Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saweran Suap Penadah Proyek

Adhi Karya mengalihkan sebagian pekerjaan ke 17 perusahaan lain. Dicurigai untuk menyamarkan setoran gelap ke politikus.

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN dua lantai itu lebih mirip rumah ketimbang kantor. Berdiri di Jalan Kota Bambu, Slipi, Jakarta Barat, bangunan sepi dari kegiatan. Pada siang Senin tiga pekan lalu, di sana hanya terlihat empat karyawan dan seorang resepsionis. Foto sejumlah proyek pembangunan gedung dipacak di dinding, menjadi petunjuk perusahaan ini bergerak di bidang konstruksi.

Di rumah itu, PT Global Daya Manunggal, salah satu subkontraktor proyek pembangunan pusat olahraga di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, berkantor. Nilai pekerjaan yang didapat perusahaan ini puluhan miliar rupiah. "Benar, kami ikut di proyek Hambalang," kata Herman Prananto, komisaris perusahaan itu.

Global hanya satu dari belasan perusahaan yang memperoleh "cipratan" proyek senilai Rp 1,175 triliun itu. Resminya, proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga ini dimenangi kerja sama operasi PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Perusahaan pelat merah itu kemudian mengalihkan sejumlah pekerjaan ke 17 perusahaan, termasuk Global, sebagai subkontraktor. Ada pula PT Dutasari Citralaras, perusahaan yang sebagian sahamnya pernah dimiliki Athiyyah Laila, istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Penunjukan Dutasari cukup kilat: hanya empat hari setelah Adhi Karya dan Wijaya Karya meneken kontrak dengan Kementerian Olahraga pada 10 Desember 2010. Dua pekan kemudian, baru ditunjuk Global Daya Manunggal. "Adhi Karya yang mengajukan nama-nama perusahaan subkontraktor kepada pejabat pembuat komitmen," katanya.

Dalam dokumen usulan Adhi Karya itu tidak disebutkan nilai kontrak kepada setiap perusahaan. Di sana hanya tertulis bahwa perusahaan tersebut layak dan memiliki kompetensi teknis seperti yang dimaksudkan. Setelah penunjukan Dutasari dan Global Daya Manunggal, Adhi Karya menunjuk PT Arya Lingga Perkasa. Perusahaan ini diberi jatah pengerjaan galian dan timbunan tanah. Total 17 perusahaan ditunjuk menjadi subkontraktor (lihat "Mercusuar Punggung Bukit").

Pejabat pembuat komitmen di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Deddy Kusdinar, membenarkan adanya penunjukan 17 perusahaan itu. Menurut dia, Adhi Karya-lah yang mengusulkan permohonan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Proses itu tidak menyalahi aturan pedoman pengadaan barang dan jasa pemerintah," katanya.

Meski disebut telah sesuai dengan prosedur, masuknya perusahaan subkontrak itu ternyata tidak lepas dari lobi tingkat tinggi. Paul Nelwan, pengusaha konstruksi yang kerap menggarap proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga, mengaku pernah bertemu dengan utusan Global Daya Manunggal bernama Nani Rusli di ruangan Wafid Muharam, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga. Saat itu, Nani membawa permohonan menjadi subkontraktor.

Wafid kemudian meminta Paul mengenalkan Nani dengan direksi Adhi Karya. Menurut Paul, pada awalnya direksi Adhi Karya tidak merespons usul tersebut. "Saya tidak tahu kenapa akhirnya Global Daya Manunggal tetap jadi subkontraktor."

Di proyek Hambalang, Global mengerjakan Gedung Olahraga Serbaguna dengan anggaran senilai Rp 100 miliar. Saat ini telah berdiri bangunan empat lantai persegi empat, dan di tengahnya area kosong untuk lapangan berbentuk huruf U. Di lantai dua bangunan, ada tribun tempat penonton.

Saat dimintai konfirmasi, Wafid membenarkan pernah ditemui utusan Global Daya Manunggal. "Mereka minta diajak menjadi subkontraktor," ujarnya. Sebaliknya, Herman Prananto menampik ada lobi-lobi khusus yang dilakukan perusahaannya. "Kami profesional," katanya.

Seorang auditor di sebuah lembaga negara mengatakan praktek gelap di balik penunjukan subkontraktor ditemukan dalam proyek Hambalang. Menurut dia, perusahaan-perusahaan subkontraktor sengaja dihimpun untuk mencari dana talangan bagi kontraktor utama. Dana talangan itu diperlukan antara lain untuk "membeli' anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat dan mengatur pemenangan tender.

Menurut dia, Adhi Karya dan Wijaya Karya tidak mungkin memenuhi sendiri kebutuhan dana operasi gelap itu. Sebagai perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia, sulit menutupi transaksi janggal. "Sangat berisiko mereka membuat rekayasa."

Selanjutnya, dana talangan itu akan dikembalikan ketika proyek sudah berada di tangan. Semua perusahaan penyedia dana talangan diikat dalam kerja sama menjadi subkontraktor. Pengikatan kontrak dilakukan sesuai dengan prosedur resmi. Di sana tertulis dengan jelas: jenis pekerjaan, kuantitas barang yang akan dipasok, dan lama pengerjaan. "Data yang tercantum dalam kontrak sesuai dengan nilai yang akan dibayarkan," kata auditor itu.

Dalam prakteknya, perusahaan yang telah ditunjuk sebagai subkontraktor tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak. Misalnya, pengerjaan fisik tidak sepenuhnya dilakukan. Demikian juga pasokan barang dan jasa. "Misalnya, di kontrak tercatat 100 unit, yang dikirimkan hanya 50," katanya.

Meski subkontraktor tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak, auditor tadi melanjutkan, pengerjaan proyek tidak terganggu. Sebab, sejak awal, kontraktor utama sudah menghitung matang bahwa kebutuhan dana dan bahan tidak terpengaruh oleh pengeluaran khusus untuk subkontraktor itu.

Kelengkapan dokumen untuk pencairan dana juga sudah disiapkan. Kuitansi dan faktur pajak pun sesuai dengan kontrak. "Meski semua itu adalah fiktif," ujarnya. Auditor tadi memastikan catatan dan dokumen tentang kasus itu saat ini sudah di tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam laporan keuangan Adhi Karya per 31 Desember 2011 memang tidak tercantum secara detail pengucuran uang untuk 17 perusahaan subkontraktor. Sepanjang tahun lalu, perusahaan ini mengeluarkan uang muka untuk subkontraktor senilai Rp 119,26 miliar.

Deddy Kusdinar, pejabat pembuat komitmen, mengaku tidak tahu soal nilai kontrak yang dibuat Adhi Karya dengan 17 perusahaan subkontraktor. Demikian juga dengan kelayakan setiap perusahaan. "Soal itu silakan tanya ke Adhi Karya," ujarnya.

Direktur Utama Adhi Karya Kiswodarmawan tidak banyak membuka mulut. Dia meminta persoalan ini diserahkan ke penegak hukum. "Anda tanya Komisi Pemberantasan Korupsi saja," katanya melalui pesan pendek pertengahan Mei lalu.

Setri Yasra, Rusman Paraqbueq, Febriyan, Sutji Decilya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus