Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu set ditata simbolis. Yang lain ditata realis. Satu adegan didominasi ilustrasi tari dan gerak. Yang lain disajikan bak peristiwa sesungguhnya. Satu suara soprano melengking naik-turun. Yang lain kadang terdengar melodius. Itulah dua pertunjukan opera pada pertengahan Desember tahun lalu.
Yang satu adalah Gandari, opera tari karya Tony Prabowo. Yang lain adalah Clara, karya Ananda Sukarlan. Dua opera itu menggelar pentas pada hari yang sama, 13 Desember, di kawasan yang sama: Taman Ismail Marzuki. Tony mengambil tempat di Teater Besar Jakarta, sementara Ananda di Graha Bhakti Budaya.
Dua pertunjukan itu memperkaya kesenian kita pada 2014. Dua corak pendekatan opera yang berbeda bahkan kontras. Tony secara musikal cenderung mengeksplorasi wilayah atonal, sementara Ananda masih sangat mempertimbangkan unsur harmoni dan nada-nada tonal yang menggugah. Estetika pementasan Tony disuguhkan secara metaforik. Sedangkan pesan pertunjukan Ananda langsung disuguhkan tanpa tedeng aling-aling. Betapapun demikian, ada benang merah di antara keduanya. Sesungguhnya mereka berbicara tentang tragedi politik pada masa Orde Baru.
Gandari, bagi Tony, adalah sebuah lambang kepedihan seorang ibu. Adapun Gandari adalah ibu para Kurawa yang menutup mata tatkala kehilangan seratus putranya. Pada akhir pentas, Tony memunculkan Maria Catarina Sumarsih. Dia adalah ibu Wawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas tertembak tentara dalam peristiwa Semanggi 1998. Di panggung, ia menceritakan kematian putranya. Sedangkan opera Ananda secara blakblakan menampilkan adegan pemerkosaan perempuan Cina di sekitar kerusuhan Mei 1998. Ia bertolak dari cerita pendek Seno Gumira Ajidarma dan data baru pemerkosaan Mei yang ditemukan Komisi Nasional Perempuan. Beberapa penonton sampai berkaca-kaca.
Seperti tahun-tahun lalu, tiap awal tahun baru kami berusaha melihat ulang pencapaian karya seni dan sastra tahun sebelumnya. Dengan bantuan para pengamat, kami memilih seni pertunjukan, sastra (prosa dan puisi), seni rupa, dan album musik yang terbaik. Tentu sulit untuk memilih, kami menyadarinya.
Selain dua karya di atas, karya apik di dunia seni pertunjukan, misalnya, karya Eko Supriyanto dalam Indonesia Dance Festival berjudul Cry Jailolo. Ia membawa anak-anak Jailolo ke panggung tari kontemporer. Ia memanfaatkan tubuh liat anak-anak laut itu. Selama satu jam tak henti-hentinya, Eko menampilkan sebuah koreografi yang membuat tubuh anak-anak itu bergerak ritmis menimbulkan birama konstan "Jig, duk, jig. Jig, duk, jig." Setiap gerakan mereka bertenaga. Jika melempar kepal atau memekarkan lengan, mereka menggunakan seluruh otot. Begitu juga ketika menyerukan pekik berbahasa Maluku, "Marimoi ngone futuru! Ino ngone fo makati nyinga! (Bersatu kita kuat! Mari kita bersatu hati!)", itu diteriakkan hingga jakun di ujung leher. Keberhasilan Eko adalah mampu membawa tubuh orang biasa ke pentas kontemporer.
Lalu ada Sisyphus, karya Melati Suryodarmo. Performer yang tinggal antara Solo dan Braunschweig, Jerman, ini bereksperimen dengan tubuh penarinya. Dalam pertunjukannya, para penari secara bergiliran menggelepar-gelepar bagai orang yang "kosong" tubuhnya, kehilangan seluruh organ. Para penari Melati sebelumnya memang berlatih untuk mengosongkan diri dan membiarkan diisi sesuatu yang "lain". Dalam latihan, Melati melibatkan kiai-kiai yang punya keahlian memanggil arwah dan memasukkannya ke tubuh para penarinya. Panggung adalah reka ulang latihan itu.
Melati tertarik pada konsep Body without Organs (Tubuh tanpa Organ) yang dikemukakan seniman Prancis, Antonin Artaud, dan dikembangkan dalam tataran pemikiran oleh filsuf Gilles Deleuze. Gagasan itu mempertanyakan relasi tubuh masa kini dengan memori masa lampau yang melekat pada tubuh. Melati mengkontekstualkan gagasan itu dengan pendekatan yang bertolak dari tubuh kesurupan.
Dari Solo juga tercatat pentas penting komponis Aloysius Suwardi dalam Bukan Musik Biasa #43" di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Komponis ini jarang menggelar pentas. Al—demikian Aloysius Suwardi biasa disapa—adalah komponis karawitan yang suntuk bergelut menciptakan "instrumen gamelan" modifikasi sendiri. Ia dikenal suka beresonansi, vibrasi, dengung, dan gaung. Malam itu Al menyuguhkan karya Planet Harmonik. Ini sebuah komposisi lamanya yang idenya didapat dari membaca buku berisi pemikiran Pythagoras tentang alam semesta.
Pythagoras menyebutkan perputaran planet di alam semesta menimbulkan suara harmonis. Suara planet yang selalu bergerak itu tak pernah terdengar telinga manusia. Al tertarik membuat komposisi mengenai suara harmonis yang tak terdengar itu. Dalam pertunjukannya, kita melihat berbagai instrumen aneh buatannya, seperti gender vibrafon dan gamelan genta. Ia juga mengusung bilah-bilah kawat baja berjajar yang dipasang berkelompok, ditempelkan pada bidang-bidang papan. Tinggi-pendek kawat itu disusun berdasarkan getar Pythagoras. Tak dinyana, saat kawat itu bersama-sama diketuk, timbul bunyi luar biasa seperti gemuruh orgel tua.
Dari sekian itu, setelah melalui serangkaian diskusi, kami akhirnya memutuskan pentas opera Ananda Sukarlan berjudul Clara sebagai pentas pilihan Tempo tahun 2014. Alasan utama, pentas ini mampu memberi efek musikal dan dramatik panggung yang membekas. Opera Ananda sederhana, dengan hanya beberapa musikus, tapi mengejutkan. Penonton langsung bisa memahami dan merasakan pesannya. Dalam perjalanan musikal Ananda Sukarlan sendiri, karyanya ini adalah sebuah lompatan. Tiba-tiba ia masuk ke ranah politik. Dan tak dinyana menghasilkan sesuatu yang tajam, menyengat.
Akan halnya dunia sastra 2014 ditandai dengan munculnya beberapa novelis dan penyair muda yang berani bereksperimen secara bentuk. Umur mereka 20-an. Mereka memperlihatkan pengolahan estetik yang lumayan. Mereka datang dari komunitas-komunitas sastra di daerah.
Untuk pemilihan sastra, kami mengundang penyair Sapardi Djoko Damono dan Zen Hae. Kami membaca novel seperti Cerita Buat Para Kekasih karya Agus Noor, Gelombang karya Dewi Lestari, Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan, Surga Sungsang karya Triyanto Tiwikromo, Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu, dan Bandar karya Zaky Yamani. Untuk kumpulan puisi: Mencari Kubur Baridin karya Riki Dhamparan Putra, Pelesir Mimpi karya Adimas Immanuel, Piknik yang Menyenangkan karya Hasta Indriyana, Angin Terisak Membelah Batu karya Zamawi Imron, One by One, Line by Line karya Rusli Marzuki Saria, dan sebagainya.
Sampai pertengahan Desember ternyata masih ada saja novel baru yang terbit. Pada pertengahan Desember, misalnya, muncul novel berjudul Tarian Kabut karya seorang perempuan muda bernama Gayatri Wiji Muthari. Novel tebal ini mengolah kisah dunia darwis. Pengetahuan sang penulis mengenai berbagai aliran sufi tampak luas. Cara penceritaannya berupa fragmen. Sayang, antarfragmen fokus penceritaan tak terjaga dan tak ada ikatan yang membuat strukturnya kukuh dan koheren.
Untuk prosa, pilihan kami akhirnya mengerucut pada karya seorang sastrawan muda asal Solo bernama Rio Johan. Rio menulis kumpulan cerpen Aksara Amananunna. Semua cerpennya berlatar dunia antah berantah. Cara penceritaannya mengalir dan bangunan fiksionalnya detail membuat kita tak terantuk-antuk saat membaca bagian per bagian. Aksara Amananunna sendiri adalah judul sebuah ceritanya. Idenya berangkat dari mitologi Menara Babel, di mana Tuhan menyerakkan bahasa. Cerpen ini diawali dengan kalimat demikian: Berbulan-bulan setelah Tuhan mengacaukan bahasa, Amananunna belum pula menemukan bahasanya. Pemuda yatim piatu itu bagai punya kutuk dalam garis kismatnya....
Selanjutnya Rio mengisahkan bagaimana Amananunna bertahan di Tanah Babel. Tapi, di Kota Babel, ia tetap tak mengerti berbagai bahasa yang diucapkan orang yang ditemuinya. Akhirnya ia berkelana naik-turun gurun mencari bahasa yang sesuai dengan lidah dan telinganya. Imajinasi Rio berani. Betapapun demikian, terasa ia tak terbebani riset teologi atau apa pun tentang Menara Babel. Dengan enteng ia bercerita seolah-olah berbekal fantasinya saja. Cerpennya selamat dari referensi yang berlebihan. "Salah satu kekuatan cerpen-cerpen Rio adalah kita tahu kita dikelabui, tapi kita terus saja asyik membaca," kata seorang juri.
Untuk puisi, pada akhirnya kami mendiskusikan tiga kumpulan puisi: Rusa Berbulu Merah karya Ahda Imran, Perawi tanpa Rumah karya Ahmad Yulden Erwin, dan Ekaristi karya Mario F. Lawi. Terjadi perdebatan alot. Sajak-sajak Ahda dianggap tenang dan dalam. Tapi kadang metafornya kurang membawa ke titik puitik yang hendak dibangunnya. Dalam larik sajaknya berjudul "Sajak Tan Malaka di Jakarta, 1945 Merah", misalnya, ada larik Kucintai mereka yang berdarah, karena aku Rusa berbulu merah. "Merah kita tahu metafor bagi kiri. Sementara rusa, mengapa memilih rusa?"kata seorang peserta diskusi.
Akan halnya sajak-sajak Erwin, terasa sekali inteletualitasnya. Erwin bergulat dari tema-tema Buddha, mistik Melayu, sampai sejarah kolonial. Diksinya mampu membangkitkan imajinasi. Tengoklah sajak "Gramofon Hindia 2012".
Sepotong awan krem perlahan melayang dalam cahaya lembut matahari senja, angin sebentar singgah menyapa ruang tamu. Kau pun teringat satu musim dingin paling kejam di Moskow menggigil dalam selarik sajak Brodsky; warna-warna muram
menghantui sepanjang tahun pelariannya; di sana kebebasan di tumpuk bersama pakaian kotor, dasi merah tak lagi terpakai, selesai dalam mesin cuci di ruang kusam satu apartemen kecil di Amsterdam. Di sini senja bulan April....
Namun tidak semua sajaknya melayangkan impresi suasana demikian. Ia banyak menyertakan sajaknya model haiku (sajak alit) Jepang. Juga sajak-sajak permainan suku kata yang mengingatkan pada Sutardji Calzoum Bachri, yang kadarnya di bawah sajak-sajaknya seperti "Gramofon Hindia" di atas. "Buku ini kurang diedit. Bila saja ia tak memasukkan haiku atau permainan suku kata itu, tentu kumpulan puisinya lebih solid," kata seorang juri.
Ekaristi karya Mario F. Lawi akhirnya dengan segala kelemahannya kami pilih sebagai kumpulan puisi terbaik. Mario bergulat dengan parabel Katolik. Penyair ini muncul dari "dunia batin iman Katolik", tapi tak terjebak dalam sebuah khotbah klise. Sajak-sajaknya bukan sebuah ibadah, melainkan sebuah pencarian, kegelisahan dalam ruang-ruang interiorisasi.
Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru
yang harum, sepotong kelapa, serta adonan perih dan pinang dari
mulutnya. "Tanda ini, Cucuku, adalah awal keabadian. Salibku
merah seperti mimisan ibu. Harum seperti kencing pertama bayi....
Ini bagian awal dari syairnya berjudul "Gela". "Satu lagi yang menarik: unsur bunyi dalam sajaknya begitu kuat. Sulit ditiru," kata seorang juri.
Untuk seni rupa dan seni pertunjukan, kami mengundang kritikus seni Bambang Bujono. Beberapa pameran seni rupa yang kuat kami bahas, di antaranya pameran Harris Purnomo, pameran Agung Prabowo, pameran Aditya Novali, pameran Sri Maryanto, dan pameran Asmudjo Irianto.
Bambang Bujono dan kami segera tertarik pada sebuah seni rupa ekologis berjudul Domus Sepiae karya Teguh Ostenrik. Ini adalah karya yang lain daripada yang lain. Teguh prihatin atas rusaknya terumbu karang di Lombok. Ia kemudian membuat karya instalasi di laut. Instalasi itu nantinya bisa menjadi rumah bagi terumbu karang dan segala hewan di laut.
Sekitar 100 meter dari bibir Pantai Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Teguh membenamkan instalasinya, berukuran 6 x 10 meter, membentuk figur ubur-ubur raksasa, terbuat dari ratusan potongan besi rongsokan. Domus Sepiae berarti rumah cumi-cumi. Butuh waktu 18 jam memindahkan ubur-ubur raksasa itu dari darat ke laut. Selama dua hari, puluhan relawan turun tangan mengangkat bagian demi bagian dari ubur-ubur seberat 3,2 ton itu. Delapan penyelam kemudian siap mengangkat potongan karya, membawanya beramai-ramai ke tengah laut.
Di dalam laut, para penyelam kemudian bekerja merangkai potongan sehingga menjadi satu. Setiap sendi disekrup. Seterusnya koral-koral mati diikatkan di sekujur instalasi.
Di dunia industri musik, kami mendatangkan dua pengamat dan periset musik David Tarigan dan Denny Sakrie. Sembari mengudap aneka camilan, kami mendengarkan puluhan album. Lalu setiap album kami bahas. Awalnya kami menyeleksi sekitar 100 album musikus Indonesia. Kami kemudian menyaringnya menjadi 10 album. Dari 10 album itu, kami memilih satu album untuk dinobatkan sebagai album terbaik Tempo 2014.
Setelah melalui tukar argumentasi yang panjang, pilihan kami mengerucut pada tiga album: Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013 (Semakbelukar), Realitas Khayal (Aksan Sjuman and the Committee of the Fest), dan Musik Pop (Maliq & d'essentials). Cukup sulit menentukan karena ketiganya sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan. Akhirnya kami memilih Terlahir & Terasingkan dari Semakbelukar. Semakbelukar adalah grup Melayu eksperimental yang beranggotakan para veteran skena underground Palembang.
Grup ini diprakarsai oleh David Hersya, 30 tahun (vokal dan mandolin). Dialah yang membuat semua lirik dan lagu, kemudian mengajak kawan-kawannya yang sebagian berasal dari komunitas punk bermusik bersama. Mereka adalah Ariansyah Long (gendang Melayu), Ricky Zulman, 37 tahun (akordeon), dan Mahesa Agung, 33 tahun (minigong dan tamborin). Mereka bermusik dengan instrumen tradisional. Ini menarik. Sebab, mereka yang lahir dan besar di skena underground yang mengusung musik punk itu kemudian memilih kembali ke budaya lokal.
"Kendati bermain di ranah tradisional, Semakbelukar tetap membuat karya dengan sensibilitas kekinian. Mereka paham betul apa yang mereka bikin," kata pengamat musik David Tarigan. Musik yang mereka sajikan, menurut David, merupakan indie-folk yang berakar pada musik tradisional Melayu. Terkadang, pada beberapa momen, dapat menjadi musik folk Melayu dengan sensibilitas punk. "Semakbelukar memberikan nilai dan persepsi baru terhadap musik Melayu yang semakin ke sini citra populernya identik dengan selera buruk dan lagu cengeng," ujar David.
Hal senada disampaikan Denny Sakrie. Menurut Denny, Semakbelukar berhasil mengangkat tradisi Melayu ke dalam konteks kekinian. Mereka mampu meracik perilaku gugat yang kerap terdapat dalam esensi musik punk ke musik Melayu. Sesungguhnya, pada 2014, kelompok ini vakum dan menyatakan diri bubar. Tapi albumnya, Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013, muncul pada 2014. Itu sebuah album yang berisi kompilasi dari semua lagu yang pernah mereka ciptakan. Semoga, dengan terpilihnya Semakbelukar, kelompok ini mau bangkit dari kuburnya dan memainkan akordeon lagi.
Ars longa, vita brevis. Pembaca, akhirnya inilah pentas, karya rupa, prosa, kumpulan puisi, dan album musik pilihan kami sepanjang 2014.
TIM EDISI KHUSUS TOKOH SENI PILIHAN TEMPO 2014 PENANGGUNG JAWAB: Seno Joko Suyono KEPALA PROYEK: Nurdin Kalim KOORDINATOR: Dodi Hidayat PENULIS: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Kurniawan, Ananda Badudu, Zen Hae PENYUNTING: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Purwanto Setiadi PENYUMBANG BAHAN: Ananda Badudu, Ahmad Rafiq (Solo), Yohanes Seo (Kupang) RISET: Danni Muhadiansyah, Driyandono Adi Putra, Evan Koesumah BAHASA: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho FOTO: Nita Dian, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Ijar Karim DESAIN: Djunaedi , Eko Punto Pambudi, Rizal Zulfadli |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo