Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sanksi Administrasi bagi Perusak Lingkungan

Undang-Undang Cipta Kerja mengutamakan penerapan sanksi administrasi terhadap pelanggaran lingkungan.

8 Oktober 2020 | 00.00 WIB

12 menteri jumpa pers terkait disahkannya UU Cipta Kerja di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, 7 Oktober 2020. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
12 menteri jumpa pers terkait disahkannya UU Cipta Kerja di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, 7 Oktober 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA – Peneliti dari Yayasan Auriga Nusantara—lembaga nonpemerintah di bidang pelestarian lingkungan—Iqbal Damanik menengarai keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan meringankan sanksi bagi perusak lingkungan. Dugaan itu dikuatkan oleh penurunan bobot sanksi dalam omnibus law dibanding ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Dalam UU Cipta Kerja ini, negara seperti memberikan ruang eksploitasi sebesar-besarnya tanpa proteksi lingkungan yang tepat," kata Iqbal, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Iqbal merujuk pada sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengatur pemberian sanksi administrasi atas sejumlah perbuatan yang mencemarkan lingkungan ataupun melewati baku mutu air, baku mutu air laut, serta baku mutu udara ambien yang tidak sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Pasal 82B UU Cipta Kerja yang merupakan perubahan UU Perlindungan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa sanksi administrasi dapat dikenakan selama perbuatannya adalah kelalaian serta tidak membahayakan kesehatan ataupun nyawa manusia.

Jenis sanksi administrasi yang termuat dalam omnibus law, antara lain, adalah teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha, serta pencabutan perizinan berusaha. Adapun perihal denda tidak disertai perincian besaran atas setiap pelanggaran. Dalam UU Cipta Kerja hanya disebutkan bahwa persoalan tersebut akan diatur melalui peraturan pemerintah.

Iqbal khawatir pengutamaan sanksi administrasi akan menyulitkan negara ataupun masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas kerusakan lingkungan hidup. Kondisi itu dapat berakibat buruk terhadap upaya pemulihan lingkungan.

Ia juga mempertanyakan efektivitas sanksi administrasi pencabutan izin. Sebab, selama ini negara justru gagal mencabut ribuan izin usaha pertambangan bermasalah. "Bagaimana masyarakat bisa percaya penegakan sanksi akan efektif?" ujarnya. 

Lembaga advokasi kebijakan lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), juga menyoroti kecenderungan sanksi administrasi dalam omnibus law. Sesuai dengan kajian ICEL per 6 Oktober lalu, UU Cipta Kerja belum jelas mengatur mengenai hukuman paksaan. Padahal, secara teori, sanksi paksaan harus diikuti tindakan lanjutan jika pelanggar mengabaikannya. "Konsep paksaan pemerintah perlu diperjelas dalam peraturan pelaksana," begitu ICEL menuliskan dalam kajiannya.

Pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, ikut mempertanyakan penghapusan sanksi pidana terhadap perbuatan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tanpa izin. Menurut dia, pemidanaan terhadap aktivitas ini jamak diatur di banyak negara. 

"Amerika Serikat, Belanda, dan Cina mengatur pengelolaan limbah tanpa izin dengan tindak pidana. Di kita hanya sanksi administratif," katanya.  

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan UU Cipta Kerja memang mengutamakan sanksi administrasi untuk menindak pelanggaran. Tapi sanksi administrasi itu tak menghilangkan kewajiban pelanggar dalam memulihkan kerusakan lingkungan ataupun ganti rugi.

Ia mengklaim sanksi administrasi lebih efektif diterapkan karena tak perlu melalui proses persidangan yang berisiko memakan waktu. Di samping itu, kata Siti, pelanggaran administrasi yang dilakukan korporasi dapat diperberat melalui tambahan denda hingga sepertiga kali lebih besar dari denda pokoknya. "Di samping ada pidana penjara atau denda terhadap pengurusnya," katanya.

ROBBY IRFANY

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Š 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus