Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Salak dan Apel dalam Catatan Nazaruddin

Duit dari perusahaan Nazaruddin diduga mengalir ke petinggi Partai Demokrat. Digelontorkan menjelang kongres Bandung, tercantum nama Anas, Ibas, dan Andi Mallarangeng.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tempat persembunyiannya, Muhammad Nazaruddin membuka catatan-catatannya. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu menyatakan menghabiskan US$ 20 juta untuk kongres partainya di Bandung, Mei tahun lalu. ”Lima juta dolar dibawa tunai dari kantor saya,” kata pria 32 tahun yang kini menjadi tersangka perkara korupsi proyek wisma atlet SEA Games XXVI itu.

Nazaruddin menyebutkan duit dibawa Yulianis, yang ia sebut sebagai anggota staf bagian keuangan perusahaannya, pada hari pelaksanaan kongres. Ia tidak menjelaskan secara terperinci sumber dan penggunaan dana untuk acara lima tahunan partainya itu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kabur itu—kepada Tempo ia menyatakan berada di Singapura—hanya mengatakan sebagian disetorkan untuk Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Edhie Baskoro Yudhoyono.

Anas dan Andi merupakan dua kandidat yang bersaing pada saat kongres, bersama Marzuki Alie. Adapun Edhie, putra pendiri partai, Susilo Bambang Yudhoyono, dicalonkan semua kandidat menjadi sekretaris jenderal. Kongres ketika itu berlangsung meriah—dikemas mirip pertemuan-pertemuan partai politik di Amerika Serikat.

Sebagian pernyataan Nazaruddin itu klop dengan catatan keuangannya, yang memuat aneka pemasukan dan pengeluaran perusahaannya secara terperinci. Dalam catatan itu, Anas, Andi, dan Edhie alias Ibas ditulis masing-masing menerima setidaknya US$ 250 ribu atau sekitar Rp 2 miliar. Memang ini catatan sepihak, yang tidak dilengkapi kuitansi dari penerimanya.

Pengeluaran duit perusahaan Nazaruddin umumnya dilakukan berdasarkan memo yang diteken adiknya, Muhajidin Nur Hasim. Dari sini catatan kemudian dipecah ke dalam bukti-bukti lain yang lebih terperinci, termasuk tanda terima penerimanya. Yulianis bertugas membukukan aneka pengeluaran itu. Selain pengeluaran menjelang kongres, catatan keuangan menunjukkan adanya aliran ke aparat penegak hukum (lihat Tempo 4-10 Juli 2011).

Dalam bisnis Nazaruddin, Yulianis sering dijadikan ”orang penting”. Ia ditunjuk menjadi Presiden Direktur PT Executive Money Changer, pedagang valuta asing, yang oleh lawan bisnis Nazaruddin disebut sebagai ”tempat pencucian uang”. Yulianis berkantor di Tower Permai, Jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan, selantai dengan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin (lihat ”Meja Kecil Tinggi Jabatan”).

Pada kongres di Bandung, Nazaruddin sebenarnya bertanggung jawab dalam penggalangan dana untuk tim pemenangan Anas yang dipimpin Achmad Mubarok. Meski begitu, ia memahami prinsip investasi: jangan taruh semua telur di satu keranjang. Fulus ditebar Nazar ke semua calon. Dua pekan lalu, ketika ditanyakan alasannya memberi dana buat Andi Mallarangeng, ia menjawab lugas: ”Siapa tahu Anas kalah pada saat pemilihan.”

Dimintai konfirmasi, ketiga tokoh yang disebut itu membantah menerima uang dari Nazaruddin untuk keperluan kongres. Andi, yang dalam sandi Nazaruddin disebut ”Apel Malang”—diambil dari kesamaan singkatan nama AM—mengatakan tidak pernah menerima duit Nazaruddin. ”Ia tidak mendukung saya pada saat kongres,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga itu.

Anas pun mengatakan tidak pernah menerima dana politik dari Nazaruddin. Ia mengaku pernah dipinjami mobil, bukan duit. Soal sokongan dana dari Nazar menjelang kongres, Anas mengatakan, ”Justru ada yang bilang dia malah mendapat untung dari kongres.”

Mungkin karena ”investasi” besarnya, Nazaruddin naik pangkat pada kepengurusan Partai Demokrat. Dari wakil bendahara umum pada periode kepengurusan Hadi Utomo, ia menjadi bendahara umum pada kepengurusan Anas Urbaningrum. Sesuai dengan skenario, Ibas pun menjadi sekretaris jenderal. Dengan posisi barunya, bisnis perusahaan Nazaruddin berkibar-kibar. Mereka memperoleh proyek di pelbagai kementerian—walau belakangan diketahui perusahaan-perusahaan itu raib setelah skandal yang melibatkan Nazaruddin terbongkar.

l l l

Nazaruddin memerlukan balas budi Anas—yang ia beri kode ”Salak Bali”—tak lama setelah perkara rasuah wisma atlet terbongkar dan mulai menyeret namanya, menjelang akhir April. Merasa kian tersudut, ia menebar ancaman akan membongkar aliran dana ilegal yang ia kumpulkan dari pelbagai proyek. Anas pun tak serta-merta meninggalkan kawannya. Ia sempat membujuk Dewan Kehormatan Partai Demokrat, yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, tak buru-buru menjatuhkan hukuman buat Nazar.

Menurut sejumlah politikus partai itu, satu alasan yang disodorkan Anas kepada Yudhoyono adalah Nazaruddin banyak membantunya. Ketika itu, ia pun meminta Dewan Kehormatan memberikan waktu kepada Nazar untuk membela diri.

Pada Senin pagi, 23 Mei, Nazaruddin menghadap Yudhoyono di Puri Cikeas. Ia ditemani Anas untuk memberikan klarifikasi. Alih-alih mendapatkan simpati, Nazar, yang berbelit-belit dalam memberikan penjelasan, malah bikin jengkel para tokoh partai. Yudhoyono juga marah karena Nazar mulai mencoba menyeret beberapa nama. Di antara yang disebut ada Anas, Ibas, serta Andi Mallarangeng dan adiknya, Choel Mallarangeng. Malam setelah pertemuan itu, Nazaruddin meninggalkan Tanah Air menuju Singapura. Sehari setelahnya, Komisi Pemberantasan Korupsi baru meminta surat pencegahannya ke luar negeri.

Di Singapura, ia melempar aneka tuduhan. Dalam proyek wisma atlet, ia mengatakan adanya setoran Rp 9 miliar untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut dia, uang diserahkan melalui Angelina Sondakh dan Mirwan Amir, dua anggota Dewan dari Demokrat, yang kemudian membagikannya ke pemimpin Badan Anggaran Dewan.

Sehari kemudian, O.C. Kaligis, pengacara Nazaruddin, mengatakan uang yang dibagikan Mirwan Amir ke Badan Anggaran berjumlah Rp 8 miliar. Menurut Kaligis, Nazaruddin juga menyerahkan Rp 2 miliar ke Anas dan Rp 2 miliar ke Andi Mallarangeng.

Dalam tuduhan yang ditebar ke sejumlah media massa melalui layanan pesan BlackBerry, Nazar mengatakan mengikuti setidaknya tiga pertemuan berkaitan dengan proyek-proyek di Kementerian Olahraga. Pertama pada Januari 2010 di kantor Andi Mallarangeng, yang dihadiri juga oleh Angelina serta Mahyudin, Ketua Komisi Olahraga DPR dari Fraksi Demokrat. Di tengah pertemuan yang membahas anggaran SEA Games itu, menurut Nazaruddin, Andi lantas memanggil Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan memintanya membantu Nazar, Angelina, dan kawan-kawan.

Dua pertemuan lain dilakukan di pekan pertama dan ketiga Februari 2010. Pada pertemuan kedua, kata Nazar, Anas yang kala itu masih menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR datang bersama seorang pengusaha bernama Mahfud. Yang ketiga bertempat di sebuah restoran Jepang di Arcadia, Plaza Senayan. Andi Mallarangeng disebut ikut hadir di situ bersama Wafid dan seorang deputinya.

Pembicaraan sudah masuk soal teknis, antara lain tentang proyek Stadion Hambalang di Bogor, Jawa Barat, senilai Rp 1,2 triliun. ”Juga proyek Rp 75 miliar untuk alat bantu olahraga, wisma atlet di Palembang Rp 200 miliar, dan proyek prasarana atlet di Jawa Barat senilai Rp 180 miliar.”

Dari pengaturan anggaran dalam proyek-proyek inilah Nazar bersama kawan-kawan mengais uang jasa untuk ditebar ke mana-mana. Untuk proyek Hambalang, kata Nazar, dialokasikan Rp 100 miliar untuk dibagi. ”Perinciannya, untuk DPR lebih-kurang Rp 30 miliar, untuk pemenangan Anas waktu kongres, dan Rp 20 miliar lagi untuk konsultan Anas sebagai calon presiden 2014.”

Wafid, yang kini mendekam di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka, mengakui adanya pertemuan itu pada saat diperiksa. Melalui pengacaranya, Erman Umar, ia juga membenarkan pernah diminta Andi membantu Angelina dan Nazar. Tapi Angelina mengatakan hanya sekali bertemu di kantor Kementerian Olahraga bersama Andi dan Nazaruddin sebagai bendahara partai. Dan tak ada pembicaraan soal proyek di sana. ”Apalagi soal SEA Games,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Andi. Menurut dia, kehadiran rekan-rekannya saat itu adalah untuk memberinya ucapan selamat karena baru saja diangkat sebagai menteri oleh Presiden Yudhoyono. Baik Angelina maupun Andi membantah adanya pertemuan kedua dan ketiga yang disebut Nazar. ”Sebaiknya yang bersangkutan pulang saja dan menjelaskan dengan bukti-bukti, tidak hanya dengan tuduhan,” kata Angelina.

Anas mengaku beberapa kali mengingatkan Nazar, yang kerap membawa-bawa namanya dan mengatasnamakan partai saat mengatur tender proyek di kementerian. ”Tapi dia selalu membantah. Tentu saja saya kurang happy,” ujarnya. Untuk sebagian besar petinggi Demokrat, Nazaruddin kini menjadi musuh bersama.

l l l

Dimulai Senin tengah hari, rapat di kantor pusat Partai Demokrat baru kelar menjelang pukul sembilan malam. Ada dua agenda penting yang dibahas. Keduanya berkaitan dengan Nazaruddin. Dipimpin Anas Urbaningrum, rapat dihadiri Edhie Baskoro, Amir Syamsuddin, Wakil Sekretaris Jenderal Saan Mustopa, serta sejumlah petinggi partai lainnya. Hadir pula para pengacara yang diberi kuasa mewakili partai: Denny Kailimang, Patra M. Zen, Hinca Panjaitan, Carrel Ticualu, dan Poltak Ike Wibowo.

Agenda pertama adalah penyusunan laporan ke polisi atas tudingan-tudingan yang dilempar Nazaruddin. Sesi ini selesai sebelum pukul tiga sore. Diselingi istirahat salat asar sebentar, rapat berlanjut dengan membahas rencana mendepak Nazar dari keanggotaan partai dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasilnya bulat: Nazar, yang kini berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi, tak bisa lagi diselamatkan. Dia dianggap membahayakan dan mencoreng citra partai.

Langkah keras ini menjadi titik balik dari sikap partai terhadap kader yang sebelumnya terus mereka bela. Kawan separtai di Komisi Hukum Dewan yang selama ini kerap tampil jadi pembela Nazaruddin, Ruhut Sitompul, pun balik badan. Dalam berbagai kesempatan bicara, ia bahkan terang-terangan meminta sohibnya itu dipecat lebih cepat. ”Sekarang gue yang paling ngotot agar dia hadapi KPK,” ujarnya.

Toh, Nazaruddin memilih tetap bersembunyi. Jumat tengah malam pekan lalu, selama satu jam ia berbicara dengan Tempo. Dia memakai empat nomor yang berbeda-beda, di antaranya bernomor Singapura. Ditanya soal tempatnya bersembunyi, ia tergelak: ”Saya pokoknya di Singapura, kapan-kapan kita bertemu, ha-ha-ha….”

Y. Tomi Aryanto, Setri Yasra, Anton Septian, Bunga Manggiasih, Fanny Febiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus