Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan Aparat Masuk Desa

ORDE Baru meninggalkan warisan yang dipertahankan hingga hari ini. Di antaranya koperasi unit desa, transmigrasi, sekolah inpres, dan keluarga berencana. Dulu program tersebut dianggap berhasil. Kini pelaksanaannya tak lagi semarak. Sebagian program dijalankan dengan bantuan tentara.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warisan Aparat Masuk Desa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susah Hati Setelah Otonomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Posyandu dan keluarga berencana sejak dulu menjadi andalan pemerintah untuk mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak. Sejak otonomi daerah diterapkan, kinerjanya melorot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara dari Masjid At-Taqwa memecah keheningan pagi di Dusun Pambusuang, Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, akhir April lalu. Melalui pengeras suara, seorang perempuan memberi pengumuman penting bagi para ibu. "Ibu-ibu yang punya anak bayi, hari ini adalah kegiatan menimbang dan imunisasi anak untuk Dusun Pambusuang. Harap anaknya dibawa ke Posyandu TPA Marendeng."

Tak lama, para ibu dan beberapa bapak membawa anak mereka ke halaman gedung Program Pendidikan Anak Usia Dini Kelompok Bermain Tim Pengelola Kegiatan Marendeng, lokasi pos pelayanan terpadu (posyandu). Mereka menunggu petugas mencatat, menimbang, lalu mengimunisasi anaknya. Bulan lalu, anak-anak tersebut mendapat imunisasi DPT-HB-Hib I.

Keramaian serupa terjadi di kelurahan tetangga, Tinambung. Nurmawati Karim, salah seorang kader Posyandu Tinambung, mengatakan saat ini kesadaran masyarakat sudah baik. "Dulu, kami harus ke rumah untuk mengajak. Sekarang cuma panggil dari masjid atau telepon, mereka sudah datang," kata Nurmawati.

Selain sosialisasi yang inovatif, pelayanan posyandu di beberapa tempat bertambah. Sebagian posyandu juga digunakan untuk melayani warga yang lebih senior melalui posyandu lansia, mendidik anak usia dini, dan membina keluarga anak balita.

Posyandu masih menjadi andalan pemerintah dalam menangani masalah kesehatan masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan meminta program yang bermula pada zaman Orde Baru ini dihidupkan lagi saat memberi pengarahan dalam Stunting Summit 2018, akhir Maret lalu. Menurut Kalla, posyandu adalah program bagus untuk mencegah stunting atau kekerdilan pada anak, yang menjadi perhatian serius pemerintah. Lewat program ini, pemerintah bisa memberi saran kepada para ibu agar anak mereka terhindar dari stunting. "Posyandu bisa memberi saran setiap minggu kepada ibu hamil atau yang punya balita untuk melakukan hal-hal penting," kata Kalla.

Menurut Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek, pemerintah akan merevitalisasi posyandu untuk menurunkan angka stunting. Revitalisasi itu, yang digarap lintas kementerian, rencananya dilakukan bersamaan dengan program padat karya tunai di desa-desa. "Tahun ini, 100 desa akan dicoba. Titik poinnya adalah posyandu," ucap Nila.

Sebelum posyandu ada, program-program kesehatan pemerintah masih dikerjakan terpisah. Sejak 1970-an, pemerintah antara lain melakukan imunisasi, penimbangan bayi dan anak balita, keluarga berencana (KB), serta perbaikan gizi masyarakat yang salah satunya melalui Taman Gizi. Namun hasilnya terasa belum maksimal. "Kami mulai berpikir, kenapa tak disatukan?" kata Widyastuti Wibisana, yang kala itu menjabat Kepala Subdirektorat Kesehatan Balita Departemen Kesehatan.

Departemen Kesehatan berkaca pada keberhasilan daerah Klampok, Jawa Tengah, mencegah malaria, yang masih mewabah, dengan melibatkan masyarakat. Pada saat yang sama, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mulai membuat kebijakan yang menyertakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesehatan.

Pada 1984, Departemen Kesehatan mulai berupaya menyatukan beberapa program yang berjalan sendiri-sendiri itu. Para ibu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ditarik menjadi kader. Kegiatan difokuskan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yang masih amat tinggi. "Angkanya sekitar 600 per 100 ribu wanita hamil. Waktu itu, datanya baru ada Bali dan biasanya kesehatan Bali lebih maju dibanding wilayah lain," ujar Widyastuti, yang ditugasi mengonsep posyandu. Mereka mengawalinya dengan menggandeng 18 ribu Taman Gizi yang sudah ada.

Dalam dua tahun, jumlah posyandu meningkat sampai 10 kali lipat setelah Soeharto memberi testimoni bahwa posyandu bermanfaat meningkatkan kesehatan masyarakat dalam peringatan Hari Kesehatan Nasional di Yogyakarta. Kebijakan sentralistis membuat kepala daerah patuh mendirikan posyandu.

Program peninggalan lain yang masih bertahan sampai kini adalah KB. Cikal-bakalnya adalah Perkumpulan Keluarga Berencana-kini menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)-yang dibentuk pada Desember 1957. Soeharto menjadikan KB program pemerintah setelah menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia pada 1966. "Isinya adalah kesadaran betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia," kata mantan Sekretaris Utama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso.

Sudibyo mengatakan angka kelahiran sangat tinggi waktu itu. Dengan populasi sekitar 125 juta jiwa, angka pertumbuhan penduduk mencapai 2,23 persen. Kalau hal itu tak dihentikan, dalam kurun 25-30 tahun, jumlahnya akan meningkat dua kali lipat.

Untuk mengerem laju pertumbuhan, pemerintah membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) pada 17 Oktober 1968 bekerja sama dengan pihak swasta. Pada periode Pembangunan Lima Tahun I (1969-1974), barulah dibentuk BKKBN. Dibuatlah kebijakan satu keluarga cukup dua anak untuk menggantikan bapak-ibunya. "Kalau satu anak, terlalu ekstrem. Dipilih dua, diharapkan lama-lama pertumbuhan penduduknya hanya menjadi 0,2 persen," ujarnya.

Tak gampang mengubah pola pikir masyarakat yang masih beranggapan harus punya banyak anak. Terlebih, kata Sudibyo, Presiden Sukarno sebelumnya mengatakan wilayah Indonesia masih luas dan memerlukan banyak penduduk untuk pembangunan.

BKKBN mesti menggunakan berbagai cara untuk mendekati masyarakat. Pada periode Pelita I, misalnya, BKKBN melakukan pendekatan kesehatan dengan menjelaskan pentingnya pengaturan kelahiran untuk mencegah kematian ibu dan anak, yang angkanya masih sangat tinggi. Mulai periode Pelita III (1979-1984), upaya makin masif. Para petugas langsung mendatangi rumah penduduk. Mereka juga menggandeng tentara.

Karena pendekatan yang gencar, laju pertumbuhan penduduk menurun drastis dari 2,23 persen menjadi 1,98 persen. Capaian ini membuat Soeharto mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1989. "Tapi cara ini kemudian dihentikan karena dianggap memaksakan," kata Sudibyo.

M. Idris Noer, salah seorang kader KB di Tinambung, masih mengalami era tentara itu. Ia memberi contoh, jika ada pemasangan spiral, tentara akan memfasilitasi. "Sekarang tidak ada lagi. Dulu KB betul-betul semarak di sini," ujarnya.

Kesemarakan KB meredup setelah lahir Undang-Undang Pemerintahan Daerah pada 2004. Program yang diserahkan kepada pemerintah daerah stagnan. Menurut Sudibyo, setelah aturan itu terbit, selama 10 tahun angka kelahiran bayi tak menurun. "Jika dirata-rata, ada 2,6 anak yang lahir dari tiap pasangan. Baru di 2017 turun menjadi 2,4," katanya.

Menurut Widyastuti, otonomi daerah juga berdampak pada posyandu. Pada 2013, misalnya, hanya 27 persen anak balita yang ditimbang. "Posyandu merosot," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus