Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari tangan Garin Nugroho, tafsir tentang Sinta menjadi terbuka. Syahdan, hujan tumpah-ruah ke bumi. Saat itu Rahwana menyusup ke kamar Rama untuk mencumbu Sinta. Tapi Rama kembali, lalu Rahwana bersembunyi dalam sarung Sinta. Adegan bertiga-antara Miroto (yang memerankan Rama), Artika (memerankan Sinta), dan Eko Supriyanto (Rahwana)-menjadi sebuah adegan yang sungguh sensual. Miroto menari, menyusuri, mencumbu Artika dari atas menuju belahan dadanya, sementara Eko "bergolak" di dalam sarung Artika.
Bersama lima sineas ltainnya, Garin Nugroho ditunjuk sutradara terkemuka Peter Sellar untuk memenuhi undangan 250 tahun Mozart di Austria 2006. Lima sineas lainnya itu adalah Tsai Mi Liang (Taiwan), Apichatpong Weerasethakul (Thailand), Mohammad Saleh Haroun (Afrika), Bahman Ghobadi (Iran), dan Paz Encina (Paraguay). Mereka semua dipersilakan membuat film berdasar tema karya-karya terakhir Mozart: The Magic Flute, La Clamenza, dan Requiem. Garin memilih tema requiem dengan meng-angkat kisah Sinta Obong, sebuah bagian dari kisah Ramayana, yang dikenal di Asia tentang pembuktian kesucian yang berakhir tragis.
Proses syuting ini menarik karena Garin meng-u-sung sesuatu yang tidak konvensional. Ia menonjolkan kebimbangan, hasrat sensualitas Sinta di anta-ra Rama yang posesif dan Rahwana yang agresif. Ke-go-yahan itu sendiri bagi Garin tampaknya kudus. Ade-gan akan silih berganti antara adegan sehari-hari dan koreografi. Rama, yang diperankan penari Miroto, dalam kisah ini sehari-harinya adalah perajin gera-bah. Sementara Rahwana, yang diperankan penari Eko Supriyanto, adalah preman penjual da-ging.
Syuting selama 16 hari di Solo dan Yogya itu l-ebih seperti sebuah koreografi besar yang melibatkan pe-nari, baik tari alusan klasik maupun tari rakyat, yang jumlahnya ratusan orang. Mereka semua terdiri dari penari, koreografer, dan perupa yang sebagian be-sar tak pernah terlibat dalam film. Itulah sebabnya, proyek besar ini menarik diangkat karena Garin mengajak serombongan perupa terkemuka di nege-ri ini: Sunaryo, Nindityo, Agus Suwage, Tita Rubi, S. Tedy, Hendro Suseno, dan Entang Wiharso. Mereka semua diminta membuat simbol-simbol pada bebera-p-a adegan.
Hadirnya para koreografer dan perupa ini membuat proses syuting ini menjadi seperti sebuah "p-esta seni" tersendiri. Hari pertama syuting di k-ebun ke--lapa sebelah barat pabrik Madukismo, per-upa N-indity-o membuat tumpukan-tumpukan sabut kela-pa mem-ben-tuk lingkaran spiral. Ini adalah labirin yang di-buat untuk adegan menjaga Sinta. Sinta-yang di-pe-rankan Artika Sari Devi, mantan Putri Indonesia-dengan beras di dahi masuk ke dalam.
Tampak Sinta gelisah, berhasrat keluar, tapi terben-dung. "Tanpa daya, tanpa tanja.." terdengar b-unyi tembang. Artika lungkrah, terkulai di tumpukan sabut. "Rahwana" bersembunyi dalam kukusan (ke-rucut bambu), berusaha mendekatinya. Kukusan de-ngan klintingan itu seperti bergerak, bersuara sen-diri. Rekaman diambil dari atas untuk memperlihatkan kukusan itu memutar-mutar mengelilingi Artika. "Susah juga mengambil instalasi. Saya baru pertama kali ini," kata Garin.
Di tangan Garin, Sinta tak lepas dari perempuan yang memiliki "berahi" yang tak tertahankan. Berahi itu disimbolisasi sepanjang film dalam adegan Sinta tergoda kain merah yang dijahit oleh Sukesi, ibu Rahwana. Inilah adegan yang bakal membuat film ini puitis. Sinta terus-menerus mengikuti kain merah panjang yang terbentang, melalui kampung, sungai, dan candi. Adegan red carpet ini diambil di berbagai lokasi berbeda, dan nanti akan menjadi satu kesatuan melalui bantuan proses editing.
Adegan Sinta untuk pertama kalinya melihat kain merah terhampar dilakukan Artika dengan baik. Di balik pintu sebuah rumah di Madukismo, Sinta melihat kain itu. Semula ia takut, lalu mundur, tapi kemudian melangkah. Dihadang oleh Lesmana (diperan-kan oleh penari I Nyoman Sura), ia berkelit, ber-lari, lalu meraih sepeda, meluncur mengikuti k-arpet me-rah itu.
Dikisahkan, Sinta mengayuh sepedanya sampai ke sebuah sungai. Perupa Sunaryo, di pinggir Sungai Be-dok, Kecamatan Kasihan, di antara bambu-bam--bu, meng-gantungkan tirai merah. Di situlah S-inta berhen-ti, dan Hanuman yang terus menguntitnya memba-kar kain itu. Hanuman diperankan oleh Jecko Si-ompo, penari asal Papua yang dikenal menggabungkan hip-hop dengan gerak tari Papua. Garin membiarkan Jecko bergerak "semaunya" dengan gaya break dance. Ia tak menyuruh Jecko dan pasukannya-yang terdiri dari penari perempuan-untuk mengganti kostum mereka yang funky. Di antara sisa-sisa kain yang terbakar, di tengah kepulan asap, Eko Supriyanto kemudian me-nari sendiri-tarian Rahwana yang gusar.
Sukesi menjadi penting. Diperankan penari Retno Maruti, Sukesi meletakkan kendil di pantai. Kendil itu berisi abu ngaben mayat "putranya". Ombak se-per-ti menyongsong.
Sukesi mengenakan kebaya hitam, kerudung h-i-ta-m-memanjang sampai ke punggung tanda berkabung. Di Pantai Parangkusumo, Yogya, siang itu puluhan pesinden kelompok macapat Sekar Manunggal Sleman duduk melingkar menghadap kendil-kendil yang tutupnya dibungkus mori putih, bercantelkan kertas bertuliskan seolah nama-nama daftar jen-a-zah. Angin kencang menerpa kerudungnya. Ia me-na-ri di tengah lingkaran, lalu kemudian melarung abu. Sebuah misa arwah.
Dialog dalam filmnya ini berbentuk tembang. Me-reka merekam materi tembang terlebih dahulu de-ngan sinden dari STSI Surakarta, arahan komponis Rahayu Supanggah. Dari layar monitor, gerak antara bibir pemain dan tembang rekaman terlihat kurang pas. "Tembang itu sulit, ketukannya pakai rasa, tak ada partiturnya. Saya sendiri setelah saya lihat di monitor juga terasa tak pas," kata penari Miroto, yang memerankan Rama. Tapi memang menurut Garin, layar monitor di layar tidak bisa menjadi ukuran. Soal lipsync itu, nanti akan disiasati.
"CUT!" seru Garin. "Gunakan bibir. Artika m-asih te-gang." Take adegan ciuman antara Rama dan Sin-ta itu diulang. Miroto perlahan mengusap bibir Arti-ka. Membelai pipi, rambutnya. Lalu terjadilah per-temu-an bibir dengan bibir.
Sebelumnya, koreografi sedikit "erotis" terjadi. Di atas ranjang, Sinta kesal karena Rama menolak bercinta. Menurut Miroto, selama ini dalam tafsiran tradisi, Sinta adalah karakter yang setia, tak berdaya. "Dulu Pak Bagong, juga Farida Feisol, membuat karya tari tentang Sinta, tafsirnya Sinta malah diperkosa," kata Garin. Tak ada satu pun koreografi kita, menurut Miroto, yang pernah menampilkan Sinta bergejolak hasrat. "Apalagi membagi hasratnya ke Rahwana, jelas dalam tradisi tak ada."
Garin mengolah adegan cinta antara Rama, Sinta, dan Rahwana dengan perhitungan sebuah tamasya gambar. Pun mayat-mayat dibikin puitis. Tengok manusia-manusia tanah liat yang mengambang di Kali Bedok karya Agus Suwage dan Tita Rubi. Seluruh badan, kaki, dan tangannya terbenam. Hanya wajah yang terbakar yang muncul di permukaan. "Cetakannya dari tubuh perupa Agung Kurniawan," tutur Suwage. Atau, topeng-topeng putih karya Hendro Suseno yang digantung dengan galah-galah. "Wajah topeng ini saya cetak dari wajah pantomimer Jemek Supardi," kata Hendro.
Garin menempatkan karakter Sukesi sebagai se-orang ibu Rahwana-yang di satu pihak menyayang-i anaknya, tapi di pihak lain gundah melihat b-anyak-nya mayat itu. "Di sini, Sukesi sangat prihatin. Merasa bersalah di hadapan Tuhan," kata Retno Maruti. Menurut Retno, yang tahun lalu mementaskan karya tari Alap-alap Sukesi, dalam kisah tradisi, Suk-esi sesungguhnya hanya muncul di awal kelahiran Rahwana-yaitu saat Sukesi kawin dengan Begawan Wis-rawa dan melahirkan anak-anak raksasa. "Tafsir Garin memunculkan Sukesi dalam perebutan cinta ini adalah penafsiran baru," katanya.
Miroto masih tak paham kenapa Rama akhirnya membunuh Sinta dalam tafsiran film ini. Di ak-hir ce-rita, Rama menikam Sinta dengan tusuk konde dan mengambil hati Sinta. Sebagai seorang penari k-lasik keraton, ia sukar menerima bahwa Rama sampai pada keputusan demikian, meskipun secara visual adegan itu bagus. "Apa motivasi saya membunuh? Mengapa jika cemburu harus membunuh?" tanya dia. Garin tertawa. Menurut dia, ada bentrokan dalam diri Miroto. "Rama bagi Miroto tidak bisa jahat."
Mengikuti syuting Garin adalah menyaksikan sebuah naskah yang berjalan. Selalu ada kejutan, ade-gan di luar skenario. Ini memang ciri khas Garin Nugroho, bahkan sejak ia syuting Daun di Atas Bantal beberapa tahun silam. Improvisasi dan ide m-asih saja terus melonjak-lonjak dan berputar berbelok dari skenario, saat syuting sudah berlangsung. Saat Sunar-yo pergi menuju lokasi syuting di Kali Bedok, melewati Kasongan, ia melihat kios yang berjualan bunga-bunga kertas. Ia lalu membeli barang 1.500 buah bunga kertas dan menancapkannya di depan bentangan kain merahnya. Melihat itu, Garin langsung membayangkan adegan kebun yang terbakar. Artika, yang sebetulnya pagi itu tak memiliki jadwal syuting dan saat itu sedang tidur di hotel, langsung dibangunkan. Maka, jadilah adegan Sinta di antara bunga-bunga itu. Dan memang jadilah sebuah adegan yang cantik.
Improvisasi lain adalah saat adegan Hanuman meng-intip Rahwana dan Sinta, yang tengah ber-asyik masyuk di tepi kolam, dengan teratai-teratai lilin meng-apung, di sebuah rumah di bilangan Tembi, Yogy-a. Mulanya, Jecko direncanakan tampil menari. Tapi bayangan di dinding saat ia mengendap-endap tampak indah. Garin secara khusus lalu membikin adegan bayang-bayang itu.
Improvisasi gaya Garin ini disebut "arsitektur tumbuh". Artinya, para kru dan pemain harus selalu siaga. Tatkala Retno Maruti menari dikelilingi ibu-ibu kelompok macapatan Sleman dengan latar Candi Plaosan, misalnya, Garin tiba-tiba menginginkan 100 obor. Keruan, keinginan mendadak itu membuat tim artistik pontang-panting..
Garin merencanakan klimaks film ini pada se-buah adegan pembakaran patung Sinta. Mulanya diren-ca-nakan pembakaran itu dilakukan di sebuah set panggung seperti rumah nelayan. Tapi, dalam pro-ses, gagasan Garin berubah. Ia menginginkan adegan pembakaran di dalam instalasi kerucut kuning seperti vagina karya Tita Rubi. "Saya sudah pesan panggung, uangnya sudah bayar, tapi tak jadi," kata Nanang Rakhmat Hidayat. "Beberapa tembang yang dipersiapkan juga dihapus karena adegannya kuat," kata Tri Sapto, penari senior yang mengawasi sisi koreografi.
Ide Garin memang mengalir terus. Di beberapa ade-gan, misalnya, muncul kelompok tari Sahita dari Solo yang menari-menyanyi penuh humor. Seperti mbok-mbok pasar, mereka menggendong bakul-bakul. Ternyata kemudian bakul itu mengilhami Garin. Di Parangkusumo, setelah patung-patung pembakaran dibakar, potongan-potongan kaki, tangan, dimasukkan ke dalam bakul dan dibawa naik sepeda oleh kelompok Sahita. "Close-up isi bakulnya," teriak Garin. Garin sendiri saat adegan perang di Merbabu turut menjadi anggota pasukan rodat. Bertopi ala polisi, berkacamata hitam, dengan busana warna-warni. Seluruh kru tertawa.
Garin juga tampak memerlukan aktor sewaktu-waktu. Layanggi, tokoh adat dari Preng Merapu, Sum-ba Timur, ahli baca hati babi untuk mengetahui nasib dan doa arwah, misalnya, diundang Garin untuk ade-gan pewarta bersama dalang Slamet Gundono. Tapi, begitu selesai, Garin menginginkan ia tetap tinggal untuk adegan akhir. "Seharusnya Pak Layanggi pulang sekarang, karena ada tiga mayat menunggu," kata Ibrahim Ibnu, yang mengiringinya. Tiga mayat itu sudah lebih dari sebulan belum dikubur, tak ada yang berani mengusik. "Saya sempat telepon ke kampung memberi tahu syuting tertunda," ia menambahkan.
Tapi adegan Slamet Gundono dan Layanggi itu menarik. Gundono bertelanjang dada, memakai topi koboi, duduk di atas TV batu karya S. Tedy. Di bawah-nya ada Miroto, Artika, dan Layanggi dengan sebuah koper kecil lusuh di hadapan mereka. Kamera me-nyorot koper itu. Tangan tua dukun Sumba itu pelan membuka. Selembar daun menutupi gumpalan hati sapi. Dukun Sumba itu lalu menunjukkan guratan-guratan hati kepada Miroto dan Artika, seolah meramal nasib cinta keduanya.
Lalu, Gundono menyanyi, dengan gitar ukulele: "Inilah kisah hati yang diperebutkan laki-laki seluruh dunia. Dari zaman Nabi Adam sampai Adam Smith."
Hari kesembilan, Garin memutuskan mena-mbah kamera. Sekian hari itu Garin hanya memakai se-orang juru kamera, yaitu Teoh Gay Hian, asal Malaysia. Meski baru pertama kali bekerja sama dengannya, Garin merasa cocok. Teoh sangat memanfaatkan cahaya alami matahari. Bila adegan interior, ia ba-nyak menggunakan filter yang membuat ruangan se-olah dalam cahaya matahari sore kekuning-kuning-an. "Gelap-terang Teoh sangat konsisten warnanya," Garin memuji. Tapi, karena adegan koreografi memerlukan pengambil-an banyak angle, Garin memutuskan untuk memanggil Tommy "Jepang", kamerawan lulusan Institut Kesenian Jakarta.
Tak terelakkan, bujet ber-tam-bah. "Target keseluruhan 120 can, tapi hari kesembilan saja sudah habis 121 can," kata Dirmawan Hatta, asisten sutradara. "Tapi bia-ya semuanya tetap tak lebih dari 3 miliar," kata Garin tegas. Kepada Tempo, Garin mengaku, panitia yang mengundangnya memberikan 2.000 euro kepada setiap sutradara. Karena itu, Garin h-a-rus menambahkan Rp 1,5 miliar dari produser lokal yang digandengnya. Ia juga mendapat sumbangan adegan lokal kolosal dari komunitas Bupati Sleman dan masyarakat Gejayan Merbabu.
Dalam satu hari syuting, bisa diambil adegan be--berapa koreografi. Misalnya ketika di pasar tradi-sio-nal Imogiri. Pada pagi hari, kelompok Solo Dance Studio, yang menjadi anak buah Rahwana, menam-pilkan koreografi membunuh penduduk. Di antara pi--kul-an-p-ikulan arang, mereka menampilkan koreografi menghunjami beramai-ramai seorang pedagang dengan alat cukur. Siang harinya, mereka "melawan" para penari Banjar Mili Yogya, yang berposisi seba-gai anak buah Rama, serta pasukan Jecko- yang seluruh tubuhnya dicat hitam bertotol-totol putih. Dua kelompok besar penari itu berhadap-hadapan di lorong sempit. "Ini adegan free style gaya Broadway," kata Eko Supriyanto, yang menata tarian. Kamera sampai naik ke atas rumah untuk merekam adegan ini.
Di lokasi itu juga, esok harinya Miroto dan para penari Banjar Mili mengenakan topeng kapi-kapi (topeng binatang) yang dipinjam dari Keraton Yo-gya. Ada topeng landak, buaya, kambing, kelinci, burung, naga pasukan. Semenjak wayang wong besar-besar-an tak ada di keraton, topeng itu jarang dipakai. "Saya dan seluruh penari diharuskan puasa mutih memakai topeng ini," kata Miroto. Dalam koreografi ini, Miroto menjerit marah: "Awake dhewe digawe bodho, didhadeke kebo." Syuting dilaksanakan sore hari, ketika lorong pasar telah kosong. "Ini bagus, seperti kota mati," bisik Garin.
Akhirnya, syuting rampung. Mereka mena-nt--i ba-gaimana Rahayu Supanggah menafsirkan mu-sik-nya. Maklum, ada adegan yang sulit dibayangkan menggunakan gamelan Jawa, misalnya adegan koreo-grafi Jecko dengan obor. Juga entah bagaimana Garin akan menyunting, karena ia telah merekam begitu banyak footage gambar indah. Lalu, seberapa besar porsi instalasi akan tampil dalam gambar? Ada insta-lasi Sunaryo, yang menancapkan ratusan bambu di areal Candi Plaosan, di luar dugaan kru. "Saya terkejut," kata Garin. Menurut Garin, ada instalasi yang kuat, menguasai sebuah ruang tapi tak bisa membuat kamera menyusup ke mana-mana. "Instalasi yang kita butuhkan sebenarnya instalasi terapan," kata Arwendi Nasution, yang berlaku sebagai co-director.
"Kompleksitas kekayaan memang berisiko, tapi pe-nemuan-penemuan ketakterdugaan lebih mengasyikkan," tutur Garin. Ia, misalnya, tertawa senang ketika menyaksikan "blues" Gundono dan "rap" Sumba bisa bersanding dalam harmoni. "Dulu hanya ada dalam pikiran. Ternyata bisa," katanya. Hal-hal yang kontras sering dibenturkan Garin, seperti saat ia menampilkan para penari bedaya Keraton Solo menari di tempat penjagalan sapi sembari membawa patung-patung kepala emas karya Entang Wiharso. Itu sesua-tu yang "kurang ajar", tapi juga menggairahkan secara artistik.
Menurut Miroto, di dunia tari internasional, Yog-ya dan Solo kini banyak diincar para koreografer a-sing. Setelah Robert Wilson mengangkat La Galigo de-ngan pemain materi Sulawesi, Miroto memperkira-kan bahwa lima tahun lagi para sutradara manca-Er-opa atau Amerika-bakal melirik penari dan pemusik Yogya-Solo untuk berkolaborasi, yang memang menjadi kecenderungan kuat dunia seni saat ini. "Saya kira Garin seperti mengambil posisi catur, memulai terlebih dahulu," kata Miroto.
Dan Sinta Obong, sebuah requiem yang bakal ditayangkan di Wina untuk memenuhi undangan Festival Mozart itu, adalah langkah eksperimen Garin.
Seno Joko Suyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo