Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Wayang Janji Kawin

Gojek dan Tokopedia bersiap melebur, membentuk perusahaan baru sebagai induk kedua raksasa startup Indonesia. Terdesak investor yang telah lama menunggu keuntungan. 

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengemudi Gojek membuka aplikasi Tokopedia di saat istirahat di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gojek dan Tokopedia segera merampungkan merger yang sempat digagas dua setengah tahun lalu.

  • Aksi korporasi lanjutan setelah rencana IPO dan merger dengan Grab meredup.

  • Misi lain memperkuat layanan keuangan digital sebagai jalan keluar bagi investor untuk mendapatkan cuan.

RAPAT akbar sudah menjadi rutinitas di perusahaan besar yang sedang berkembang seperti Gojek. Tahun lalu, misalnya, ketika memutuskan berfokus menggarap bisnis inti dan meninggalkan layanan nontransportasi seperti GoLife—termasuk GoMassage dan GoClean—manajemen sampai menggelar 16 sesi pertemuan besar dengan para karyawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi dua rapat akbar pada 23 Maret dan 9 April lalu agak spesial. Digelar virtual, rapat menjelaskan rumor yang sedang panas: kabar perkawinan Gojek dengan Tokopedia. Pada 9 Maret lalu, dua raksasa startup Tanah Air itu—masing-masing dikembangkan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan PT Tokopedia—bahkan dilaporkan telah menandatangani perjanjian jual-beli bersyarat (CSPA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam town hall meeting terakhir, 9 April lalu, undangan datang agak mendadak. Para karyawan baru menerima undangan pada siang hari untuk mengikuti musyawarah beberapa jam kemudian. Digelar pada pukul 4 sore, rapat kelar setengah jam kemudian. “Jarang banget Gojek town hall meeting di hari Jumat,” kata seseorang yang mengetahui jalannya rapat tersebut.

Undangan mendadak itu rupanya berarti banyak. Dalam rapat akbar sebelumnya, 23 Maret lalu, manajemen masih berkukuh bahwa merger antara Gojek dan Tokopedia hanya rumor. Barulah dalam rapat besar 9 April manajemen mengakui sedang dalam tahap negosiasi merger dengan Tokopedia. Meski begitu, manajemen mewanti-wanti, belum ada keputusan yang mengikat. Manajemen berjanji karyawan akan menjadi pihak pertama yang tahu bila Gojek dan Tokopedia sah kawin.

Selain mengakui adanya negosiasi merger, pertemuan itu sedikit menjelaskan dampak penggabungan dua perusahaan tersebut terhadap Gojek. Struktur manajemen Gojek dari atas sampai bawah tidak akan berubah. Perkawinan keduanya hanya akan melahirkan satu perusahaan induk yang membawahkan Gojek dan Tokopedia.

Perusahaan induk ini akan bernama GoTo. “Biar nanti William Tanuwijaya, Kevin Aluwi, dan Andre Sulistyo yang memutuskan namanya apa,” ujar seorang investor di lingkaran Gojek yang mengetahui detail negosiasi tersebut.

William Tanuwijaya adalah salah satu pendiri sekaligus Chief Executive Officer Tokopedia. Adapun Kevin Aluwi dan Andre Sulistyo memimpin Gojek sebagai Co-CEO setelah ditinggalkan Nadiem Makarim, yang didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Oktober 2019.

Perkawinan Gojek dengan Tokopedia diperkirakan menghasilkan sebuah perusahaan jumbo. Nilai perusahaan Gojek saat ini ditaksir mencapai US$ 10,5 miliar, menjadikannya startup Indonesia pertama yang menyandang status decacorn—sebutan bagi perusahaan rintisan dengan valuasi lebih dari US$ 10 miliar. Adapun Tokopedia masih berstatus unicorn, dengan valuasi diperkirakan mencapai US$ 7,5 miliar.

Nilai gabungan keduanya diramal menyentuh US$ 35-40 miliar jika kelak jadi melantai di Bursa Efek Indonesia. Nilai pasar itu akan membuat GoTo menjadi perusahaan terbesar ketiga dalam hal kapitalisasi pasar, di bawah PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

•••

Kantor Tokopedia di Jakarta.

SEPERTI yang sudah-sudah, tak banyak yang bisa diharapkan dari manajemen perusahaan rintisan untuk menjelaskan setiap rencana aksi korporasinya. Begitu pula Gojek dan Tokopedia, yang belum dapat menjelaskan detail rencana merger yang kabarnya makin santer.

Dihubungi pada Jumat, 23 April lalu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengaku memahami ada banyak diskusi yang beredar mengenai isu merger. “Namun kami tidak dapat berkomentar saat ini,” tutur Nila. “Jika ada informasi yang dapat disampaikan terkait dengan aksi perusahaan, kami akan memberitahukannya sesegera mungkin.”

Namun, yang jelas, rencana peleburan Gojek dengan Tokopedia ini langsung meredupkan kabar yang sebelumnya berkembang sejak 2020: merger antara Gojek dan Grab. Rumor perkawinan dua pengembang super app ini muncul setelah sejumlah pemberitaan luar negeri mengungkapkan adanya dorongan dari Chief Executive Officer SoftBank Group Masayoshi Son agar co-founder Grab Holdings Inc, Anthony Tan, memulai diskusi merger dengan pesaing kuatnya tersebut. SoftBank merupakan pemegang saham terbesar Grab.

Keinginan Son ini, menurut seorang pengelola investasi kelas kakap di Indonesia yang berhubungan erat dengan bisnis Gojek, juga seirama dengan para pemegang saham di tingkat regional. Para pemegang saham Gojek itu, kata dia, percaya kombinasi keduanya akan menggabungkan banyak bisnis di Asia Tenggara. Dengan begitu, para pendana startup jumbo itu tak terus terimpit dalam investasi yang kelewat lama “membakar uang”.

Istilah “membakar uang” hanya gambaran dari pola pengembangan startup yang selama ini cenderung bergantung pada topangan modal para investor lewat putaran pendanaan negosiasi tertutup. Dana itu digunakan untuk berbagai pengembangan teknologi hingga perluasan pasar, termasuk memberikan diskon atau pengembalian dana (cashback) guna menarik pengguna aplikasi. Valuasi perusahaan memang terus meningkat. Tapi bisnis yang terus menggelembung itu tak pernah diketahui pasti kapan bakal menghasilkan keuntungan bagi para investor.  

Presiden SoftBank Masayoshi Son. AP/Kyodo News

Seseorang yang dekat dengan salah satu investor Gojek tersebut mengungkapkan, para pemegang saham semula menyetujui peleburan dengan Grab lantaran rencana perusahaan menjadi anggota bursa saham lewat penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) tak kunjung berjalan. “Padahal IPO ini salah satu jalan keluar investor untuk membuat investasinya balik,” ucap sumber Tempo yang enggan namanya disebutkan. 

Investor yang dekat dengan Gojek mengaku sempat ikut mendiskusikan peluang merger dengan Grab pada tahun lalu. Merger itu niatnya menciptakan demarkasi. Gojek bermain di Indonesia, sementara Grab menggarap pasar yang tersisa di Asia Tenggara. “Enggak mungkin kalau berantem terus lalu disuruh kawin. Mesti orang tuanya (pemegang saham) mendamaikan,” ujar sumber ini.

Menurut sumber tersebut, ide merger itu muncul karena keduanya mengalami kesulitan dalam pendanaan. Ditambah adanya pandemi Covid-19, banyak biaya yang harus dipotong. Merger itu diniatkan untuk mengkonsolidasikan bisnis sekaligus menghindari “cakar-cakaran” yang membuat keduanya makin berdarah. Tapi campur tangan para pemegang saham itu mentok. Manajemen Gojek dan Grab tetap tak bisa bersalaman. “Saingannya sudah sangat ketat. Enggak bisa.” 

Gagal bersekutu dengan Grab, Gojek membuka obrolan lagi dengan Tokopedia. Sumber yang sama, investor tersebut, mengungkapkan bahwa sebetulnya Gojek dan Tokopedia pernah membicarakan rencana merger sejak dua setengah tahun lalu.

Kala itu, Tokopedia belum menjadi salah satu pemegang saham dan rekan bisnis strategis OVO, startup layanan keuangan digital yang dikembangkan Lippo Group lewat PT Visionet Internasional. Grab juga mengantongi saham OVO. Berawal dari GrabPay, dompet digital OVO kemudian menjadi pesaing kuat GoPay, dompet digital milik Gojek.

Berbeda dengan rencana peleburan dengan Grab, diskusi Gojek-Tokopedia relatif lempang. Kedekatan yang sudah terjalin lama di antara pendiri kedua startup tersebut, yakni Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, Andre Sulistyo, dan William Tanuwijaya, memuluskan rencana tersebut. “Makanya ketika mereka mulai penjajakan merger lagi dan minta dukungan, para pemegang saham sangat mendukung,” tutur investor tersebut. “Ini akan menciptakan satu digital champion yang sama-sama punya pesaing kuat dari pemain luar negeri.” 

Selama ini Gojek bertempur dengan Grab. Sedangkan Tokopedia bersaing dengan Shopee, marketplace yang dimiliki SEA Group, konglomerasi digital asal Singapura.

Sejumlah pengemudi ojek online di depan Stasiun Palmerah, Jakarta. TEMPO/Muhammad Hidayat

PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) menjadi salah satu pemegang saham yang percaya akan masa depan cerah merger Gojek dengan Tokopedia. Anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk ini menggelontorkan utang konversi saham senilai US$ 150 juta atau setara dengan 1,5 persen saham di Gojek pada November 2020. Tahun ini, Telkomsel berpeluang menambahkan lagi US$ 300 juta pada kesepakatan harga tahun lalu.

Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro mengatakan Gojek dan Tokopedia memiliki jenis pengguna yang berbeda. Pengguna Gojek cenderung sering membuka aplikasi dengan durasi pendek. Sebaliknya, pengguna Tokopedia jarang membuka aplikasi, tapi menghabiskan waktu lama sekali menggunakannya. Kolaborasi keduanya dipercaya akan sangat bagus. “Secara bisnis juga sangat baik karena e-commerce akan butuh logistik dan ini pasti menguntungkan semua pihak,” kata Setyanto, Jumat, 16 April lalu. “Selaku pemegang saham, kami pasti setuju.”

Per November 2020, Gojek memiliki 20 juta mitra pengemudi dan 900 ribu mitra pedagang. Jumlah pengguna aplikasi aktif bulanan mereka di Asia Tenggara mencapai 38 juta. Adapun berdasarkan Peta E-Commerce Indonesia yang dikumpulkan Iprice Group, rata-rata pengunjung bulanan Tokopedia pada Juni 2020 mencapai 86,1 juta. Adapun jumlah pedagang yang berjualan di Tokopedia telah mencapai 9,9 juta per Desember 2020.

Jika rencana merger dengan Gojek berhasil, gabungan pengguna aktif keduanya bisa mencapai 124,1 juta—meski tetap ada kemungkinan pengguna unik ganda. Angka ini jauh mengungguli jumlah pengguna bulanan rata-rata Shopee yang mencapai 93,4 juta. Sebab, konsep merger keduanya akan menghasilkan kolaborasi. Tokopedia menawarkan layanan kepada pengguna Gojek dan sebaliknya.

•••

BESARNYA angka pengguna Gojek dan Tokopedia sebenarnya belum bisa menjadi jaminan bagi investor untuk segera menikmati keuntungan. Karena itu, seorang pejabat level menengah di lingkungan investor Gojek mengungkapkan, kolaborasi Gojek dengan Tokopedia merupakan bagian dari upaya menopang ekosistem layanan keuangan digital.

“Para investor makin sadar startup yang hanya bergantung pada kucuran pendanaan tak akan bertahan secara berkelanjutan,” ucap pejabat di perusahaan mitra strategis Gojek ini. “Tuntutan utamanya sekarang keuntungan, dan yang paling memungkinkan adalah dengan memperkuat layanan keuangan.”

Selama ini, Gojek dan Tokopedia memang tak henti menggelar putaran pendanaan tertutup di lingkaran investor strategis. Terakhir, Gojek melaporkan pendanaan dari Facebook dan PayPal pada 3 Juni 2020. Setelah itu, Telkomsel masuk membawa US$ 150 juta lewat convertible bond. Alam bisnis digital sudah terbiasa dengan kucuran dana jumbo dari para investor tanpa tahu kapan modal itu balik. 

Jagat bisnis digital baru agak sadar pada awal 2020. SoftBank Group, salah satu investor bisnis digital terbesar di dunia, menangguk kerugian pada tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2020. Agresif menggelontorkan dana ke perusahaan rintisan, termasuk Tokopedia, investor asal Jepang itu merugi sebesar 1,36 triliun yen (US$ 12,7 miliar) atau sekitar Rp 197 triliun, kerugian pertama dalam 15 tahun terakhir.

Penyebab utamanya adalah rontoknya investasi SoftBank di sejumlah perusahaan rintisan, terutama dari putaran pendanaan Vision Fund. Kala itu, tak kurang dari 7.300 karyawan di selusin startup milik SoftBank kehilangan pekerjaan. Salah satunya Uber, yang memotong 3.000 pekerja dan menutup 45 kantornya di beberapa negara.

Kenyataan bahwa perusahaan digital yang tak bisa lagi menyusu ke investor dan harus mencari jalan keluar lewat sektor keuangan ini tampaknya ditangkap oleh Patrick Sugito Walujo, komisaris dan salah satu pemegang saham Gojek. Pada akhir 2019, bersama bankir senior Jerry Ng, dia mengakuisisi PT Bank Artos Indonesia Tbk dan mengubahnya menjadi PT Bank Jago Tbk. Pada Desember 2020, Gojek juga menancapkan kukunya ke Bank Jago dengan memegang 22 persen saham bank digital itu lewat PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay).

Visi sebagai bank digital membuat Jago melesat, sekaligus menjadi harapan baru menangguk keuntungan yang diidam-idamkan para investor bisnis digital di lingkaran bank tersebut. Pada Maret 2020, kapitalisasi pasar Bank Jago baru Rp1,2 triliun. Per 1 April lalu, nilainya sudah mencapai Rp 137 triliun, masuk daftar 10 besar di Bursa Efek Indonesia. “Ini luar biasa, dan jadi harapan dari keuntungan,” ujar sumber Tempo tersebut.

Ilustrasi aplikasi Gojek dan Bank Jago. Tempo/Ratih Purnama

Menurut sumber ini, jika rencana merger Gojek dengan Tokopedia lancar, kanal Bank Jago untuk menarik dan mendistribusikan dana bakal makin luas. Singkat kata, Bank Jago bakal menjadi tulang punggung keuangan di platform sekaligus produsen cuan. Bank Jago, misalnya, akan menjadi kantong bagi GoPay sekaligus mitra pedagang dan pengemudi Gojek. Bank Jago juga bisa menjadi sumber kredit bagi 9,9 juta pedagang di Tokopedia.

Patrick Walujo belum mau berbicara tentang rencana aksi korporasi terbaru ini. Patrick juga pengendali Wealth Track Technology Limited, salah satu pemegang saham Bank Jago.

Sementara itu, sejumlah pemegang saham Gojek percaya diri kesepakatan merger tersebut bisa segera bersegel pada awal Mei 2021. Gojek dan Tokopedia sebetulnya telah bersalaman pada akhir Desember 2020. “Meleset-meleset dikit, lah,” tutur seorang investor yang menjadi sumber Tempo. “Sekarang tinggal minta tanda tangan para pemegang saham.”

Langkah setelah merger adalah melantai di bursa. Sempat mempertimbangkan rencana melantai di bursa Amerika Serikat, keduanya setuju bursa yang akan mereka tuju adalah Bursa Efek Indonesia. Untuk urusan ini, keduanya masih menunggu izin dari Otoritas Jasa Keuangan.

Izin itu diperlukan lantaran perusahaan berbasis teknologi ini menerapkan sistem vote share dan non-vote share. Maksudnya, pendiri perusahaan yang berada di manajemen memiliki hak suara kendati tinggal menggenggam saham minoritas. Sebaliknya, pemegang saham non-pendiri tidak memiliki hak suara dalam pengendalian perusahaan. “Apalagi pemegang saham Gojek dan Tokopedia ini banyak dan kecil-kecil,” kata sumber tersebut. Para investor itulah yang agaknya akan menjadi dalang, menentukan jalan Gojek dan Tokopedia ke depan. 

Khairul Anam, Agoeng Wijaya, Budi Setyarso
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus