Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pria berkostum orang utan itu wira-wiri bak peragawati di halaman kantor Departemen Kehutanan, 11 Desember silam. Bersama belasan pria berkaus merah, dua "makhluk berbulu lebat" tersebut membentangkan spanduk bertulisan pesan untuk Pak Menteri: "Pak Zulkifli Hasan, hentikan penjahat hutan". Aktivis Greenpeace itu tengah berdemo memprotes perusakan hutan Indonesia untuk ekspansi kebun sawit.
Selepas aksi, para aktivis itu menyerahkan laporan berjudul "Illegal Forest Clearance and RSPO Greenwash: Case Studies of Sinar Mas" kepada seorang pejabat Departemen Kehutanan. Dalam laporan 10 halaman itu, Greenpeace memaparkan temuan perusakan hutan di Kalimantan Barat oleh Grup Sinar Mas, salah satunya di Ketapang. Juga tuduhan perusakan lahan gambut di area konservasi Danau Sentarum oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). "Selain membahayakan ekosistem, perbuatan ini jelas melanggar hukum," kata Joko Arief, juru kampanye masalah hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Sehari kemudian, Unilever, salah satu pelanggan SMART, memutuskan tak memperpanjang kontrak pembelian mereka yang habis awal 2010. Selama ini, raksasa toiletries asal Belanda itu membeli 3 persen produksi minyak sawit SMART senilai Rp 370 miliar per tahun. "Keputusan itu diambil karena SMART tak mengindahkan kelestarian lingkungan," kata Maria Dewantini Dwianto, Manajer Komunikasi Eksternal Unilever Indonesia. Unilever juga melakukan audit, yang hasilnya tak banyak beda dengan temuan Greenpeace. "Hal ini kami tempuh semata-mata untuk menjamin kredibilitas pasokan bahan baku."
Daud Dharsono, Direktur Utama SMART, menyayangkan sikap Unilever yang cenderung terpengaruh laporan Greenpeace. Menurut dia, laporan lembaga nirlaba internasional ini cenderung dibesar-besarkan. Kerusakan hutan gambut, diakui Daud, memang pernah terjadi. Tapi jumlahnya kecil dan segera direhabilitasi. "Petugas lapangan kami memang pernah kebablasan," ujarnya.
Peristiwa ini pun mengejutkan pelaku industri sawit Indonesia. Isu negatif soal lingkungan, yang selama ini dianggap angin, baru terasa pukulannya. Kekhawatiran pun merebak. Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan bukan tak mungkin hal serupa ini meluas dan perusahaan lain, terutama pembeli internasional, akan mengikuti jejak Unilever.
Indikasinya mulai terlihat. Setelah kasus ini mencuat, muncul rumor 13 perusahaan besar dan bank asing akan memboikot produk sawit Indonesia. "Walau sumber rumor itu tak jelas, tetap saja menjadi ancaman. Apalagi momennya bertepatan dengan konferensi perubahan iklim di Kopenhagen," ujar Joko.
Para pengusaha pun memandang masalah ini dengan sinis. Isu lingkungan yang muncul saat sawit naik daun (ekspor mencapai 15,5 juta ton dengan harga US$ 700 per ton) meruapkan tudingan hal ini ditunggangi para pesaing. "Ini persaingan bisnis. Masalah lingkungan dimanfaatkan untuk merusak pasar sawit," ujar Gandhi Sulistyanto, Direktur Eksekutif Grup Sinar Mas.
Lantas siapa bersaing dengan siapa? Derom Bangun, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengatakan saat ini ada "perang dingin" antarprodusen minyak nabati dunia. Dalam beberapa tahun terakhir produk minyak yang berasal dari ekstraksi komoditas lain, seperti kedelai, bunga matahari, canola, dan biji rapa, mulai tergeser oleh sawit. Sekalipun berbeda bahan baku, selama satu dekade terakhir produsen-produsen ini terus berebut pasar.
Data Oilworld, konsultan riset minyak nabati dunia, menunjukkan terjadi pergeseran pangsa pasar pada dekade 1990 hingga saat ini. Semula minyak kedelai mendominasi pasar (lihat tabel). Namun kemudian posisinya digeser oleh minyak sawit karena harga yang lebih murah. Di tengah persaingan ketat ini, bukan tak mungkin ada pesaing yang main kayu dengan macam-macam isu. "Isu lingkungan hanyalah satu dari sekian banyak upaya memerangi sawit," ujar Derom.
Pebisnis sawit kahot ini menuturkan, sekitar 1986, muncul isu kandungan kolesterol dan asam lemak jenuh yang berbahaya untuk tubuh pada minyak sawit. Lama-kelamaan isu ini mereda. Pada pergantian abad ke-21, tuduhan perusakan lingkungan muncul seiring dengan perluasan kebun sawit di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Pembukaan hutan untuk ekspansi ini pun berbuah penolakan pada produk sawit, terutama di Eropa.
Namun, bagi aktivis Greenpeace, tudingan persaingan bisnis di balik isu lingkungan sudah basi. Joko meminta produsen sawit berani membuktikan produk mereka ramah lingkungan. "Bukannya malah menuduh balik dengan sederet teori konspirasi." Joko khawatir ekspansi sawit memperparah kerusakan hutan. Hal ini bisa saja terjadi jika perluasan lahan sawit, dari 7 juta pada 2008 menjadi 18 juta hektare dua tahun mendatang, tak terawasi. "Hutan pun kembali jadi korban devisa."
Fery Firmansyah
Konsumsi Minyak Nabati Dunia Bergeser
(Juta Ton)
  | 1990 | 2009 |
(82) | (169) | |
Minyak sawit | 13,9% | 27,7% |
Minyak kedelai | 19,6% | 22,3% |
Minyak biji rapa/canola | 10,7% | 13,3% |
Minyak bunga matahari | 10,3% | 7,3% |
Minyak kelapa/PKO | 5,8% | 5,2% |
Lainnya | 39,7% | 24,3% |
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
(Juta Ton)
  | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 |
Asia | 7,42 | 8,94 | 9,08 | 9,88 |
Eropa | 1,90 | 2,02 | 2,01 | 2,59 |
Lainnya | 1,11 | 1,58 | 1,56 | 2,14 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo