Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tokoh Dari Boom Baru

Pentolan gang gibb, palembang, atai, tertangkap. membunuh dengan kejam eddy tenggeng, sebagai balas dendam atas kematian adiknya. (krim)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Kota Palembang bernapas lega. Atai alias Syamsul Rizal, 30 tahun, kini ada di tangan polisi. Pentolan geng GIBB (Gelandangan Intelek Boom Baru) yang ditakuti itu diduga keras membunuh Eddy Tenggeng secara sadis, dibantu anak buahnya. Mayat Eddy ditemukan dekat Gereja Ayam, dengan tubuh penuh bekas tikaman. Sebelum dibunuh, ia disiksa dulu: jemari tangan kanan dikerat hingga terjuntai, mata kiri dicungkil, dan kedua tangan, juga kakinya, dikelupas. Ini hampir mengingatkan orang pada mayat di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, yang dipotong 13 dan dagingnya disayat-sayat kecil - yang sampai kini belum diketahui siapa dia, apalagi si pembunuhnya. "Motifnya balas dendam," kata Dantabes Kepolisian Palembang, Letkol Pol. Herman S, pekan lalu. Meski ada dua anggota geng lain terlibat, Herman menolak anggapan seolah pembunuhan itu bermula dari perselisihan antargeng. Anggota geng lain, Harun dan Fauzi, yang biasa beroperasi di seputar stasiun kereta api Kertapati, kata Herman, hanya membantu Atai karena solidaritas. Eddy sendiri anggota geng GIBB yang punya daerah operasi di kawasan Pelabuhan Boom Baru. Sekitar 10 jam sebelum mayatnya ditemukan 8 September dini hari, ia menikam sampai mati Ucung alias Zulkarnain, 22 tahun, adik Atai. Gara-garanya cemburu. Karena Ucung sering menemui Henny, pramuria bar yang menjadi pacar Eddy. Eddy dikenal sebagai pemuda berandalan, morfinis dan residivis. Tapi belakangan, kabarnya, mulai insaf. Ia menjadi petugas keamanan di pertokoan Jalan Veteran. "Kalau hanya untuk makan saja," menurut sebuah sumber, "paling tidak ada tiga restoran yang dengan senang hati selalu bersedia menjamu Eddy." Seorang kenalannya menerangkan bahwa Eddy mulai sadar setelah ayah, ibu dan kakak iparnya meninggal. Kabarnya, Eddy juga sudah mengumpulkan uang untuk segera menikahi Henny. Rupanya Ucung ikut naksir cewek itu, hingga pernah dihajar Eddy sampai masuk rumahsakit. Tapi merasa dilindungi Atai, sang kakak, Ucung terus saja menggahggu. Nah, petang hari 7 September lalu, Eddy memergokinya tengah bermesraan di rumah kontrakan Henny. Darah Eddy pun naik, dan Ucung ditikam berkali-kali sampai mati. Amarah Atai tentu bisa diduga. Dengan garangnya ia menggerebek rumah Eddy, tapi hanya menjumpai kakak ipar dan keempat anaknya. Kebetulan, datang sobat dari Kertapati membawa Toyota Kijang. Mobil dengan nomor polisi BG 9636 AK itu segera disabet, dan Atai lebih leluasa melacak buruannya. Polisi yang mendapat info bahwa Eddy telah melakukan pembunuhan, segera pula bergerak. Namun kalah cepat. Atai dan kawan-kawannya yang sedang dibakar dendam lebih dulu bisa menemukan Eddy, entah di mana. Ia pun dihajar, lalu keduatangannya diikat dengan tali plastik. Dan disiksa dengan kejam sebelum akhirnya dihabisi. Para pembunuh semula konon hendak membuang mayat Eddy ke &alam lubang di bawah tanah di Jalan Joko. Lubang berdinding semen tempat persembunyian di zaman Jepang itu, memang cukup tersembunyi untuk menghilangkan jejak. Namun begitu mayat hendak diturunkan dari mobil, kawanan itu dikejutkan oleh sorotan lampu. Mengira itu mobil polisi, mayat Eddy dilempar begitu saja dekat Gereja Ayam di Jalan Jokoitu. Kawanan pembunuh segera tancap gas menuju Kambang Ikan, semacam telaga, untuk mencuci mobil dari percikan darah. Di situlah Atai disergap. Ada yang menyayangkan, kenapa polisi kalah sigap menemukan Eddy, hingga ia menemui ajal dengan cara mengenaskan. Tapi, kata Herman, sudah tentu Atai lebih tahu ke mana kira-kira Eddy bersembunyi. "Mereka kan teman satu geng," katanya membela diri. Herman memang lega. Selain pentolan geng GIBB itu, polisi Tabes 64 Palembang, telah membekuk Sobri bin Wahid Roni (adik Atai yang lain) serta Fauzi dan Harun dari kelompok geng di Kertapati. Dua tersangka lain, Rusli dan Aladin, bahkan secara sukarela menyerahkan diri. Pada September lalu kota empek-empek Palembang memang agak rawan. Barangkali ada hubungannya dengan kemarau panjang, yang membuat surut Sungai Musi. Sampai minggu ketiga, menurut Herman, sudah terjadi lima kasus pembunuhan. Semua pelaku, untungnya, tertangkap. Sebelumnya, setiap bulan rata-rata terjadi 2-3 kali kasus pembunuhan. Tapi bulan Mei lalu pernah mencatat rekor, dengan sembilan kasus. Namun kasus Eddy memang yang paling berat. Setelah Atai tertangkap kata Herman lagi,"pengusaha di Boom Baru yang semula takut-takut, banyak yang menelepon mengucapkan terima kasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus