga fraksi, yakni Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera, menawarkan hal yang sama dengan TNI. Mereka meminta ada penambahan frasa "tujuan politik dan ideologi".

Enny mengatakan pemerintah dengan tegas menolak memasukkan frasa tersebut karena tidak ingin mempersulit kepolisian di lapangan ataupun di persidangan. Frasa itu dikhawatirkan bisa membelenggu ruang gerak polisi. "Unsur-unsur tindak pidananya sudah ada, tapi ketika akan ditegakkan, aparat penegak hukum akan kesulitan dalam pembuktiannya," ujarnya.

Alasan penambahan frasa tersebut, kata Enny, mereka khawatir penindakan hukum yang dilakukan polisi sembarangan. Misalnya, ketika ada pengeboman atau pembunuhan satu polisi, bakal dianggap sebagai terorisme. Padahal pengertian terorisme itu sudah tercantum dalam pasal 6 dan 7. "Sebetulnya tidak perlu definisi juga tidak apa-apa."

Tiga fraksi oposisi tadi sebenarnya sudah sepakat dengan penjelasan Menteri Wiranto saat rapat pada pertengahan September tahun lalu. Dalam pertemuan itu, Wiranto menyampaikan terorisme merupakan ancaman baru bagi semua negara sehingga tidak mungkin ditangani sendiri.

Wiranto menginginkan BNPT sebagai sektor pemimpin dalam menanggulangi terorisme serta harus ada penanganan korban. Mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu juga menyatakan pembuatan undang-undang tidak bisa terlalu detail karena akan ada pembatasan-pembatasan dalam praktiknya. "Pengaturan undang-undang tidak bisa kaku, harus dibuat fleksibel dengan tetap memberi ruang," kata Wiranto dalam rapat tersebut.

Ketua panitia khusus revisi Undang-Undang Antiterorisme, Muhammad Syafii, setuju dengan pernyataan Wiranto tersebut. Tapi, saat pembahasan di panitia khusus, politikus Gerindra itu kembali memasukkan definisi versi mereka. "Kita persoalkan terorisme padahal kita tidak tahu terorisme siapa," ujar Syafii.

Bukan cuma diskusi mengenai definisi yang menyita waktu panitia khusus dan pemerintah. Pembahasan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia menanggulangi terorisme juga berlarut-larut. Dalam draf awal yang disusun di era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 itu disebutkan bahwa pelibatan TNI dalam rangka memberikan bantuan. Ketentuan itu tercantum di pasal 43-B ayat 2.

Saat pembahasan di era pemerintah Joko Widodo pada 2016-2017, pihak militer meminta pemerintah merumuskan ulang dengan merujuk pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Setelah dibahas ulang, pelibatan TNI merujuk pada pasal 7 ayat 2 huruf b terkait dengan tugas pokoknya, yakni mengatasi aksi terorisme sebagaimana menanggulangi operasi militer selain perang. Mengenai teknisnya, akan diatur dalam peraturan presiden. "Nanti juga dibahas dengan DPR," ucap Enny.

Karena di lingkup internal pemerintah tak kompak, Menteri Yasonna Laoly sempat dua kali meminta penundaan pembahasan ke Dewan. Surat itu dikirimkan pada 9 dan 30 Januari 2017. Setahun berikutnya, perbedaan pandangan di pemerintah tetap meruap. Bahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto juga cawe-cawe. Awal tahun ini, Hadi melayangkan surat bernomor B/91/I/2018.

Marsekal Hadi memberi usul kepada Dewan tentang penggantian judul Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi RUU Penanggulangan Aksi Terorisme. "Surat ini kami kritik karena semua masukan dari institusi pemerintah seharusnya disampaikan melalui Menteri Hukum," kata Arsul Sani.

Selama pembahasan, Arsul mengatakan polisi tidak menolak pelibatan TNI sepanjang paradigma penegakan hukum berbasis sistem peradilan tindak pidana. "Tidak bergeser menjadi paradigma yang berbasis pendekatan militer," ujarnya.

Anggota panitia khusus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Risa Mariska, mengatakan lambatnya pembahasan perubahan undang-undang tentang terorisme bukan karena pemerintah. Namun ada salah satu pemimpin panitia khusus yang memaksakan kepentingannya agar terakomodasi. "Undang-undang ini tidak akan selesai kalau pimpinan memaksakan soal definisi. Maka pilihannya adalah perpu," kata Risa.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian tak mempersoalkan ihwal definisi ataupun pelibatan TNI. Dia berharap pembahasan ini segera rampung. "Tolong, DPR dan pemerintah, jangan korbankan negara untuk kepentingan sektoral," ujarnya. Menurut Tito, disahkannya undang-undang tersebut bisa dijadikan langkah untuk memonitor dan menindak teroris yang masih dalam tahap perencanaan ataupun permufakatan.

Linda Trianita, Rusman Paraqbueq, Wayan Agus Purnomo


Pasal Kontroversial

PERUBAHAN undang-undang tentang tindak pidana terorisme dianggap memperluas kewenangan polisi. Ada sejumlah pasal yang dianggap gawat.
- Pasal 1 ayat 1: Tiga fraksi DPR menginginkan definisi terorisme memasukkan motif politik dan ideologi. Pemerintah menawarkan untuk dimasukkan ke penjelasan umum.
- Pasal 43-B: Mengenai pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme. Sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil menilai aturan itu bertimpangan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
- Pasal 31 tentang mekanisme penyadapan. Dalam draf awal, pemerintah hendak mengubah dengan cukup izin internal dari pemimpin lembaga yang bersangkutan. Namun, di draf terbaru, mekanisme penyadapan tetap harus seizin pengadilan.
- Pasal 43-A atau disebut Pasal Guantanamo. Dalam penanggulangan terorisme, pemerintah memasukkan aturan mengenai penangkapan terhadap orang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Penyidik atau penuntut umum dapat menempatkannya di wilayah hukum mereka. Pasal ini kemudian dihapus.
- Pasal 43 (pasal tambahan). DPR akan membentuk tim khusus untuk mengawasi aparat penegak hukum dalam menanggulangi terorisme.
- Pasal 28 ayat 3. Waktu penangkapan dan penahanan disepakati 15 hari. Diperbolehkan ada penambahan dengan mengedepankan akuntabilitas. Pelaksanaannya harus menegakkan hak asasi manusia. Penegak hukum yang melanggar pasal ini bisa dipidana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus