Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Yayasan Kanker Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta menyediakan rumah singgah bagi pasien kanker dengan biaya sewa yang sangat terjangkau.
Rumah Harapan Indonesia menyediakan rumah singgah dan beragam kebutuhan anak yang sakit kanker serta pendampingnya secara gratis.
Penderita kanker dan keluarganya sangat terbantu atas kehadiran rumah singgah.
LESTARI baru selesai sarapan sayur bihun berlauk tempe di kamarnya di Rumah Singgah Pasien Kanker Sasana Marsudi Husada, Jumat lalu. Perempuan berusia 54 tahun itu memiliki waktu luang karena tak ada jadwal ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyintas kanker payudara dari Gunungkidul tersebut biasanya berangkat untuk kontrol sejak pukul 06.30 dan baru selesai pukul 15.00. “Karena sebelum periksa harus cek di laboratorium dulu,” tuturnya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah dua bulan terakhir Lestari tinggal di rumah singgah yang berlokasi di Jalan Sendowo G Nomor 1B, Mlati, Sleman, tersebut. Dia cukup berjalan kaki 30 menit dari griya itu menuju RSUP Sardjito. Sedangkan jika ia berangkat dari rumahnya di Gunungkidul, biaya sewa mobil bisa mencapai Rp 600 ribu.
Lestari sakit kanker payudara stadium IV sejak 2017. Sebelumnya, Lestari sempat berobat di Jakarta karena dia bersama suami dan anaknya berdomisili di sana. Sejak akhir 2020, dia pulang ke Gunungkidul dan wira-wiri ke RSUP Sardjito untuk menjalani pengobatan. Namun ia bisa bernapas lega sejak mengetahui adanya Rumah Singgah Sasana Marsudi Husada.
Rumah Singgah Pasien Kanker Sasana Marsudi Husada I (kelas ekonomis) di Yogyakarta, 4 Februari 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Lestari cukup menyewa kamar seharga Rp 20 ribu per hari untuk tinggal di griya singgah yang dikelola oleh Yayasan Kanker Indonesia (YKI) DIY itu. Fasilitas kamarnya, antara lain, adalah dua tempat tidur, meja, dan kipas angin. Dia dan anak semata wayangnya, Linda, juga bisa menggunakan dapur dengan segala perlengkapannya. Bahkan pengelola tempat bernaung tersebut pun menyediakan kebutuhan pokok, seperti minyak goreng dan beras, yang bisa digunakan oleh para penghuni.
Rumah singgah bagi penyintas dan pejuang kanker itu juga dilengkapi dengan ruang salat dan taman. Yayasan Kanker juga menyediakan bergulung-gulung benang wol dan bahan kerajinan tangan lain di dalam kotak untuk mengusir kejenuhan penghuninya. “Biasanya, habis salat subuh, saya jalan-jalan di taman,” tutur Lestari.
Pagi itu, rumah singgah tampak hening. Dari 13 kamar yang tersedia, hanya lima kamar yang dihuni. Griya singgah yang berdiri pada 2004 itu dikenal dengan sebutan Rumah Singgah Husada (RSH) I. Bangunan tersebut menyatu dengan kantor YKI DIY yang dipimpin oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rumah Singgah Husada I memiliki tujuh kamar yang bertarif Rp 20 ribu, Rp 15 ribu, dan Rp 7.500 per hari. Beda tarif sewa, beda fasilitas yang diberikan. Misalnya, untuk kamar seharga Rp 7.500, bentuknya seperti bangsal yang terdiri atas empat tidur dan bertirai untuk memisahkan satu ranjang dengan tempat tidur lainnya.
Sementara itu, RSH II baru diresmikan pada 2020. Rumah singgah itu memiliki 15 kamar, dengan satu kamar hanya dihuni oleh seorang pasien kanker. Tarif sewanya terbagi menjadi dua, yaitu Rp 150 ribu dan Rp 50 ribu per hari. Kamar dengan biaya sewa Rp 50 ribu dilengkapi dengan fasilitas seperti kipas angin dan meja kecil sekaligus lemari. Sedangkan kamar seharga Rp 150 ribu dilengkapi dengan penyejuk ruangan atau AC.
Pengurus Yayasan Kanker Indonesia cabang Daerah Istimewa Yogyakarta mengikuti peringatan Hari Kanker Sedunia di RSUP Sardjito Yogyakarta, 4 Februari 2022. Dok. YKI DIY
Ketua Bidang Organisasi YKI Daerah Istimewa Yogyakarta, Sunarsih Sutaryo, menjelaskan, ide pendirian griya singgah tersebut sejalan dengan misi Yayasan Kanker, yakni meningkatkan kepedulian masyarakat dalam penanggulangan penyakit itu melalui penyediaan layanan promotif, preventif, dan suportif. “Rumah singgah ini bentuk layanan suportif,” katanya.
Yayasan Kanker menyewa tanah Keraton Yogyakarta untuk mendirikan dua rumah singgah tersebut. Griya itu dibangun karena banyaknya orang sakit kanker yang berasal dari daerah seperti Jawa Tengah bagian selatan, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Selter itu kian diperlukan karena waktu pengobatan pasien kanker cukup panjang dan berulang kali.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pun hanya menanggung biaya pengobatan pasien. Adapun biaya kebutuhan lain, seperti transportasi, tidak ditanggung oleh asuransi itu. “Kalau biaya wira-wiri kan tidak ditanggung,” kata Ketua Bidang Umum YKI DIY, Tuti Indarsih Loekman Soetrisno.
Sunarsih menjelaskan, YKI DIY akan membantu kepengurusan BPJS Kesehatan jika calon penghuni rumah singgah itu belum mendapat asuransi. Penghuni griya tersebut juga hanya boleh ditemani seorang pendamping karena Yayasan Kanker tidak menyediakan perawat.
Anak penyintas kanker mengikuti kegiatan Rumah Harapan Indonesia. Dok. Rumah Harapan Indonesia
Rumah singgah bagi pasien kanker juga disediakan oleh Valencia Mieke Randah di Jakarta. Perempuan yang akrab disapa Silly itu mendirikan Rumah Harapan Indonesia pada 2014. Ia sedih melihat anggota keluarga yang mendampingi anak sakit tidur di selasar rumah sakit. Apalagi mereka datang dari berbagai daerah.
“Untuk biaya transportasi ke Jakarta saja kadang mereka harus menjual hartanya, seperti sawah dan kendaraan,” tutur pendiri #BloodForLife itu. Para pendamping juga harus mengeluarkan biaya lain selama menemani anak sakit, seperti makan dan minum. Ia kemudian mengirimkan proposal ke berbagai perusahaan demi merealisasi ide itu. Namun saat itu belum ada perusahaan yang tertarik menjadi donatur.
Saat Silly diwawancarai sebuah media, ia kembali menyampaikan keinginannya untuk mendirikan rumah singgah. Tak dinyana, salah satu karyawan media itu memiliki rumah kosong dengan sembilan kamar di Tebet, Jakarta Selatan. Biaya sewanya Rp 100 juta per tahun. Pemilik rumah mengizinkannya membayar sewa secara dicicil.
Penghuni pertama Rumah Harapan Indonesia ialah seorang anak yang sakit kanker tulang. Kondisi kesehatan bocah tersebut sudah memburuk karena dari ujung kaki hingga bagian bawah perutnya sudah mati rasa, membusuk, dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Dokter pun menyatakan kondisi anak perempuan itu sudah paliatif.
Pendiri Rumah Harapan Indonesia Valencia Mieke Randa. Dok. Rumah Harapan Indonesia
Silly dan relawan Rumah Harapan Indonesia berupaya mengabulkan permintaan terakhir anak tersebut, yakni bertemu dengan Tyson Lynch, suami dari artis Melaney Ricardo. Anak itu gembira sekali saat bertemu dengan Tyson. Bahkan sang anak kerap menceritakan kepada penghuni rumah singgah lainnya bahwa ia sudah bertemu dengan idolanya itu.
Delapan bulan setelah pertemuan tersebut, sel kanker di tubuh anak tersebut mati. Anak itu juga mau diamputasi bagian kakinya agar kondisinya menjadi lebih baik. “Dari situ, kami berpikir, hati gembira ternyata obat yang paling mujarab,” kata Silly.
Anak yang tinggal di sana boleh ditemani oleh satu atau dua pendamping. Rumah Harapan Indonesia menyediakan beberapa fasilitas, antara lain makan tiga kali sehari, transportasi dari rumah singgah ke rumah sakit, perlengkapan mandi, dan obat-obatan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Bahkan, seandainya seorang anak yang tinggal di sana meninggal, Rumah Harapan akan membiayai pemulangan jenazahnya. “Jadi mereka yang tinggal di sana tidak keluar uang sedikit pun.”
Kini, selain di Jakarta, Silly mengelola Rumah Harapan Indonesia di Bandung, Semarang, Bali, dan Makassar. Di setiap kota itu, terdapat satu rumah singgah. Hingga Rabu lalu, terdapat 45 anak sakit dari keluarga tidak mampu tinggal sementara di sana. Hampir 60 persen penghuni selter itu merupakan bocah yang sakit kanker.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA) | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo