Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Dokter Seribu Perkara

Bos Aivita Biomedical, Robert O. Dillman, diduga pernah melanggar sejumlah protokol penelitian di Amerika Serikat. Tak ubahnya praktik “cuci otak” ala Terawan Agus Putranto.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Robert O Dilman. aivitabiomedical.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Riset Terawan Agus Putranto dan Chief Medical Officer Aivita Biomedical Robert O. Dillman sama-sama pernah dipersoalkan.

  • Badan pengawas obat Amerika Serikat pada 2004 memperingatkan Robert Dillman atas sejumlah pelanggaran protokol penelitian.

  • Adapun metode terapi dendritik yang dikembangkan Dillman dan diteruskan Terawan di Indonesia belum memperoleh izin uji klinis di Amerika Serikat.

KARIER penggagas vaksin Nusantara, Terawan Agus Putranto, dan Chief Medical Officer Aivita Biomedical Inc Robert O. Dillman dihubungkan oleh benang merah: riset kedokteran yang bermasalah. Terawan pernah dijatuhi sanksi karena melanggar kode etik kedokteran terkait dengan metode intra-arterial heparin flushing alias “cuci otak”. Sementara itu, Robert Dillman pernah mendapat teguran dari otoritas di Amerika Serikat karena dinilai  menyalahi aturan dan protokol saat menjadi sponsor dan penyelidik klinis dalam beberapa penelitian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat peringatan dari Food and Drug Administration (FDA)—badan pengawas obat Amerika—itu dilayangkan ke alamat Dillman pada 14 Mei 2004. Dokter lulusan University of California tersebut dinilai melanggar regulasi federal dalam tiga kegiatan uji klinis. “Warkat ini diterbitkan karena FDA mencermati suatu hal yang serius ketika melakukan inspeksi,” demikian tertulis dalam surat setebal enam halaman yang diteken James S. Cohen dari Pusat Penelitian dan Evaluasi Biologi FDA itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam peringatannya, FDA menyatakan Robert Dillman pernah mengirimkan puluhan lot obat kepada dua penyelidik klinis yang tak terdaftar dalam program penelitian. Dia juga dituduh melakukan maladministrasi karena tak melengkapi data peneliti dalam dokumen yang diserahkan kepada FDA. Selain itu, sebagai penyelidik klinis, Dillman dianggap gagal melindungi hak dan keselamatan relawan serta tak mampu menjalankan protokol penelitian sesuai dengan rencana. Dia, misalnya, melibatkan 42 pasien tumor, padahal mengklaim hanya akan membatasi 40 orang dalam proposal.

Sayangnya, Robert Dillman tak membalas surat elektronik yang dikirimkan Tempo, hingga Sabtu, 24 April lalu. Wakil Presiden Aivita, Candace Hsieh, yang menjadi narahubung dalam riset sel dendritik untuk vaksin Covid-19, juga tak merespons permintaan konfirmasi. Kontributor Tempo di California, James Mills, yang mendatangi kantor pusat Aivita di Irvine, juga kembali dengan tangan hampa. Permintaannya untuk memperoleh kesempatan wawancara tak ditanggapi.

Seperti halnya yang dialami Robert Dillman, penelitian dan metode pengobatan Terawan juga bermasalah. Pada 2018, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesia, mencabut keanggotaan Terawan dari organisasi profesi itu selama 12 bulan. Dokter spesialis radiologi itu dianggap melanggar kode etik dalam praktik “cuci otak” yang dikerjakan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.

Majelis Kehormatan IDI memutuskan Terawan terbukti mengiklankan diri secara berlebihan, tak memenuhi panggilan sidang dari Majelis, menarik bayaran dari tindakan yang belum terbukti secara medis, dan menjanjikan kesembuhan bagi pasien. Semua itu merupakan pelanggaran etika kedokteran yang serius.

Bukan hanya itu. Disertasi Terawan tentang metode “cuci otak” juga janggal di sana-sini. Dalam laporan riset itu, letnan jenderal purnawirawan tersebut menyatakan cairan heparin yang digunakan dalam pengobatan berfungsi membilas sumbatan dalam pembuluh darah. Praktik itulah yang digunakan Terawan sebagai dasar praktik intra-arterial heparin flushing. Padahal artikel asli di jurnal yang dikutip dalam disertasinya menyebutkan fungsi heparin adalah melumasi kateter untuk mencegah pembekuan darah. Terawan juga diduga tak menyodorkan lembar persetujuan kepada pasien yang diklaim sebagai subyek penelitian pendahuluan pada 2011-2014.

Yang paling kontroversial adalah dugaan manipulasi sitasi dalam disertasi Terawan. Merujuk pada riset Jessica Lewis bertarikh 1964, bekas Menteri Kesehatan itu menulis heparin telah digunakan secara luas pada kelainan tromboembolis “pada manusia”. Padahal penelitian Lewis jelas dilakukan pada anjing, bukan manusia.

Saat diwawancarai Tempo pada 20 November 2019, Terawan membantah seluruh tudingan, termasuk pelanggaran metode “cuci otak” dan kejanggalan disertasi. “Kalau orang lain memandang berbeda, mosok aku ngeyel. Telan saja pendapatmu,” katanya waktu itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus