Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIAKAN dan tawa lebar menyertai kucuran air menetes di sekujur tubuhnya, ketika Jonathan Gultom, 12 tahun, berhasil mencapai pinggir sungai. Siswa kelas dua sekolah menengah pertama ini girang luar biasa karena telah menjuarai lomba renang Festival Mahakam ke-10. Tidak sembarangan, lomba renang ini menyeberangi sungai selebar 500 meter, lengkap dengan derasnya arus dan angin. Dan lomba yang benar-benar diselenggarakan ala pesta rakyat ini—pesertanya mengenakan pakaian renang ala kadarnya—merupakan acara favorit dalam festival yang biasa digelar setiap pertengahan November.
Tahun ini lomba renang tradisional itu nyaris batal gara-gara ada isu kemunculan seekor buaya raksasa di dermaga depan Pasar Pagi Samarinda. Warga setempat pun heboh karena binatang buas itu tak bisa ditangkap sampai pelaksanaan lomba. Karena acara harus tetap diselenggarakan, diperlukan jaminan. ”Kalau ada barang yang menyerupai buaya saat lomba, urungkan perlombaan, pokoknya bubar,” kata Ketua Panitia Pelaksana Festival Mahakam Laksmi Edmond. Untunglah, soal buaya itu cuma kabar burung. Lomba pun tetap berlangsung.
Festival Mahakam sampai saat ini merupakan agenda Pemerintah Kota Samarinda. Penyelenggaranya adalah Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Komunikasi Informasi. Dana yang dibutuhkan, Rp 90 juta, diambil dari anggaran pemerintah daerah. ”Kami sama sekali tak memungut biaya dari warga,” ujar Laksmi.
Dalam festival yang diselenggarakan selama tiga hari itu, selain lomba renang, digelar lomba perahu ketinting, kapsul, kotak, dan speedboat. Keramaian juga terjadi di darat. Di sepanjang Jalan Gajah Mada, yang bersisian dengan sungai, digelar lomba memasak masakan tradisional khas Kalimantan, parade band, drum band, pawai beragam budaya daerah di Indonesia, musik samrah, dan keroncong. Malamnya masih ada aksi lenggak-lenggok waria.
Penonton membeludak. Dermaga di depan kantor Gubernur Kalimantan Timur yang berhadapan dengan Sungai Mahakam, selama tiga hari, menjadi panggung terbuka warga Samarinda dan sekitarnya.
Sehari-hari, terutama di malam hari, dermaga di depan kantor gubernur itu memang menjadi tempat bertemu dan bercengkerama penduduk setempat. Anak-anak, pasangan muda, sampai orang tua menjadikan tepian sungai sebagai ruang terbuka publik. Berbagai gerai dorong makanan dan minuman tersedia di dermaga itu. Memandang sungai adalah hiburan malam warga Samarinda. Namun, saat Festival Mahakam, Jalan Gajah Mada ditutup total. Perayaan 17 Agustus dan hari jadi kota setiap 21 Januari pun kalah meriah.
Sungai memang sudah menjadi bagian dari ruang publik di Samarinda. Kegiatan dan interaksi penduduk, terutama di saat senggang, tak pernah lepas dari kawasan sungai. Cara orang Samarinda ”berteman” dengan sungai tak lepas dari terbentuknya kota itu.
Alkisah, orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan lari tak mau tunduk dengan perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Angkatan Laut Belanda pada November 1667. Rombongan yang dipimpin Lamohang Daeng Mangkona bergelar Pua Ado pertama hijrah ke daerah Kerajaan Kutai. Kedatangan mereka diterima baik Sultan Kutai dan diberi tempat tinggal di sekitar Kampung Melantai, daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Muhajirin Bajo tinggal di rumah rakit di atas air. Rumah satu dengan lainnya harus sama tinggi, melambangkan tidak ada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata. Karena semua tinggal di dataran rendah di sekitar muara sungai, diduga dari sanalah nama kota itu berawal: ”sama rendah”, yang lama-kelamaan menjadi Samarinda.
Samarinda kini sudah menjadi tempat pertemuan berbagai suku di Indonesia. Kota seluas 71.800 hektare dan berpenduduk lebih dari setengah juta jiwa itu dibelah Sungai Mahakam. Menurut aktivis pergerakan mahasiswa Islam Indonesia cabang Samarinda, Taufik, Sungai Mahakam dipercaya punya ”pelet” ampuh. ”Jika seorang pendatang sudah pernah minum air sungai itu, ia akan kembali lagi ke kota ini,” ujarnya.
Benar atau tidak, tapi yang jelas sungai sudah menjadi bagian penting kota. Walau, menurut pengamat tata kota dan pegiat lingkungan hidup Samarinda, Ade Fadli, ibu kota Kalimantan Timur itu sebenarnya memiliki banyak ruang terbuka publik, bukan hanya di tepian Sungai Mahakam. Salah satunya adalah Sungai Karangmumus. ”Kawasan itu tak kalah menarik dibanding tepian Sungai Mahakam,” ujarnya.
Menurut Ade, jika pemerintah daerah menghidupkan daerah tersebut dengan semacam Festival Mahakam, akan terjadi perubahan tata kota Samarinda. ”Kami mendukung, apalagi kawasan itu berfungsi menjadi daerah resapan air,” katanya.
Ya, Festival Mahakam memang baru langkah awal. Bila kegiatan di ruang terbuka disebar ke kawasan tepian sungai lain di kota itu, Samarinda akan semakin menarik. Perencanaan kota yang propublik itulah yang diharapkan Ade akan bisa diterapkan di Samarinda. Ade membayangkan, jika sepanjang Sungai Mahakam dan sungai-sungai lain di sekitarnya dibangun jalur bersepeda, daya tarik Samarinda bukan hanya ada pada saat Festival Mahakam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo