Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Adipratnia Satwika Asmady berada di balik peluncuran satelit Satria-1.
Adipratnia ikut dalam mengawal desain dan perakitan satelit Satria-1.
Dunia antariksa menjadi pilihan karier Adiprtania Satwika Asmady.
SORE itu, angin pelan-pelan turun di Florida, menggetarkan dada Adipratnia Satwika Asmady. Kerisauan sepintas muncul ketika ia duduk menghadap layar komputer di ruang layanan kendali pendaratan di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Ahad, 18 Juni lalu. Adipratnia berada di ruangan yang menentukan Satelit Republik Indonesia-1 (Satria-1) mengangkasa menuju orbitnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saat itu sangat tegang, nervous. Saya sudah lumayan pasrah, tidak ada yang bisa kami lakukan. Satelit, roket sudah siap, tinggal on-track aja,” kata Adipratnia kepada Tempo di Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu, 22 Juli lalu. Debar di dada Nia—sapaan akrab Adipratnia—pun mereda setelah roket pengantar Satria-1 mengangkasa tepat pada pukul 18.21 waktu setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nia adalah perempuan satu-satunya yang dipercaya PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) yang bergerak di bidang telekomunikasi untuk menangani proyek pembuatan satelit Satria di Prancis hingga peluncurannya di Amerika Serikat. “Alhamdulillah, pembimbing (bagian) satelit itu sangat perhatian dan supported,” ujar Nia.
Keterlibatan perempuan yang lahir di Jakarta pada Agustus 1993 itu dalam proyek satelit tersebut bermula pada 2017. Saat itu Nia, yang baru kembali dari menimba ilmu teknik dirgantara (aerospace engineering) di Amerika Serikat, diterima bekerja di PSN. Nia mendapat tugas sebagai petugas pengelolaan program (program management officer) dalam proyek peresmian satelit Nusantara I di Amerika. Sewaktu Nia masuk, proyek itu baru mendapat pendanaan dan menuju proses manufaktur.
Pada Januari 2018, Nia terbang ke Negeri Abang Sam. Selama enam bulan dia tinggal di Palo Alto, California, untuk mengikuti pelatihan dan penyesuaian persiapan peluncuran satelit Nusantara I buatan Space System Loral. Satelit itu akan ditempatkan di posisi orbit 146 derajat Bujur Timur. Setelah enam bulan, dia kembali ke Indonesia. Saat satelit Nusantara I akan diluncurkan pada Februari 2019, ia kembali bertolak ke Amerika.
Selain memikul tugas mengelola program di satelit Nusantara I, dia dipercaya menjalankan tugas di bidang teknik atau engineering. Tugas itu lebih dekat dengan ilmu yang ia punyai. "Karena saya lulusan ilmu pesawat. Rule-nya di engineering,” tutur lulusan sarjana dan magister Aerospace Engineering California Polytechnic State University, Amerika Serikat, ini.
Nia lantas bercerita tentang ilmu yang ia pelajari di Amerika. Menurut dia, sangat penting mempelajari sistem engineering. “Sebab, itu bisa berguna di banyak bidang, termasuk bagaimana mendesain sistem transportasi publik atau sistem transportasi pribadi,” katanya.
Untuk sistem engineering, Nia menambahkan, berbagai sub-elemen digabungkan menjadi satu sistem yang memberikan manfaat lebih sesuai dengan keinginan pembuatnya, seperti sistem pendidikan. “Sistem yang teratur akan memberikan efek kepada guru dan siswa. Kita akan mendapatkan generasi yang bisa berpikir kritis dan maju,” ujarnya.
Engineer Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady di kantor PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Jakarta, 24 Juli 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Nia mencontohkan sistem di Amerika Serikat. Seusai Perang Dunia I dan II, negara yang kini dipimpin Joe Biden itu terus mereformasi sistem pendidikan. Buah perbaikan sistem itu membuat Amerika masih diperhitungkan hingga hari ini. "Dan saya rasa itu menjadi kontribusi mengapa Amerika bisa menjadi negara superpower."
Lulus program master pada 2016, Nia memilih tinggal di Amerika. Dia bekerja sebagai asisten peneliti dan menulis riset tentang sistem dirgantara bagi profesional. Dia juga nyambi menjadi karyawan Intrepid Sea, Air & Space Museum, New York, demi bertahan hidup. “Untuk bisa makan sehari-hari,” ucapnya.
Nia mengaku senang bekerja di museum itu karena masih searah dengan ilmu yang diemban di kampusnya. Tugas Nia di museum militer dan maritim itu menyambut pengunjung yang ingin merasakan sensasi menaiki wahana simulator. Wahana itu merupakan bekas pesawat Perang Dunia I dan II. "Saya di situ belajar banyak. Orang yang punya banyak mimpi mungkin akan seperti aku," kata putri kedua pasangan Asmady Parman dan Adiyatwidi Adiwoso ini mengenang kesehariannya selama sembilan bulan di museum itu.
Sebetulnya, tutur Nia, dia juga mengajukan lamaran kerja ke berbagai perusahaan lain. Di antaranya NASA Jet Propulsion Laboratory di La Cañada Flintridge dan SpaceX di Hawthorne, California. Setelah mereka mengetahui si pelamar adalah orang Indonesia, lamaran itu berhenti di tahap wawancara via telepon. NASA Jet Propulsion Laboratory adalah perusahaan riset di bidang dirgantara. Adapun SpaceX adalah perusahaan transportasi luar angkasa milik Elon Musk.
Nia mengatakan lamaran itu terganjal karena kedua perusahaan tersebut tidak menerima pekerja asing. Itu peraturan yang berlaku di setiap perusahaan yang, kata Nia, memproduksi peralatan semacam roket atau laboratorium penelitian teknologi dirgantara. "Karena roket itu teknologi militer dan sangat restricted," ujar putri mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol ini.
Namun, Nia melanjutkan, nasib kemudian membawanya pulang ke Jakarta. Pasifik Satelit Nusantara, perusahaan swasta pertama di Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi satelit, merangkul Nia. “Sampai hari ini passion saya di antariksa ini bisa dibilang natural," ucap Nia. "Saya rasa jalan ini sudah disiapkan Tuhan untuk saya.”
•••
PADA Juni 2022, Adipratnia terbang ke Prancis. Ia tinggal di sebuah loji bertingkat menghadap laut, Appart Hotel Mandelieu, 150 Allée de la Marine Royale Entrée D, Prancis. Nia menghabiskan waktu selama satu tahun untuk mengawal pembuatan desain dan perakitan Satria-1 hingga satelit itu mengorbit. Perusahaan yang menerima tender satelit itu bernama Thales Alenia Space di Cannes, Prancis.
Saat itu Nia ditunjuk sebagai customer launch director. Dia dan satu rekan sekantornya di Pasifik Satelit Nusantara alias PSN dikirim sebagai pengawas teknis. Keduanya bertugas mengikuti proses manufaktur isi satelit selama satu tahun di Thales. Selain itu, dia terlibat dalam grup di luar satelit, yaitu tim ruas bumi, yang membangun antena, gateway, dan sistem hub Internet Protocol. “Di sini juga ada tugas membantu proses integrasi sistemnya antara space segment dan ground segment,” kata Nia.
Sebagai customer launch director, Nia harus mengawal konstruksi satelit agar tidak molor dan sesuai dengan pesanan PSN baik dari sisi perangkat, kapasitas, kualitas, maupun biaya. Dengan begitu, koneksi Internet dari satelit mampu menjangkau semua wilayah di Indonesia. “Kita harus memastikan apa yang dibuat itu sesuai dengan spesifikasi atau tidak,” ujar Nia.
Adapun selama proses pembuatan satelit, Nia menerangkan, terdapat banyak perangkat yang melewati tahap pengujian baik di level unit, subsistem, maupun sistem satelit. “Kadang spesifikasinya tidak perfect,” tutur perempuan yang menyukai bidang pesawat nirawak ini. “Seperti meminta parameter di angka 10, setelah dites, parameternya di angka 9,5.”
Nia menuturkan, dalam pembuatan satelit, terjadi sejumlah insiden. Misalnya ada teknisi yang lupa membuka tempat tes suatu unit sehingga pada saat proses uji coba ada barang yang bergerak dan terjatuh. Ada pula perangkat yang semestinya menggunakan bracket A, tapi yang dipasang B. Selain itu, ketika stok pemasok A yang dibutuhkan habis, diganti dengan barang dari pemasok B. Imbasnya, Nia melanjutkan, komponen yang terpasang tidak sama persis.
Jika muncul perbedaan semacam itu, Nia dan pihak Thales kembali berdiskusi, apakah mereka menerima atau meminta ada perubahan lagi. Selain itu, Nia menambahkan, perakitan Satria-1 tak melulu dilakukan di Prancis. Ada beberapa perangkat yang dirakit di berbagai negara lain. Setelah perakitan rampung, komponen itu dikirim ke Prancis, pusat integrasi isi satelit.
Misalnya satellite management unit, perangkat yang memproses seluruh telemetri, dirakit di Italia; power conditioning unit, perangkat pengatur distribusi tenaga ke unit satelit, dikerjakan di Belgia; electrical thruster mechanism, sistem pendorong yang disatukan dengan platform satelit, dibuat di Inggris; dan travelling wave tube amplifier, unit penguat sinyal, dirancang di Jerman.
Setelah manufaktur di Thales beres, perangkat langsung dikirim ke Florida. Sebelum integrasi, perangkat satelit berbobot 4,5 ton yang diboyong dengan tanker Nordic dari Nice Port, Prancis, itu diperiksa dulu. Tujuannya adalah memastikan perangkat yang dibawa melintasi jalur laut ini tak cacat. “Biasanya pakai pesawat. Tapi pesawat yang biasa dipakai di manufaktur ada di Rusia dan Ukraina, jadi tidak tersedia sejak ada konflik,” ucap Nia.
Menurut perempuan yang tertarik di bidang teknik sejak kecil ini, pemasangan satelit ke alat peluncur memakan waktu tiga-empat pekan. Roket Falcon 9 buatan SpaceX akan mengantar satelit pertama yang mengadopsi bodi Spacebus Neo Level 6 itu menembus atmosfer bumi. Setelah itu, satelit dilepaskan dan menempati pusat orbit.
Peluncuran Satelit Satria., 18 Juni 2023. SpaceX
“Roket itu sekali pakai. Ketika sudah di angkasa, tidak bisa kita pegang, tidak dapat diperbaiki. Kita tahu satelitnya ada di luar angkasa hanya sebatas angka-angka yang dilihat di komputer,” tutur Nia. Pelancar sinyal berkapasitas transmisi 150 gigabit per detik itu digadang-gadang sebagai satelit terbesar di Asia dan terbesar kelima di dunia.
Sepuluh jam sebelum peluncuran, Nia hadir di pangkalan roket. Enam jam berikutnya, pada pukul 14.00, ia diminta masuk ke ruangan pusat kendali peluncuran. Tim Thales dan SpaceX pun sudah bersiap. Lantas muncul pertanyaan. “Bagaimana status satelit? Apakah siap meluncur?” kata Nia mengulang ucapan manajer program dari Thales dan SpaceX pada detik-detik peluncuran.
Ketika mendapat jawaban satelit masih dalam keadaan sehat, perintah peluncuran roket pun dikabarkan. “Dan itu beberapa kali checkpoint. Kurang-lebih 30 menit sebelum peluncuran,” ujarnya. Roket itu bertolak selepas pengisian bahan bakar. Pada Ahad, 18 Juni 2023, pukul 18.21 waktu setempat—atau Senin, 19 Juni, pukul 05.21 WIB—roket bertolak.
Menurut Nia, ada banyak prosedur keamanan yang harus dilalui secara bertahap sebelum memulai peluncuran. Mereka yang berada di ruangan itu betul-betul memastikan satelit siap atau tidak. “Kalau terjadi sesuatu, kita harus cepat-cepat menginformasikan ke sisi SpaceX, ‘Oke, ini ada masalah, mohon peluncuran ditahan',” katanya. “Namun semua proses itu berjalan lancar.”
•••
SATRIA-1 yang dibuat Thales Alenia Space merupakan proyek strategis nasional yang dilelang Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Satelit multifungsi pertama Indonesia itu akan memberikan akses Internet berkecepatan tinggi lewat 150 ribu titik layanan publik untuk daerah terpencil di Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Menurut Adipratnia, sasaran utama satelit telekomunikasi Satria-1 adalah menyediakan layanan Internet untuk daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T). Adapun keunggulan infrastruktur telekomunikasi satelit itu adalah mampu memberikan sinyal Internet lebih luas. “Terutama untuk fungsi pendidikan, kesehatan, dan kantor-kantor daerah,” tuturnya. “Satelit ini akan melayani Internet di instansi pemerintahan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha.”
Layanan satelit ini, Nia menjelaskan, bisa diakses dengan antena setinggi 1 meter dan Wi-Fi router—dipasang di sekolah, pusat kesehatan masyarakat, dan perkantoran. Dari situ, akses Internet bisa didapatkan. Nia menilai penggunaan satelit menjadi opsi tercepat di wilayah 3T. "Sebagai pembanding, bila kita connect dengan IndiHome atau provider lain di kota, mereka bisa menggunakan serat optik dan itu membutuhkan kabel fisik," ujarnya.
Tim Pasifik Satelit Nusantara dan Satelit Nusantara Tiga (PSN-SNT ) dari kiri J. Indri Prijatmodjo, Abdul Muhaimin, Adipratnia Asmady, dan Davi Evananda saat Deployment Solar Panel. Thales Alenia Space
Nia menambahkan, layanan akses Internet sangat dibutuhkan di wilayah 3T. Dalam hal pendidikan, sekolah yang menyelenggarakan ujian berbasis Internet tentu membutuhkan layanan tersebut. Di Indonesia, menurut Nia, masih banyak wilayah belum terhubung dengan Internet. Keterbatasan itu akan mengganggu sistem pendidikan. Dampaknya, sekolah tidak dapat menyelenggarakan ujian online.
Layanan Internet, Nia menambahkan, menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Kini orang-orang mulai bergantung pada Internet. Ketika Indonesia didera pandemi Covid-19, dia mencontohkan, industri pesawat tiba-tiba tumbang. Sebab, orang yang hendak bepergian dan berlibur dibatasi. Sedangkan industri telekomunikasi lebih banyak dibutuhkan.
Menurut Nia, infrastruktur telekomunikasi di sejumlah daerah yang belum terhubung dengan Internet seperti di kota menjadi perhatian pemerintah dan pihak swasta. Sinyal Internet yang dipantulkan dari Satria-1 akan menjangkau seluruh Indonesia. "Untuk kita, Internet lelet sedikit aja pasti sudah komplain," kata Nia. "Padahal masih banyak saudara kita di area 3T itu sama sekali belum punya opsi dan peluang akses Internet.”
Di langit Florida, roket Falcon 9 membawa Satria-1 menempati orbit geostasionernya di angkasa. Itu titik terakhir satelit dari jalur transfer menuju posisi orbit. Tugas Nia menjalankan misi perakitan hingga pengorbitan Satria-1 tuntas. “Alhamdulillah, waktu itu semuanya lancar dan hanya deg-degan. Itu momen yang cukup intens,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yosea Arga Pramudita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pengawal Satria hingga Mengangkasa"