Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT penyakit, virus yang berkembang di tubuh pasien itu nyaris tak terkendali. Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri, yang bertugas mencetak calon pangreh praja itu, malah termasyhur oleh budaya kekerasan yang seolaholah "dilembagakan".
Institut yang seharusnya mendidik calon pamong pemerintah itu hanya bebas dari kekerasan selama tiga semester awal, sejak didirikan pada 1989. Ketika itu, sekitar 500 praja baru Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri "dititipkan" kuliah di Semarang, Jawa Tengah, dan Malang, Jawa Timur, sementara menunggu kampus terpadu STPDN yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, selesai dibangun.
Di dua kampus bekas Akademi Pemerintahan Dalam Negeri milik pemerintah daerah itu, bentuk hukuman terhadap siswa masih wajar dan diawasi ketat oleh pembimbing dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Hukuman bagi mahasiswa yang melanggar disiplin masih sebatas push up, lompat katak, atau berlari mengelilingi lapangan. "Pokoknya masih terkontrol," kata Guntur Sakti, alumni STPDN angkatan 1992, kepada Rumbadi Dalle dari Tempo.
Benih kekerasan mulai terasa ketika para praja awal ini dipindahkan ke Jatinangor pada akhir 1990. Ketika itu juga, secara resmi, kampus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri di seluruh Indonesia dinyatakan ditutup. Meski begitu, di kampus itu masih tertinggal angkatan 1990, kelas terakhir dari APDN Jawa Barat.
Di Jatinangor, Guntur dan kawankawan menerima gojlokan para seniornya. "Kami hanya dua minggu diospek (orientasi studi dan pengenalan kampus-Red.) oleh kakakkakak angkatan itu," katanya. "Tapi, saat itulah kekerasan fisik dimulai." Tanpa memerinci bentuk kekerasan, Guntur hanya menyebutkan, "Pokoknya tidak sampai menendang perut atau kemaluan, seperti sekarang." Selepas masa gojlokan itu, tutur pria 36 tahun ini, para kakak angkatan itu langsung keluar karena lulus.
Lalu masuklah praja STPDN tahun kedua, atau angkatan 1990. "Mungkin karena dendam atau mau meniru, beberapa rekan saya satu angkatan melakukan kekerasan yang sama terhadap adikadik yang baru masuk," Guntur bercerita. "Dan begitulah tradisi itu berlanjut sampai sekarang," ujar pria 36 tahun yang kini menjabat Sekretaris DPRD Kota Batam, Riau Kepulauan itu.
Kekerasan makin merajalela ketika, pada saat yang sama, para pengasuh dari Akabri digantikan oleh tenaga pengasuh eks APDN yang baru dibubarkan. "Pengasuh APDN kan kualitasnya tidak sama," kata Guntur. "Pengetahuan kemiliteran mereka pun tidak sebaik orang militer," mantan Kepala Humas dan Protokol Pemerintah Kota Batam itu menambahkan. Akibatnya, tindakan disiplin yang diberikan banyak yang tidak tepat sasaran dan melampaui batas. Namun, selama tiga tahun kuliah, Guntur mengenang, tak ada kasus praja dikirim ke rumah sakit.
KETIKA Cliff Muntu, 20 tahun, tewas karena disiksa seniornya pada 2 April lalu, semua penghuni kampus IPDN, termasuk pejabatnya, seolaholah bersekongkol menutupi kejahatan. Setelah 18 tahun lewat, kekerasan itu malah "mengubur" sekolah itu sendiri.
Berdasarkan penelusuran Tempo, peristiwa kejam itu terjadi ketika praja tingkat III, atau nindya praja, yang tergabung dalam kelompok Pataka (Pembawa Tanda Kehormatan, sebutan untuk peleton pembawa panjipanji IPDN dalam upacara) memanggil 12 juniornya dari tingkat II, atau madya praja, menghadap di Barak DKI Jakarta pada 22.30. Kegiatan ini-menurut kelompok itu-disebut koreksi Pataka. "Kegiatan itu ilegal karena dilakukan di luar jam kampus," kata I Nyoman Sumaryadi, Rektor IPDN yang kini dinonaktifkan.
Empat praja datang terlambat, di antaranya Cliff. Kabarnya, ia kelelahan akibat berlatih drum band beberapa jam sebelumnya. Keterlambatan ini dianggap menyepelekan acara koreksi Pataka yang "suci" itu. "Sebab, di situ diberikan doktrin dan pembentukan fisik," kata Nur Kholim, pengacara enam nindya praja yang jadi tersangka pembunuhan di Polres Sumedang.
Karena juniornya terlambat, para senior pun harus memberikan "pembinaan" tambahan. Menurut seorang penyidik polisi, "pembinaan" itu tak lebih dari penganiayaan. "Mata mereka ditutup handuk kecil, lalu perutnya dipukuli, bahkan ditendang," kata sang polisi. Nahas bagi Cliff, rupanya dia tak kuat menerima "pembinaan" yang dilakukan di pojok lorong kamar mandi barak itu. Pemuda yang juga polisi praja-semacam penjaga keamanan kampus-ini ambruk.
Bukannya ditolong, Cliff malah ditendangi dan diinjak perutnya karena dianggap "lembek". Ia lalu tak sadarkan diri. Para nindya praja itu baru ribut setelah sadar bahwa Cliff tak bergerak. Praja senior kemudian mengontak klinik kampus, meminta ambulans. Sialnya, ambulans itu sedang dipakai mengantar seorang praja yang sakit hepatitis. Baru pada 02.00 ambulans tiba di Barak DKI. Cliff-yang sudah tewas-dibawa ke Rumah Sakit AlIslam, Sumedang, rumah sakit terdekat dari kampus.
Kabar kematian Cliff rupanya membangunkan kampus yang tidur. Dalam sekejap, puluhan praja dan pegawai kampus memenuhi rumah sakit. Pada saat yang sama, informasi masuk ke Kepala Polsek Jatinangor, Ajun Komisaris Polisi Basori. "Anak buah saya mendapat laporan dari seseorang, ada praja meninggal dianiaya," kata Basori. "Jenazahnya ada di Rumah Sakit AlIslam."
Ketika Basori dan anak buahnya tiba di rumah sakit, mereka malah ditolak masuk oleh para praja. Polisi makin curiga. Setelah negosiasi alot selama satu jam, polisi diizinkan memeriksa jenazah Cliff yang terbujur kaku. Anak malang itu hanya bercelana training yang digulung sampai tumit, tak berbaju. Basori lalu keluar ruangan, dan mengontak Kapolres Sumedang, Ajun Komisaris Besar Polisi Syamsul Bahri, yang memerintahkan Basori menahan jenazah praja asal Manado itu.
Setengah jam kemudian, polisi malah mendapati Cliff Muntu sudah didandani pakaian dinas upacara lengkap, dengan topi dan tanda pangkatnya. Jenazah itu tampaknya siap dibawa ke dalam ambulans milik sebuah yayasan jasa penguburan yang tibatiba sudah menunggu. Para praja dan sejumlah pegawai IPDN bahkan mencoba melarikan mayat Cliff. Polisi bertindak sigap, mencabut kunci kontak ambulans itu.
Baru pada 09.00, polisi membawa jenazah Cliff ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, untuk diotopsi. Di tengah otopsi, Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi malah mengumumkan penyebab kematian Cliff Muntu, berdasarkan laporan ketua tim investigasi internal IPDN, Baharuddin Pabba. "Yang bersangkutan meninggal karena penyakit liver akut," kata Nyoman.
Padahal, berdasarkan hasil otopsi dari Kepala Instalasi Pemulasaran Jenazah RSHS Bandung, Noorman Herriyadi, ditemukan tandatanda trauma fisik akibat kekerasan. Di antaranya perdarahan di jantung, limpa, ginjal, otak, bahkan daerah alat vital. Menurut Kepala Polda Jawa Barat, Irjen Sunarko D.A., ditemukan juga upaya untuk menutupi "jejak" kekerasan. Di bagian dada dan perut Cliff ditemukan bekas suntikan. "Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan formalin," kata Sunarko. "Dan formalin itu mengubah kondisi jenazah."
Berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, polisi menemukan bahwa perintah menyuntik formalin datang dari Prof Dr Lexie Giroth, Dekan Manajemen Ilmu Politik dan Pemerintahan IPDN. Sang penyuntik adalah Iyeng Sopandi, pensiunan Dinas Kesehatan Kota Bandung yang kini sudah berstatus tersangka. Dengan menggunakan sebuah dokumen berlogo "Kepala Dinas Kesehatan Bandung" yang sudah kedaluwarsa, dinyatakan bahwa jenazah Cliff bisa dibawa pulang ke Manado.
Menurut Sunarko, pejabat IPDN tidak melapor ke polisi tentang adanya kejahatan. "Padahal, setiap jenazah yang diduga meninggal tak wajar tidak boleh diapaapakan, atau harus menunggu sampai ada petugas yang mendatangi atau menyelidiki," kata mantan juru bicara Mabes Polri ini. Sekolah itu juga menghalanghalangi penyidik, bahkan petingginya berusaha membentuk opini publik bahwa kematian Cliff disebabkan sakit liver. "Ada rekayasa untuk mengelabuhi penyidik polisi," Sunarko menambahkan.
MENURUT Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Progo Nurdjaman, Cliff adalah praja ke27 yang tewas selama pendidikan. "Dia korban meninggal ketiga akibat kekerasan dalam kampus, sepanjang 19932007," katanya. Adapun menurut dosen IPDN Inu Kencana Syafei, Cliff adalah korban ke35. Artinya, setiap semester satu nyawa melayang di kampus yang penghuninya terikat sumpah menaati hukum karena berstatus pegawai negeri itu.
Kematian Cliff menyiratkan betapa kekerasan sudah melembaga di "kampus maut" itu. Departemen Dalam Negeri bukannya tak pernah mencoba meredam kebiasaan barbar ini. Pada 2003, setelah kematian praja Wahyu Hidayat, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengambil alih manajemen kampus tersebut. Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Siti Nurbaya ditunjuk sebagai pelaksana tugas rektor. Departemen juga membentuk komisi etika yang bertugas mempelajari permasalahan dan solusi problem STPDN.
Komisi etika yang dipimpin Sinyo Harry Sarundayang-saat itu menjabat Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri-kemudian memberikan rekomendasi memutus rantai kekerasan. Caranya dengan menyebar tiap angkatan di kampus terpisah. "Hubungan juniorsenior diputus sampai mereka semua lulus," kata Sinyo kepada Tempo, pekan lalu. Pemisahan ini, menurut rencana itu, setidaknya sampai 2007, atau setelah praja angkatan 2003 lulus.
Pada Januari 2004, 1.200 muda praja STPDN dipindahkan dari Jatinangor ke kampus Institut Ilmu Pemerintahan di Cilandak, Jakarta Selatan. Kedua kampus itu dilebur dan diubah menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Selain kampus Cilandak, eks kampus APDN di sejumlah daerah, seperti di Bukittinggi, Malang, dan Makassar, juga disiapkan untuk menampung para praja. "Pada tahap berikutnya, kampus di sejumlah daerah itu akan dipakai untuk praja tingkat II dan tingkat III," kata Hari Sabarno.
Menurut Hari Sabarno ketika itu, pemindahan muda praja dilakukan karena mereka, sebagai angkatan junior, paling rawan terhadap tindakan kekerasan para seniornya. "Agar mereka bisa belajar tenang dan tidak waswas dipanggil oleh seniornya malammalam secara sembunyisembunyi untuk pembinaan yang tidak pada tempatnya," kata Hari.
Ternyata, rencana tinggal rencana. Tak sampai setahun, pemerintahan berganti. Dengan alasan menghemat anggaran, Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma'ruf menyatukan kembali para praja di Jatinangor.
Arif A.K., Ahmad Fikri, Aditya Herlambang (Sumedang)
Mereka Cedera dan Mati
SEJAK sekolah itu didirikan pada 1989, sejumlah korban berjatuhan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri-dulu Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Dengan dalih menanamkan disiplin, institut itu kemudian penuh dengan catatan kekerasan. Menurut Departemen Dalam Negeri, selama periode 19932007 tercatat 27 praja meninggal dalam pendidikan. Namun hanya tiga kasus kematian karena kekerasan yang terjadi di dalam kampus.
1994 Praja Gatot, dari Jawa Timur, tewas ketika menjalani latihan dasar militer. Tulang dadanya retak.
1995Alvian, dari Lampung, meninggal di barak tanpa sebab jelas.
1996Ari Aditya, dari Jawa Barat, diopname selama 6 bulan di rumah sakit karena menjadi korban kekerasan seniornya. Praja yang baru masuk itu kemudian mundur dari STPDN.
1997Praja Fachrudin, dari Jawa Tengah, meninggal di barak tanpa sebab jelas.
1998Rusmandi Fernando, praja tingkat II asal Kalimantan Tengah, kabur dari asrama setelah selama seminggu "dibina" oleh beberapa senior tingkat III. Rusmandi menolak kembali ke STPDN. Ia kemudian dipecat dari kampusnya.
1999Praja Edi meninggal di kampus. Pejabat rektorat menyatakan dia terjatuh saat belajar sepeda motor di halaman kampus.
2000
- Praja Purwanto meninggal dengan dada retak.
- Obed, dari Irian Jaya, meninggal dengan dada retak.
- Erie Rakhman, praja angkatan 1999 asal Jawa Barat, meninggal akibat penganiayaan praja senior. Erie dipukul karena dianggap tidak berdisiplin. Tujuh orang praja dari angkatan 19961998 menjadi tersangka di Kepolisian Resor Sumedang. Sekitar seribu praja angkatan 19961998 unjuk rasa memprotes penahanan pelaku kasus tersebut ke pemimpin STPDN. Kasus tak berlanjut. Para pelaku bahkan ikut diwisuda.
- Utari, praja dari Jakarta, ditemukan tewas di daerah Cimahi, Jawa Barat. Hasil otopsi menyatakan Utari hamil dan meninggal kehabisan darah saat berusaha menggugurkan kandungan. Utari diantar ke dukun beranak oleh sang pacar (yang juga praja STPDN) yang kemudian membuang mayatnya ke jalan karena kebingungan. Kasus tak berlanjut.
2003
- Wahyu Hidayat, asal Jawa Barat, meninggal karena dipukuli senior sesama daerah. Kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dan 9 praja dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara. Meski berstatus terpidana, para praja senior itu bisa menyelesaikan studi dan kini berdinas di sejumlah daerah di Jawa Barat. Kejaksaan Sumedang pekan lalu mengeksekusi mereka.
- Ario Fiegusto Fanggidae, praja tahun pertama (praja muda) asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, melarikan diri dari asrama STPDN karena tak tahan disiksa seniornya.
- Dua orang calon praja asal Kalimantan Tengah kabur dari asrama, padahal baru tiga hari tiba di Jatinangor. Keduanya melompati pagar kampus dan memilih pulang ke Palangkaraya karena tak tahan disiksa praja senior.
2004Ichsan Suheri, calon praja asal Aceh, dianiaya lima orang praja tingkat II. Penganiayaan dilakukan atas perintah Nurmansyah Putra dan Imam Suhairi, yang juga berasal dari Aceh. Alasan pemukulan itu untuk menyiapkan mental dan fisik Ichsan sebelum dikirim mengikuti latihan dasar militer di Pusat Pendidikan Militer di Cimahi.
2005Irsan Ibo, praja asal Papua, meninggal di kampus. Diduga karena overdosis narkoba.
2007Cliff Muntu, praja tahun kedua (madya praja) dari Sulawesi Utara, tewas. Ia dipukuli garagara terlambat menghadap ketika dipanggil sejumlah senior selepas latihan drum band. Empat orang praja tingkat III (nindya praja) dipecat dan dijadikan tersangka oleh polisi.
Statistik Kekerasan 20002004
35 | kasus penganiayaan berat | (8 praja dipecat) |
---|---|---|
9.000 | kasus penganiayaan ringan | (pelaku bebas) |
125 | kasus narkoba | (5 praja dipecat) |
75 | kasus perkelahian | (pelaku bebas) |
1.500 | kasus pencurian | (pelaku bebas) |
150 | kasus pelecehan seksual | (pelaku bebas) |
660 | kasus seks bebas | (pelaku bebas) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo