Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang di Lereng Merbabu

“Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti…Rawe-rawe…”

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu Miroto memberi aba-aba di atas, ratusan petani langsung menyahut “… rantas”. Ia meneruskan “malang-malang…”, dan jawaban “putung” terdengar gemuruh. Ya, adegan menggelorakan itu diambil gambarnya di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, di kaki Gunung Merbabu.

Desa Banyusidi dipilih untuk lokasi pengerahan pasukan Rama dan Rahwana atas usul budayawan Sutanto Mendut. Desa itu memiliki berbagai kesenian rakyat: rodat, soreng, grasak, mendres bali, cakar lele, badui--semua cukup untuk adegan kolosal itu. Dan pagi itu, masing-masing muncul dengan kostum warna-warni. Norak, menggelikan, tapi secara visual liar. Coba lihat pemain Rodat, berkacamata hitam, bertopi ala polisi, dan berseragam seperti campuran pemain marching band dan seorang kapitan. “Orang desa nonton apa saja, lalu mencampur-aduk,” kata Tri Sapto.

Ratusan anggota kesenian itu dibagi menjadi dua. Rodat, soreng, grasak, mendres bali, cakar lele ikut pasukan Rahwana. Sedangkan untuk Rama, ada anggota kesenian badui plus warga setempat, petani-petani yang suka pencak. Eko Supriyanto yang asli Magelang itu tampak sangar. Bertelanjang dada, memakai topi laken, bersabuk blantik, berambut panjang diurai, tato di perutnya terlihat jelas.

Ia berdiri di persimpangan dua jalanan berbatu yang menurun dari arah kiri dan kanan. Dari atas kiri terlihat sosok Buto Cakil dengan topeng leak, sosok raksasa berambut gimbal, bercelana oranye, bersayap mirip Gatotkaca. Juga ada macan marah dengan gigi besar dan mata mendelik, kuda lumping, dan para serdadu berkumis melintang ber-make-up pipi menor. Ada yang membawa tombak, gada dan tameng, pedang pendek, dan bendera merah.

Dari atas kanan, rombongan bermahkota raja di panggung wayang wong dan ketoprak. Lalu, “polisi-polisi” berkaca mata hitam, berbaju sulaman warna-warni, dengan emblem di pundak, melambai-lambaikan kipas sembari berkacak pinggang.

Begitu Eko Supriyanto, dengan gerak pundak yang dinamis, menari, seluruh pasukan itu langsung mengikuti. Suasana riuh. Musik tanjidor, rebana, bertalu-talu. Bunyi gemerincing di pergelangan kaki ramai. Eko membiarkan pasukan bergerak dengan gaya sendiri. “Tolong, sempritan dibunyikan,” teriak Garin kepada bapak tua “penghulu” rodat yang berkostum putih dengan selempang. Mereka menyanyi: “Maju.., maju.., marilah maju….”

Tak kalah garang pasukan Miroto. Barisan terdepan, pasukan kerbau Banjar Mili, seperti kerbau mengais-ngais tanah. Lalu puluhan ibu petani bertopi caping. “Bakulnya dilepas. Bawa arit saja,” teriak Garin. Seterusnya, lelaki desa, tua muda, telanjang dada membawa parang. Paling belakang, kelompok kesenian badui dengan kelompok berjubah hijau seperti para syekh, berkaus tangan putih dan berkopiah mirip Abunawas.

Seorang ibu dikasting untuk memimpin pasukan. Ia dilatih mengucap “Ayo konco-konco tani” sembari mengacungkan aritnya…. “Sedhulur kabeh siaga…,” suaranya melengking. Para syekh melonjak, memukul tambur, seolah merestui perang. Susah mengarahkan terlalu banyak orang. “Mohon maaf Ibu-Ibu, matanya melihat ke depan, jangan ke kanan-kiri,” kata Garin. Suasana sangat riuh. “Ini perang, Bapak-Bapak, mukanya jangan ngguyu (senyum), mukanya harus marah,” teriak Arturo G.P., co-director.

Jecko menyelinap ke pasukan Rama. Ia mengenakan penutup kepala merah, berkaus biru, dengan pelindung lutut oranye, kaus kaki hijau, bersepatu kets putih. Tangannya menunjuk-nunjuk, mulutnya nyerocos seperti seorang rapper memberi komando penyerbuan. “Hrekte-kte-ktte-ktaa--retette...” (susah menirukan kata-kata Jecko ini).

Arak-arakan pun melangkah. Saking bersemangatnya, mereka tak mendengar aba-aba, kebablasan berjalan cukup jauh sambil terus mengacungkan parang. “Cukup-cukup,” teriak Garin. Penduduk seolah keranjingan menyaksikan Miroto di sebuah dapur rumah yang berjelaga hitam tebal, turun dari papan di atas tungku, membagikan keris, dan Artika berjalan menggotong “mayat”. Meski “perang” hari itu, seluruh warga bergembira. Rumah-rumah mereka yang sederhana terbuka, mempersilakan kru menikmati teh, kopi, dan nasi sayur seadanya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus