Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi....
Diiringi dentingan gitar, suara lima bocah itu terdengar lantang menyanyikan lagu Jangan Menyerah milik grup musik D’Masiv. Lirik lagu itu menjadi pemicu semangat mereka. Maklum, semua anggota grup yang menyebut diri mereka Lolipop ini adalah penderita kanker. Ada yang tersambar kanker mata, ada juga yang terpapar leukemia alias kanker darah.
Lolipop tampil di depan puluhan karyawan perusahaan obat yang berkunjung dan berbaur lesehan dengan pasien kanker anak dan orang tua mereka di aula rumah singgah khusus untuk pasien kanker anak tersebut. Keceriaan dan kegembiraan memenuhi seluruh ruangan. Apalagi, sebelum Lolipop tampil, anak-anak itu mendapat kitiran—mainan dari kertas aneka warna berbentuk baling-baling yang berputar deras saat diayun ke udara.
"Anak-anak tinggal di sini agar bisa berfokus untuk berobat. Sebab, syarat utama pengobatan kanker adalah konsisten dan tak boleh putus," kata Ira Soelistyo, pendiri Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), pengelola Rumah Kita, di sela-sela acara. "Kanker anak dapat sembuh bila terdeteksi secara dini, segera diobati, dan dirawat sebaik-baiknya," kata Ira, yang salah satu anaknya didiagnosis mengalami leukemia dan bisa bertahan hingga berusia 25 tahun setelah menjalani pengobatan.
Dalam pembukaan International Confederation of Childhood Cancer Parent Organization di Yogyakarta pada April lalu, seperti dilansir kantor berita Antara, ahli kanker anak dari Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, Profesor Sutaryo, menyatakan tingkat kesembuhan anak yang menderita kanker mencapai 90 persen. Itu artinya sembilan dari sepuluh anak yang tersambar kanker bisa sembuh. Selain faktor sel tubuh anak yang masih memiliki kemampuan yang baik untuk melawan kanker, peningkatan kesembuhan dipicu oleh makin majunya pengobatan, seperti transplantasi sumsum tulang belakang.
Data statistik International Agency for Research on Cancer menyebutkan, 1 dari 600 anak akan menderita kanker sebelum berusia 16 tahun. Angka lain, seperti dilansir YKAKI, diperkirakan dari 1 juta anak akan ditemui 120 yang menderita kanker setiap tahun. Jika di negeri ini terdapat 4,5 juta kelahiran saban tahun, ada lebih dari 500 anak diperkirakan terkena kanker. Ada beragam jenis kanker yang biasa menclok pada anak, tapi dua terbesar adalah Âleukemia (kanker darah) dan retinoblastoma (kanker mata).
Masalahnya, seperti kata ahli kanker dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Profesor Djajadiman Gatot, deteksi dini kanker pada anak memang tidak selalu mudah. Untuk itu, setiap orang tua harus curiga jika anaknya mengalami keluhan yang tidak biasa. Pada kasus leukemia, misalnya. Perhatian lebih harus diberikan jika anak mimiÂsan tak kunjung berhenti; wajah pucat; mengeluh nyeri di tungkai dan lengan, terutama pada malam hari; ada pembengkakan perut; serta ada lebam-lebam biru spontan di daerah tubuh yang tak bertulang (seperti di perut atau betis). Jika ada gejala seperti itu, anak harus segera dibawa ke rumah sakit untuk diobservasi. "Kita harus waspada kanker," katanya. "Jangan sampai deteksi terlambat."
Gejala-gejala seperti itu pula yang sempat dialami Suci, salah seorang anggota grup Lolipop. Saat usianya empat setengah tahun, ia mengalami demam, gusi keluar darah, mimisan, dan kaki lebam-lebam. Kejadian serupa itu terulang beberapa kali. Setelah diagnosis leukemia muncul, warga Pekalongan, Jawa Tengah, ini menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Kini, setelah menjalani pengobatan selama dua tahun, kondisinya terus membaik. Tak hanya bermain, Suci juga bisa belajar membaca, menulis, dan berhitung plus menyanyi selama di Rumah Kita.
"Senang melihat Suci membaik," kata Pariyah, ibunya. Pengobatan terhadap Suci hingga tuntas butuh 5-6 bulan lagi. Perbaikan juga dialami Hana, anggota lain Lolipop yang juga menderita leukemia. Setelah keganasan sel kanker yang menggerogoti tubuhnya bisa diredam, ia juga pandai membaca, menulis, berhitung, menari, dan menyanyi. "Hana juga pintar main komputer," kata ibunya, Suryati.
Sulit dimungkiri, pengobatan kanker seperti yang dijalani Suci dan Hana memang butuh waktu hingga berbilang tahun. Namun, mau tak mau, pengobatan rutin dan tak putus harus dijalani jika mereka ingin sembuh. Kehadiran rumah singgah Rumah Kita, yang berdiri pada 2006 dan mampu mendekatkan jarak ke rumah sakit, sangat disyukuri. "Sangat menolong," kata Asep Saepulloh, ayah Haidir, bocah 6 tahun yang menjalani pengobatan kanker ginjal. Sembari menjalani pengobatan dan menunggu kesembuhan, grup Lolipop meneruskan suara hati anak-anak penderita kanker, seperti ditulis D’Masiv:
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik.
Dwi Wiyana
Dokter Bermata Satu
Diktat setebal bantal merupakan menu rutin yang harus dipelototi mahasiswa fakultas kedokteran, tak terkecuali bagi Alvita Dewi Siswoyo, yang hanya bermata satu. Perempuan kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini sejak berusia setahun harus kehilangan mata kirinya karena tersambar kanker mata alias retinoblastoma. Toh, kekurangan itu tak membuatnya patah semangat. Pada 2008, dia berhasil merampungkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, dan menyandang gelar dokter.
"Keinginan saya untuk ’balas dendam’ terkabul," kata Alvita saat ditemui Tempo di kontrakannya di kawasan Lengkong, Bandung, Ahad dua pekan lalu. Balas dendam yang dimaksud Alvita adalah keinginan untuk membuktikan, meski hanya memiliki mata, ia bisa menjadi seorang dokter.
Kanker retina yang dialami Alvita terkuak saat keluarganya merayakan hari ulang tahun sang anak yang pertama: 19 Januari 1984. Ketika semua orang sedang bergembira, tiba-tiba lampu mati. Lampu petromaks pun dinyalakan sebagai pengganti penerangan, dan pesta berlanjut. Saat itulah ayah Alvita, Loekito Siswoyo, melihat ada sesuatu yang tak biasa pada anaknya. Mata kiri Alvita bersinar seperti mata kucing (dalam bahasa medis disebut leukoria) saat terkena sinar petromaks, juga saat terkena blitz kamera.
Untuk deteksi, Loekito membawa Alvita ke dokter mata, dan kekhawatirannya terbukti. Alvita didiagnosis mengalami retinoblastoma. Ia pun dirujuk ke Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta. Agar kanker tak menyambar mata bagian kanan, operasi pengangkatan mata kiri segera dilakukan. Di rumah sakit ini pula dokter membenamkan mata kiri palsu.
Cobaan kembali datang saat Alvita berusia 16 tahun. Bermula dari mata kaki kirinya yang bengkak karena terjatuh dan tak kunjung sembuh, setahun kemudian ia dinyatakan menderita kanker limfoma non-Hodgkins, jenis kanker yang berasal dari sistem kelenjar getah bening. Opini pembanding di Singapura menyebutkan Alvita mengidap primitive neuroectodermal tumour stadium III. Ini sejenis Ewing’s sarcoma, yakni tumor ganas yang ditemukan pada tulang dan jaringan lunak seseorang. Untuk membereskan hal itu, selain operasi, Alvita harus menjalani kemoterapi puluhan kali di Singapura, Jakarta, dan Semarang.
Setelah kanker di kaki bisa diatasi dan Alvita lulus sekolah menengah atas, dia pun kuliah dan berhasil menggapai cita-citanya menjadi dokter. Sempat praktek menjadi sukarelawan beberapa bulan di Yayasan Kanker Indonesia, kini perempuan berkacamata ini tengah melanjutkan pendidikan spesialis kedokteran nuklir di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. "Ia wanita luar biasa karena mampu melewati dua jenis kanker. Itulah alasan saya memilihnya," kata rohaniwan Yotam Sugihyono, yang menikahi Alvita pada Mei 2009.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo