Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH kegiatan yang dilakukan Nyonya Karwati, 30 tahun, beberapa hari sebelum ia dibawa ke rumah sakit. Hampir setiap pagi perempuan yang tinggal di Cikarang Utara, Bekasi, ini mengurusi ayam-ayam piaraannya yang bergelimpangan mati di halaman rumahnya. Selama tiga hari berturut-turut, tak kurang dari 15 ekor ayam tewas mendadak dengan jengger membiru. Karwati memasukkan bangkai-bangkai ayam itu ke kantong plastik, lalu membuangnya ke sungai yang hanya berjarak 50 meter dari rumahnya.
Nah, beberapa hari berselang, giliran Karwati sendiri yang terkapar. Diserang oleh demam tinggi, akhirnya istri Nurshaban ini dibawa di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta. Tidak bisa diselamatkan, Senin pagi pekan lalu ia pun meninggal. Menurut dokter yang menanganinya, ibu dua anak ini positif terserang virus flu burung dengan subtipe H5N1. Orang yang terkena virus ini akan mengalami demam tinggi, batuk, nyeri tenggorokan, radang saluran pernapasan atas, dan pneumonia (radang paru-paru). ”Karwati mulai demam setelah ayam-ayamnya mati,” kata Encop Sopiah, kakak kandungnya.
Karwati menambah deretan korban tewas akibat flu burung di Indonesia. Sebelumnya, nahas juga dialami Iwan Siswara bersama dua anaknya, Nyonya Rini Dina, dan Riska Hardiyati. Hingga akhir pekan lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyebut korban meninggal akibat penyakit ini mencapai 10 orang dari total 62 kasus yang muncul. Korban tersebar di Provinsi Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten. Sumber penularan virus ke manusia belum bisa dipastikan. Semua hipotesis semata. ”Sangat mungkin berasal dari ayam,” ujar Siti Fadilah kepada Maria Ulfah dari Tempo.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat telah mengambil sampel kotoran dan air liur unggas, terutama ayam, di sekitar rumah Karwati, sehari setelah kematiannya. Penyemprotan disinfektan dan vaksinasi juga dilakukan. Sampel itu lalu diteliti di Laboratorium Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Lembang, Bandung. Hasilnya? Akhir pekan lalu, Kepala Sub-Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Jawa Barat menyatakan sampel itu negatif. Artinya, tidak ditemukan virus flu burung. Tapi penelitian ulang masih akan dilakukan.
Menurut Dr Chairul Anwar Nidom, menemukan sumber penularan virus flu burung amat penting agar pemberantasan bisa dilakukan tepat sasaran. Ahli flu burung dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, itu juga menyesalkan dihentikannya pencarian sumber penularan dalam kasus Iwan Siswara.
Jika kasus Iwan bisa ditelusuri, hal itu bisa memberikan gambaran tentang modus operandi virus H5N1. Nidom, yang pernah belajar tentang virus ini di Universitas Tokyo, mengaku siap melakukan penelusuran lanjutan. Yang ia butuhkan hanyalah spesimen virus yang menjangkiti Iwan dan keluarganya. Tapi, hingga saat ini, Departemen Kesehatan belum juga memberikan spesimen tersebut. Menurut Nidom, penelusuran yang tuntas pun dilakukan terhadap kasus Rini, Karwati, dan korban lainnya.
Dengan teknologi biologi molekuler, sejatinya identifikasi terhadap virus yang menyerang korban bisa dilakukan. Lewat pengujian di laboratorium, bakal diketahui pada reseptor mana virus itu tumbuh. Umumnya virus tumbuh pada reseptor (penerima) yang sama. Jika tumbuh pada reseptor alfa 2.3, virus itu berasal dari unggas dan akan sulit menular langsung ke manusia. Amat berbahaya kalau virus tersebut tumbuh pada reseptor 2.6. Ini menunjukkan virus tersebut akan memudahkan terjadi penularan antarmanusia. Soalnya, semua manusia memang memiliki reseptor 2.6. Adapun unggas sendiri mempunyai reseptor 2.3, dan babi memiliki keduanya, baik 2.3 maupun 2.6.
Identifikasi virus juga bermanfaat untuk pembuatan vaksin flu burung. Menurut Nidom, hal itu bukan hal yang mustahil dilakukan ahli-ahli dari Indonesia. Belakangan, selain perusahaan Sanofi-Aventis (Prancis), Australia’s CLS Ltd. (Australia), Chiron Corp. (AS), dan Britain’s GlaxoSmithKline Plc. (Inggris), pemerintah Vietnam juga berhasil mengembangkan vaksin H5N1 untuk manusia.
Tak hanya unggas yang diduga sebagai sumber penularan. Prof Warsito dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM mengungkapkan, ada kemungkinan lalat juga bisa menjadi biang penularan. Hanya, untuk memastikan apakah lalat termasuk vektor biologis atau mekanis, Warsito butuh penelitian lanjutan.
Selama ini yang sudah dipastikan sebagai pembawa virus flu burung adalah babi dan unggas, terutama ayam. Dari sanalah diduga virus tersebut menular ke manusia. Apalagi banyak orang sering sembrono menangani ayam-ayam yang mati mendadak. Inilah yang terjadi di Bandung, Jawa Barat, pekan lalu. Warga di sekitar Sungai Cikapundung sempat gempar karena menemukan ratusan ayam mati yang dibuang ke sungai tersebut. Kepala ayam-ayam itu tampak menghitam. Belakangan diketahui bangkai unggas tersebut dibuang oleh Ajun Junaedi, 44 tahun, seorang warga yang tinggal di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.
Tak mau kecolongan, Dinas Peternakan setempat mengambil sampel kotoran dan darah ayam yang masih tersisa untuk diteliti. Beruntung, untuk sementara, hasilnya negatif flu burung. ”Ayam itu mati karena tetelo,” kata Kepala Sub-Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Jawa Barat, Musny Soeatmodjo, Jumat pekan lalu. Agar lebih pasti, penelitian lanjutan akan dilakukan.
Sampel darah Ajun dan keluarganya juga sudah diambil petugas kesehatan. Soalnya, mereka juga menderita demam, batuk, sesak napas, dan tenggorokan perih sehingga dikhawatirkan terjangkit flu burung. ”Untuk berjaga-jaga,” kata Gunadi Sukma, Kepala Dinas Kesehatan Bandung. Tentu, ini buat menghindari agar kasus Karwati tak terulang lagi.
Dwi Wiyana, Eni Saeni (Jakarta), Anas Syahirul (Yogyakarta), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo