Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba saja, Candi Plaosan di kawasan Kalasan, Kabupaten Klaten, yang diam, dingin, dan anggun itu seperti berdenyut lagi. Ribuan bambu terpancang di luar dan di dalam candi seolah candi itu hendak mengalami pembuatan ulang. Pengunjung yang masuk, lalu naik ke lantai atas candi dan memandang jauh ke ladang tembakau, akan menjumpainya: bentangan kain merah yang rendah, menyusuri daun-daun hijau, kemudian naik ke atas bergelantungan ke bagian-bagian candi.
Garin semula meminta Sunaryo untuk membuat instalasi berhubungan dengan adegan kain merah yang dijahit Sukesi. Kain merah itu bakal panjang melewati ladang tembakau, menyusuri pepohonan, dan bongkahan-bongkahan batu purbakala. Dalam bayangan Garin tentu seperti karya-karya Christo yang merentangkan kain berkilo-kilometer, atau Andrew Goldsworthy, seniman lingkungan asal Inggris yang karya-karyanya banyak berkolaborasi dengan alam.
Ketika itu Sunaryo menyetujui seraya datang membawa ribuan bambu bersama 12 kru sendiri dari Bandung dengan genset, siap memasang bambu malam hari. Itu membuat kaget Garin sendiri. Sunaryo mengakui, semula ia tak punya gambaran mau membuat instalasi apa pun. Tapi begitu melihat Plaosan, ide-idenya berkelebat. Ia ingin membuat sebuah instalasi mandiri yang bisa dilepaskan dari film. Ia mengakui, pada awalnya ingin membungkus candi dengan kain merah—tentunya akan fantastis. Tapi itu tentu tidak boleh.
Candi Plaosan adalah candi Buddha yang dibangun Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya dan istrinya, Pramodhawardhani, sekitar abad ke-9. Terdiri dari dua bangunan candi utama kembar. Di antara dua candi utama, terdapat pintu gerbang sekaligus menjadi poros tengah. Keduanya masih utuh dan kukuh. “Tidak mungkin menyaingi sosok candi yang abadi,” kata Sunaryo.
Di mata Sunaryo kedua candi utama adalah saksi bisu. “Saya tak ingin tak ingin menggagahi Plaosan,” katanya. Instalasi yang akan dibuatnya tidak menenggelamkan, melainkan mengangkat, unsur transendental sang candi. Ia menginginkan sesuatu yang kontras: permainan antara yang abadi dan yang sementara. Untuk itulah ia membawa ribuan bambu. Bilamana batu-batu adalah “keabadian”, maka bambu adalah lambang kesementaraan. “Saya ingin membuat karya yang monumental dalam skalanya, tapi dengan bahan yang mengasosiasikan kesementaraan,” katanya.
Dari jarak kira-kira 350 meter ke arah ladang tembakau menuju candi, ia memasang deretan pasangan bambu-bambu setinggi 8 meter. Bambu-bambu seperti joran, ujungnya melengkung dan dipasangi bendera-bendera kecil segitiga berwarna merah vermilion. “Inspirasinya dari film-film kolosal Cina,” kata Sunaryo. Memang, jalan dari tembakau ke candi tidak mengikuti garis aksis yang benar-benar lurus. Agak berbelok, tapi itu justru menurut Sunaryo makin alamiah. Menyenangkan, menurut dia, melihat bendera-bendera terkena angin, sementara candinya diam. Ia lalu memasang seperti yang diinginkan Garin: kain merah ukuran 1 x 1,5 meter ditarik memanjang tanpa menyentuh tembakau menuju candi. “Lahan-lahan yang terlewati kain dan bambu kami bayar ke pemiliknya, “ kata Juwandi, staf Sunaryo.
Beberapa meter sebelum candi, Sunaryo memasang pagar-pagar bambu dengan pola saling silang antara vertikal dan horizontal. Bambu-bambu dan kain merah terus masuk sampai pelataran candi. Melewati dua pasang arca dwarapala yang mengapit jalan masuk menuju ke dua candi utama. Sebelum mencapai arca, ujung-ujung bambu itu dipasangi bubu-bubu bambu. Beberapa bambu juga seperti antena-antena.
Bambu-bambu itu terus masuk ke candi, melewati saf-saf bongkahan batu-batu candi. Lalu bambu-bambu seperti mengurung pintu-pintu penghubung dua candi yang menjadi poros tengah candi. Di situ ada tiga bambu yang menjulang tinggi, lebih dari lainnya. Di atasnya ada lingkaran-lingkaran bambu yang dibuat seperti parabola. “Bubu, antena, dan parabola adalah metafora untuk menangkap getaran-getaran,” kata Sunaryo.
Kain merah dari pagar bambu terus ditarik tali mengarah ke bilik-bilik ke dua candi. Ada 20 kain merah dipelintir dan ditarik masuk ke dalam bilik-bilik candi. “Saya membayangkan bilik-bilik itu seperti lubang-lubang indra, mata, telinga, hidung candi,” kata Sunaryo. Ia memberi judul karyanya Semedi Ning Jenar—samadi dalam kemerahan. Kata ning bagi dia adalah penghormatan bagi almarhum perupa Hendrawan Riyanto, yang tak lain adalah kakak Garin yang dalam karya-karyanya selalu memakai kata ning.
Menurut rencana semula, perupa Hendro Suseno juga akan membuat instalasi untuk Candi Plaosan. “Saya merencanakan menanam pohon randu alas setinggi 7-8 meter di ladang tembakau sebagai simbol pohon kematian,” katanya. Tapi kemudian ia mengalah setelah melihat Sunaryo datang dengan megaproyek. “Garin menciptakan ruang sengketa kreatif yang tak terselesaikan,” katanya sembari tertawa.
Dia mengakui karya Sunaryo memang menarik. Dari kejauhan kita akan menyaksikan panorama serba merah. Ada yang menggetarkan ketika mulai menginjak halaman candi. Ada perasaan aneh. Di antara tumpukan batu-batu reruntuhan candi yang belum diketahui posisi aslinya, tiba-tiba ada bentangan kain merah saling-silang di atas kepala kita. Masa silam yang belum jelas tiba-tiba diterobos sesuatu dari masa kini.
Karya instalasi Sunaryo ini menjadi problematika tersendiri bagi Garin. Bagaimana ia menyiasati agar efektif, itu soalnya. “Terserah Garin, kalau dalam syuting nanti mau mensyut karya saya sebanyak-banyaknya atau hanya ujung-ujungnya saja, saya tak apa-apa,” kata Sunaryo. Risiko ini telah disadarinya sejak semula. Maka, ia mempersiapkan film dokumentasi tersendiri. Tak terbayangkan, ia membuat Plaosan dalam sebuah meditasi merah.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo