Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Kuasa Menghadang Penebang

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segera terbit instruksi presiden tentang pemberantasan penebangan hutan secara liar. Karena Departemen Kehutanan ompong?

Sebuah senjata pamungkas sebentar lagi akan keluar dari gedung Manggala Wanabhakti di Senayan. Senjata itu berupa Instruksi Presiden mengenai pemberantasan penebangan liar (illegal logging). Jajaran Departemen Kehutanan berharap peraturan baru itu bisa efektif menumpas para maling kayu.

Departemen Kehutanan memang pantas prihatin. Sebagai pemegang otoritas kehutanan, mereka ibarat macan ompong di depan para kriminal itu. Polisi yang diharapkan bertindak, hingga kini tak serius menindaklanjuti data para maling kayu yang diberikan. Padahal, ada 47 nama yang sudah disodorkan, mulai dari cukong sampai bupati, bahkan mantan anggota MPR. Nyatanya, polisi malah mengejar pelaku versi mereka sendiri. Hasilnya jelas, sampai mendekati seratus hari pemerintahan SBY, program pemberantasan maling kayu tak berjalan.

Menteri Kehutanan M.S. Kaban sempat menyentil polisi. Ia "menuntut" para maling kayu yang daftarnya telah diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan?ada sekitar 19 nama?harus diadili paling lambat akhir Januari ini. "Kalau perlu, langsung tahan saja, jangan hanya diperiksa," katanya.

Sementara Departemen Kehutanan hanya bisa menunggu, polisi malah mengumumkan hasil operasi hutan mereka. "Kami anggap berhasil, meski tidak semua terungkap," kata juru bicara Markas Besar Polri Irjen Pol Paiman. Untuk kasus penebangan liar, disebutkannya, polisi sudah menangkap 685 tersangka dari 610 kasus yang ada. Barang bukti yang disita ada 29 juta meter kubik kayu berbagai jenis, 121 kapal, 2 tongkang, dan 81 ponton.

Salah satu operasi besar oleh polisi adalah Operasi Wanalaga di Kalimantan Timur, dari 28 November sampai 18 Desember silam. Dalam operasi gabungan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri dan Polda Kaltim ini, tujuh cukong kayu diciduk dan ditahan Polda Kaltim, di antaranya Sutrisno Tandi (Dirut PT Surya Inda Persada), Ir Riyadi Priyadi (Dirut PT Aditia Kirana Mandiri), Hari Atmaja alias Aming (Dirut PT Berau Bakti Permai), dan Ha Ti Ing Hieng (Dirut PT Indowana Arga Timber). Satu orang tersangka berkewarganegaraan Cina, Hery Salim alias Asiong, buron. Uang negara yang dapat diselamatkan dalam operasi itu saja Rp 150 miliar.

Dari ratusan kasus penebangan liar yang diungkap Polri, ternyata tak satu pun berasal dari masukan Departemen Kehutanan. Polisi bahkan memproses kasus yang antara lain menyeret salah seorang anggotanya, yakni mantan Kepala Polres Sorong Kombes Faisal, yang kasusnya kini tengah disidang di Pengadilan Negeri Sorong. Polisi rupanya memilih untuk bekerja sendiri.

Menurut Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan Transtoto Handhahari, tak adanya penindakan terhadap para maling kayu, cukong, serta bekingnya versi Dephut dikarenakan pembuktian dalam kasus penebangan liar memang susah. "Mungkin karena polisi melihat kasusnya belum valid untuk dilanjutkan," katanya. Menurut dia, hal itu bisa saja diatasi. "Asal ada kemauan aparat, sebenarnya penindakan bisa dilaksanakan."

Dari data Dephut yang diperoleh Tempo, sebagian dari pelaku malahan sudah pernah diberkas polisi, misalnya Ng Tung Peng alias Apeng, yang bermain di Kalimantan Barat. Apeng adalah warga Malaysia yang biasa menyelundupkan kayu dari Kalimantan Barat. Ia memiliki sekitar 15 mesin pemotong kayu di daerah Lanjak Badau?semuanya menerima kayu gelap dari warga. Di belakang Tung Peng ada bupati sehingga ia mudah mendapatkan izin penebangan. Ia juga diketahui pernah berusaha menyogok petugas dalam Operasi Wanalaga dengan uang Rp 3 miliar.

Ada juga mantan anggota MPR yang diduga kuat sebagai pemain dalam kasus penggarongan hutan di Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Ia pernah menjadi berita karena namanya dikaitkan dengan penganiayaan seorang aktivis lingkungan.

Itu pula sebabnya, Kaban merasa perlu menyiapkan inpres mengenai penebangan liar yang semula dirancang sebagai peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Tujuannya, agar Dephut lebih berwibawa di mata penegak hukum. "Karena itu kan perintah Presiden kepada bawahannya yang menjadi anggota kabinet," kata Transtoto. Perintah seratus hari Presiden rupanya belum cukup ampuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus