Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membangun Industri Berbasis Ekspor

Pelemahan rupiah cenderung membebani perekonomian nasional. Ekspor nasional yang didominasi minyak dan gas, batu bara, serta komoditas primer seperti sawit dan karet lebih diuntungkan saat harga minyak dunia naik ketimbang ketika rupiah melemah.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Membangun Industri Berbasis Ekspor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelemahan rupiah cenderung membebani perekonomian nasional. Ekspor nasional yang didominasi minyak dan gas, batu bara, serta komoditas primer seperti sawit dan karet lebih diuntungkan saat harga minyak dunia naik ketimbang ketika rupiah melemah. Pelemahan nilai tukar menguntungkan negara-negara yang menikmati surplus perdagangan dari hasil industri. Negara yang surplus perdagangannya bukan berasal dari hasil industri merasakan sebaliknya. Rata-rata 75 persen impor Indonesia adalah bahan baku, 15 persen barang modal, dan lebih dari 80 persen eksportir industri merupakan importir sehingga kenaikan harga impor membebani kinerja ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beruntung, saat ini harga minyak dunia cenderung naik. Walhasil, pelemahan rupiah akibat faktor eksternal ekonomi dunia belum terlalu membebani ekonomi makro Indonesia. Namun kita tidak dapat bergantung pada keberuntungan ini selamanya. Fondasi ekonomi nasional perlu diperkuat. Bagaimana caranya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara fundamental, kekuatan nilai tukar dipengaruhi oleh posisi neraca transaksi berjalan. Neraca ini mencatat kemampuan sektor riil sebuah negara dalam menghasilkan devisa. Sebelum era reformasi, neraca transaksi berjalan Indonesia selalu berada dalam posisi defisit. Namun, karena nilai tukar dikendalikan pemerintah, rupiah cenderung stabil. Di era reformasi, nilai tukar bersifat fleksibel terkendali sehingga posisi neraca transaksi berjalan akan langsung mempengaruhi nilai tukar.

Ketika harga minyak dunia naik, neraca transaksi berjalan menjadi surplus dan nilai tukar rupiah cenderung menguat (overvalue). Bila terjadi sebaliknya, nilai tukar rupiah cenderung melemah (undervalue). Selain itu, setiap kali kondisi ekonomi dunia tidak stabil, mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, cenderung melemah. Makin besar posisi defisit neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan hasil industri, makin besar dampak pelemahan nilai tukarnya pada makroekonomi.

Itu sebabnya Indonesia harus memiliki surplus neraca transaksi berjalan yang berasal dari surplus neraca perdagangan hasil industri. Mempersiapkan industri berorientasi ekspor ibarat mempersiapkan atlet Olimpiade. Memang tidak mudah. Tapi target tinggi inilah yang akan membuat pengusaha bekerja keras dan pemerintah konsisten melakukan reformasi secara menyeluruh.

Untuk mempersiapkan industri berorientasi ekspor, setidaknya ada lima variabel ekonomi yang harus diketahui hubungan sebab-akibat dan kekuatan elastisitasnya. Lima variabel tersebut adalah nilai tukar, surplus perdagangan barang, nilai tambah sektor industri, investasi asing jangka panjang (foreign direct investment), dan investasi jangka pendek (portfolio). Hitungan penulis menggunakan data tahunan periode 1987-2017 menunjukkan bahwa surplus ekspor barang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan nilai tambah industri, tapi tidak sebaliknya.

Kedua, pertumbuhan nilai tambah industri lebih signifikan mempengaruhi pertumbuhan investasi asing jangka panjang ketimbang sebaliknya. Elastisitas hubungan ini besarnya lebih dari satu, sehingga setiap 1 persen pertumbuhan nilai tambah industri akan meningkatkan lebih dari 1 persen pertumbuhan investasi asing jangka panjang. Ketiga, pertumbuhan industri juga meningkatkan pertumbuhan investasi portofolio untuk saham-saham industri. Surplus ekspor industri menunjukkan keunggulan sektor riil dan hal ini akan membantu sektor keuangan, termasuk nilai tukar, untuk memiliki daya tahan tinggi terhadap perubahan faktor eksternal ekonomi dunia.

Surplus ekspor industri cenderung diuntungkan oleh pelemahan nilai tukar karena harga ekspor makin murah, sementara harga impor makin mahal. Apa dampak positif lain dari surplus ekspor hasil industri bagi Indonesia?

Setidaknya ada tujuh dampak positif industri berbasis ekspor. Pertama, meningkatkan produktivitas sumber daya manusia. Industri meningkatkan permintaan angkatan kerja berpendidikan dan berkeahlian khusus. Banyak studi mendukung hal ini. Model pembangunan sektor modern yang dirancang peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Arthur Lewis, membuktikan pergeseran sektor ekonomi dari primer ke industri meningkatkan nilai tambah ekonomi, produktivitas, dan upah pekerja. Kedua, meningkatkan basis produksi dan pemanfaatan sumber daya alam. Industri berbasis ekspor akan membuat Indonesia makin baik dalam memproduksi barang setengah jadi dan komponen industri (spare parts). Kedua barang ini penting dalam proses pembangunan industri hilir. Ketiga, meningkatkan kesadaran bahwa tidak ada satu pun negara yang bisa menghasilkan semua produk. Sebaliknya, setiap produk dihasilkan dari kerja sama beberapa negara. Kesadaran akan pentingnya menjadi bagian dari jaringan produksi global dan lokal membuat pemerintah konsisten melakukan reformasi serta deregulasi. Pengusaha juga akan sensitif terhadap kualitas kerja pekerja sesuai dengan standar global.

Keempat, meningkatnya kedisiplinan, penghargaan atas waktu, dan kebiasaan bekerja keras. Industrialisasi global menuntut profesionalisme kerja. Kelima, terbukanya peluang pasar bagi produk lokal, termasuk hasil produksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), melalui jaringan pasar global. Peningkatan akses pasar akan memperkuat bisnis UMKM lokal dan memperluas basis penerimaan pajak. Keenam, meningkatkan jumlah pekerja formal. Pekerja formal lebih banyak membeli produk jangka menengah dan panjang melalui skema kredit, seperti kendaraan bermotor dan hunian tempat tinggal. Pertumbuhan industri dapat menjadi kunci pengubah stagnasi konsumsi, dari konsumsi jasa-seperti pendidikan, kesehatan, restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi-kembali ke konsumsi barang. Tujuannya agar pertumbuhan ekonomi naik lebih tinggi. Ketujuh, industri menyadarkan kita bahwa dokumen perencanaan jangka panjang dengan implementasi yang jelas serta terukur pada jangka pendek dan menengah adalah dokumen penting yang bukan sekadar pajangan di lemari buku.

Membangun industri berorientasi ekspor membutuhkan waktu yang panjang dan upaya yang konsisten. Apakah negara demokrasi dengan periode kepemimpinan lima tahunan bisa konsisten mewujudkan perencanaan jangka panjang pembangunan industri?

Jawabannya bisa, sepanjang perencanaan tersebut memiliki target yang terarah dan terukur sehingga dapat dirinci dalam implementasi jangka menengah dan pendek. Untuk menjaga obyektivitas perencanaan dari kepentingan sesaat, penyusunan target harus melibatkan ketiga unsur triple helix, yaitu pemerintah, pengusaha, dan akademikus. Untuk merencanakan industri, 5 tahun adalah jangka pendek, 10 tahun jangka menengah, dan 20 tahun jangka panjang. Periode kepemimpinan nasional bisa memastikan target jangka pendek atau jangka menengah saat terpilih kembali. Adapun target jangka panjang tetap dapat dicapai bila setiap kebijakan industri selalu mengacu pada target jangka menengah dan panjang yang sudah ditetapkan.

Pembangunan industri membutuhkan empat pilar utama: infrastruktur, sumber daya manusia berkualitas, teknologi, dan manajemen modern. Empat pilar ini juga sangat mempengaruhi masuknya investasi asing berbasis produksi dan riset serta pengembangan sebuah negara. Investasi asing semakin besar ketika nilai tambah industri makin besar, dan hal ini bisa terjadi bila industri tersebut berorientasi ekspor.

Industri juga membantu Indonesia menghadapi "jebakan" negara berpendapatan menengah. Menurut hitungan penulis, pendapatan per kapita Indonesia dalam nominal dolar Amerika Serikat pada 2030 berkisar 6.000-11.000. Rata-rata pertumbuhan ekonomi riilnya akan berkisar antara 6 persen dan 8 persen. Selain itu, agar tidak terjebak terlalu rendah sebagai negara berpendapatan menengah, Indonesia membutuhkan pertumbuhan rata-rata 7 persen. Saat ini rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih kurang dari 6 persen, sehingga setidaknya mulai 2020 ekonomi Indonesia diharapkan dapat tumbuh di atas 8 persen. Data menunjukkan bahwa Jepang, Korea Selatan, dan Cina pernah menikmati pertumbuhan ekonomi bahkan hingga di atas 10 persen selama beberapa tahun karena peran industri berorientasi ekspor.

Langkah pemerintah membangun infrastruktur di berbagai daerah dan berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat mendukung tumbuhnya industri. Namun pencapaian ini tetap harus dilengkapi dengan orientasi industri pada pasar global.

>Kiki Verico
Dosen FEB UI & Peneliti Senior LPEM FEB UI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus