Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Grab Holdings segera mencatatkan diri di bursa Nasdaq, Amerika Serikat.
Skema penawaran saham perdana dilakukan memutar lewat peleburan usaha.
Berambisi menjadi super app Asia Tenggara setelah kabar merger dengan Gojek tak terealisasi.
KELUARGA Rohmat nyaris tak pernah absen dari GrabFood. Apalagi saat Ramadan, hampir tiap hari mereka mendapat hidangan berbuka puasa dari layanan pesan antar makanan di aplikasi super tersebut. Seperti Jumat, 23 April lalu, Rohmat membeli empat porsi nasi liwet, juga pizza, untuk disantap bersama istri dan dua anaknya. "Ada potongan harga, lumayan," ujar Rohmat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskon pula yang membuat Ratih, karyawan perusahaan swasta di Jakarta Barat, setia pada platform ini. Ibu satu anak ini tak hanya biasa menggunakan GrabFood, tapi juga layanan GrabCar dan GrabBike, serta GrabExpress untuk pengiriman barang. “Banyak voucher diskon,” kata Ratih, Jumat, 23 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Layanan ride hailing Grab terus berkembang hingga menjangkau kebutuhan jual-beli makanan, pengiriman barang, sampai pembayaran digital. Pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia pada 2014, aplikasi asal Malaysia yang kini bermarkas di Singapura tersebut terus bersaing dengan pemain lokal, Gojek.
Pada medio Maret lalu, sebulan sebelum kabar rencana merger Gojek dan Tokopedia mencuat, Grab lebih dulu membikin gebrakan. Grab Holdings Inc mengumumkan rencananya menawarkan saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO) di bursa Nasdaq, Amerika Serikat.
Grab, dalam keterbukaan informasinya, mengungkapkan bahwa rencana IPO itu akan didahului penggabungan usaha dengan Altimeter Growth Corp, special purpose acquisition company yang telah terdaftar di bursa Nasdaq dengan kode AGC. Perusahaan baru hasil penggabungan akan diperdagangkan di Nasdaq dengan kode GRAB beberapa bulan mendatang.
Sesuai dengan transaksi yang diusulkan, Altimeter Growth dan Grab akan menjadi anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki perusahaan induk baru. Perusahaan gabungan tersebut diharapkan memiliki nilai ekuitas secara pro-forma sekitar US$ 39,6 miliar atau kurang-lebih Rp 600 triliun.
Nantinya, dalam IPO, perusahaan gabungan diharapkan menerima dana tunai sekitar US$ 4,5 miliar atau kurang-lebih Rp 65 triliun—penawaran saham perdana terbesar oleh perusahaan Asia Tenggara di bursa saham Amerika. Dana senilai lebih dari US$ 4 miliar merupakan penawaran dari private investment in public equity (PIPE) yang dinaikkan karena minat investor yang signifikan. Adapun Altimeter memberi komitmen hingga US$ 500 juta untuk investasi kontingensi.
PIPE adalah kumpulan dana yang dikelola Altimeter Capital Management. Di dalamnya terdapat sejumlah investor global, seperti BlackRock, Counterpoint Global (Morgan Stanley Investment Management), dan T. Rowe Price Associates, Inc. Ada juga perusahaan investasi Temasek asal Singapura dan Permodalan Nasional Berhad asal Malaysia. Sedangkan dari Tanah Air bergabung juga beberapa konglomerasi besar, seperti Grup Djarum, Grup Sinar Mas, dan keluarga Sariaatmadja.
Sebagai bentuk komitmen jangka panjang Altimeter untuk Grab, sponsor Altimeter yang mempromosikan saham akan “mengunci” investasi ini selama tiga tahun. “Kami selalu percaya pada kemitraan jangka panjang untuk mendorong dampak dalam skala besar,” tutur CEO dan salah satu pendiri Grab Group, Anthony Tan.
Aktifitas pelayanan pesan antar makanan Grab di kawasan Karet, Jakarta, Maret 2021./Tempo/Tony Hartawan
Pendanaan dari pasar modal itu—yang pertama kali pula bagi Grab—akan digunakan untuk memperkuat posisi Grab sebagai super app di kawasan. “Dana yang didapatkan akan digunakan untuk memperluas misi dan rencana kami di Asia Tenggara,” ucap Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menjawab pertanyaan Tempo, Kamis, 22 April lalu.
Pasar layanan online di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, memang masih menganga. Laporan terbaru e-Conomy SEA yang dipublikasikan pada November 2020 memperkirakan omzet ekonomi berbasis Internet di Asia Tenggara sepanjang tahun lalu mencapai US$ 100 miliar, naik 5 persen dibanding setahun sebelumnya. Angkanya diproyeksikan terus menggelembung dengan rata-rata pertumbuhan 24 persen dalam lima tahun mendatang sehingga diperkirakan mencapai US$ 309 miliar pada 2025.
Bertajuk "At full velocity: Resilient and Racing Ahead", hasil riset yang disokong Google, Temasek, dan Bain & Company tersebut juga menempatkan Indonesia sebagai pasar terbesar. Pada 2025, kue ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai US$ 124 miliar atau Rp 1.798 triliun dengan kurs saat ini.
Toh, banyak kalangan menilai aksi korporasi para pengembang super app juga didorong desakan kepada para pengembang startup untuk segera menghasilkan keuntungan. Tekanan ini sempat mengemuka ketika Softbank disebut-sebut ikut mendorong penggabungan Grab dan Gojek tahun lalu. Belakangan, rencana ini layu sebelum berkembang. Kedua entitas menyusun rencana baru yang berbeda.
Gojek memilih memperbesar diri dengan menggandeng Tokopedia. Adapun Grab memutuskan “terbang” ke Nasdaq. Grab belum berminat berpasangan dengan e-commerce. “Sektor tersebut bukanlah ranah kami untuk bersaing,” kata Neneng.
Menurut dia, perusahaannya justru akan memanfaatkan pertumbuhan e-commerce, yakni dengan meningkatkan layanan pengantaran dan pembayaran. Grab melihat peluang memperluas lini bisnis pengantaran makanan, bahan kebutuhan harian, dan paket lain. Beberapa bulan ke depan, Grab akan meluncurkan layanan GrabMart dan GrabAssistant di lebih banyak kota. “Jaringan yang luas membuat kami mampu melakukan pengiriman point-to-point dengan sangat efisien,” ujar Neneng.
Dengan begitu, lebih banyak usaha mikro, kecil, dan menengah yang bisa memanfaatkan platform dan jaringan logistik Grab. “Pada layanan GrabExpress, kami memperkenalkan fitur-fitur baru yang akan membuat pengantaran jarak jauh lebih mudah diakses,” ucap Neneng.
Neneng mengatakan penetrasi online di Asia Tenggara tergolong masih rendah sehingga ada peluang mengembangkannya. Ia mencontohkan, layanan on-demand mobility di kawasan ini hanya seperlima dari Cina. Begitu pula penetrasi online untuk layanan pengantaran makanan, yang hanya setengah dari Cina.
Tapi Grab tetap yakin terhadap perekonomian Asia Tenggara yang dinilai paling menarik dan cepat berkembang di dunia, meski perlu dorongan untuk menuju transformasi digital. “Saat masyarakat Asia Tenggara terus mengandalkan layanan online untuk memenuhi kebutuhan harian, kami menjawab dengan cara yang sesuai dengan budaya lokal dan mudah diakses,” tutur Neneng.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo